Arunaya, seorang gadis dari keluarga terpandang yang terpenjara dalam sangkar emas tuntutan sosial, bertemu Adrian, pria sederhana yang hidup mandiri dan tulus. Mereka jatuh cinta, namun hubungan mereka ditentang keras oleh Ayah Arunaya yang menganggap Adrian tidak sepadan.
Saat dunia mulai menunjukkan taringnya, memihak pada status dan harta, Naya dan Adrian dihadapkan pada pilihan sulit. Mereka harus memilih: menyerah pada takdir yang memisahkan mereka, atau berjuang bersama melawan arus.
Terinspirasi dari lirik lagu Butterfly yang lagi happening sekarang hehehe....Novel ini adalah kisah tentang dua jiwa yang bertekad melepaskan diri dari kepompong ekspektasi dan rintangan, berani melawan dunia untuk bisa "terbang" bebas, dan memeluk batin satu sama lain dalam sebuah ikatan cinta yang nyata.
Dukung authir dong, like, vote, n komen yaa...
like karya authir juga jangan lupa hehehe
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Rian berhasil mengumpulkan cukup uang setelah empat bulan bekerja keras. Ia membeli tiket bus menuju Jakarta. Perjalanan itu terasa penuh harapan dan kecemasan. Ia tidak tahu apa yang menantinya di sana, tapi ia tahu Naya ada di sana.
Sesampainya di Jakarta, Rian tidak langsung menemui Bi Sumi. Ia tahu Bi Sumi diawasi. Rian menyewa kamar kontrakan kecil yang sangat kumuh di pinggiran kota. Ia sendirian, tapi tekadnya tidak luntur. Berita dari koran bekas yang ia baca di perjalanan tadi, yang menyebutkan keluarga Hardi sedang di London, semakin memacunya.
Rian tahu, Ayah Naya adalah pria yang kuat dan berpengaruh. Melawan Hardi secara langsung adalah bunuh diri. Ia harus menjadi lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih sukses. Ia harus membuktikan bahwa ia layak untuk Naya, bukan dengan kata-kata, tapi dengan perbuatan.
Ia mengambil buku sketsa tuanya. Di dalamnya penuh dengan desain-desain arsitektur. Rian mulai menjual desain-desain itu secara lepas (freelance) kepada siapa saja yang mau membelinya. Dari perorangan yang ingin merenovasi rumah kecil, hingga toko bahan bangunan yang butuh desain interior. Uangnya memang tidak banyak, tapi cukup untuk bertahan hidup dan menabung.
Rian bekerja tanpa lelah, siang dan malam, demi Naya. Setiap tetes keringat adalah demi Naya. Setiap malam, saat beristirahat di kamar sewa yang kumuh, ia memandang langit, seolah-olah bisa merasakan kehadiran Naya di seberang sana.
Setinggi anganku untuk meraih mu, Rian berjanji pada dirinya sendiri. Angannya kini terbang tinggi, melintasi benua, menuju Naya di London. Naya akan kembali ke Jakarta, dan kali ini, ia akan membawa Naya pergi selamanya, ke tempat yang tidak bisa dijangkau oleh Hardi.
...----------------...
Di London, di balik kemewahan apartemen keluarga Hardi, Naya mulai jatuh sakit. Bukan sakit fisik biasa, tapi sakit karena rindu yang menggerogoti jiwanya. Nafsu makannya hilang, tidurnya tidak nyenyak, dan matanya selalu sembap.
Kedua orang tuanya panik melihat kondisi putri mereka. Mereka memanggil dokter terbaik di London, tapi tidak ada yang bisa mendiagnosis penyakit Naya. Dokter hanya mengatakan Naya mengalami stres berat dan depresi.
Nyonya Hardi, yang hatinya lembut, tahu persis apa penyakit Naya: rindu. Ia mencoba berbicara dengan suaminya, tapi suaminya masih keras kepala, menolak menyebut nama Rian.
Naya sering menyendiri di kamarnya, memandang foto Rian yang ia sembunyikan di bawah kasur. Air matanya mengalir deras setiap kali ia melihat foto itu. Ia merindukan Rian, merindukan kehangatan pelukan Rian, merindukan dunia kecil mereka yang sederhana tapi penuh cinta.
"Memeluk batinmu yang sama kacau karena merindu," Naya merintih dalam hati, merasakan kekacauan batin Rian yang sama sepertinya. Ia tahu Rian pasti sedang berjuang di luar sana, dan ia merasa tidak berdaya karena tidak bisa membantu.
Naya berjanji pada dirinya sendiri untuk sembuh, untuk kembali kuat, dan untuk kembali ke Jakarta mencari Rian. Ia mulai makan sedikit demi sedikit, mulai berolahraga ringan, dan mulai menyusun rencana pelarian dari London.
..........
Kembali ke Jakarta, Rian juga mengalami kesulitan. Menjual desain lepas tidaklah mudah. Ada kalanya dia tidak mendapatkan klien selama seminggu penuh, membuatnya harus berhemat mati-matian, bahkan hanya makan sekali sehari.
Pernah suatu kali, Rian ditipu oleh seorang klien. Desainnya dicuri, dan dia tidak dibayar sepeser pun. Rian hancur, putus asa, tapi saat ia melihat sketsa wajah Naya di buku sketsanya, semangatnya kembali membara.
Rian tahu, ia tidak bisa terus seperti ini. Ia harus mendapatkan pekerjaan yang stabil. Ia mulai melamar pekerjaan di biro arsitektur kecil, kali ini dengan strategi berbeda. Ia membawa portofolio desain terbaiknya, menunjukkan bakatnya secara langsung, bukan hanya mengandalkan surat lamaran.
Akhirnya, usahanya membuahkan hasil. Sebuah biro arsitektur kecil tapi bereputasi baik, yang menghargai bakat mentah, menerimanya bekerja. Gajinya memang tidak besar, tapi ini adalah awal yang baik.
Rian menyewa kontrakan yang sedikit lebih baik, dan mulai menabung untuk membeli tiket pesawat ke London. Ia tahu, perjuangannya masih panjang, tapi ia siap menghadapinya.
...----------------...
Situasi mulai membaik di kedua sisi dunia, tapi takdir punya rencana lain.
Di London, Naya berhasil memulihkan kesehatannya dan mendapatkan kembali semangat hidupnya. Ia menyusun rencana pelarian yang matang. Ia berhasil mendapatkan paspor lamanya yang tersimpan di brankas ayahnya, dan dengan uang tabungan yang dikumpulkan dari Nyonya Hardi secara diam-diam, ia membeli tiket pesawat kembali ke Jakarta.
Di Jakarta, Rian juga menabung mati-matian. Dengan gaji dari biro arsitektur kecil, ia berhasil membeli tiket pesawat ke London. Ia tahu Tuan Hardi ada di sana, tapi ia tidak gentar. Ia harus membawa Naya kembali.
Mereka berdua tidak saling tahu rencana masing-masing.
Pada hari yang sama, pesawat Naya terbang menuju Jakarta, dan pesawat Rian terbang menuju London. Dua jiwa yang saling merindu itu melintasi langit, menuju benua yang berbeda, tanpa tahu bahwa mereka baru saja melewatkan kesempatan untuk bertemu.
Naya tiba di Jakarta dengan hati penuh harap. Ia langsung menuju kontrakan lama Rian di pinggiran kota, tapi Rian sudah tidak ada di sana. Pemilik kontrakan mengatakan Rian sudah pindah. Naya panik, menghubungi Bi Sumi yang juga bingung. Naya merasa hampa. Ia kembali ke rumah ayahnya yang kosong, karena Bi Sumi berada di kampungnya, Naya menunggu kabar dari Rian.
Di London, Rian tiba dengan semangat membara, tapi juga penuh kenaifan. Ia turun di bandara Heathrow, dengan hanya sedikit uang dan alamat apartemen mewah keluarga Hardi yang ia dapatkan dari ingatan Naya. Ia tidak tahu seluk beluk London, hanya berbekal tekad.
Namun, nasib sial menimpanya. Saat ia sibuk melihat peta, ia menjadi korban copet. Dompetnya, yang berisi sisa uang dan secarik kertas alamat apartemen Hardi yang ia tulis, lenyap dalam sekejap.
Rian panik luar biasa. Ia sendirian di kota metropolitan yang asing, tanpa uang, tanpa alamat, dan tanpa Naya. Ia hanya tahu Naya ada di London. Ia putus asa.
Rian berkeliaran di jalanan London dengan putus asa. Uangnya habis, dan dia tidak punya tempat tinggal. Dia kelaparan dan kedinginan.
Saat ia duduk di taman, merenungkan nasibnya, seorang pria Indonesia menghampirinya.
Pria itu bernama Aris, seorang pekerja kafe asal Indonesia yang ramah dan prihatin melihat kondisi Rian yang mengenaskan. Aris menawarkan bantuan, menawarkan Rian tempat tinggal sementara di apartemen kecilnya dan pekerjaan di kafe tempat ia bekerja.
Rian, yang tidak punya pilihan lain, menerima tawaran itu dengan rasa terima kasih yang mendalam. Aris menjadi teman sekaligus mentor bagi Rian di London.
"Biar diriku jadi kupu-kupu bersamamu, memeluk batinmu," Rian berbisik dalam hati, meskipun ia terpisah dari Naya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk memanfaatkan kesempatan ini, bekerja keras di kafe, menabung, dan mencari lagi Naya sekuat tenaganya, tanpa petunjuk apa pun selain keyakinan bahwa Naya ada di kota ini.
Bersambung...