Raden Cindeloka Tisna Sunda, seorang bocah laki laki berparas tampan dari Klan Sunda, sebuah klan bangsawan tua dari Sundaridwipa yang hanya meninggalkan nama karena peristiwa genosida yang menimpa klannya 12 tahun yang lalu. keberadaannya dianggap membawa sial dan bencana oleh warga Sundari karena ketampanannya. Suatu hari, seluruh warga Sundari bergotong royong menyeret tubuh kecil Cindeloka ke sebuah tebing yang dibawahnya air laut dengan ombak yang mengganas dan membuangnya dengam harapan bisa terbebas dari bencana. Tubuh kecilnya terombang ambing di lautan hingga membawanya ke sebuah pulau misterius yang dijuluki sebagai pulau 1001 pendekar bernama Suryadwipa. di sana ia bertemu dengan rekannya, Lisna Chaniago dari Swarnadwipa dan Shiva Wisesa dari Suryadwipa yang akan membawanya ke sebuah petualangan yang epik dan penuh misteri gelap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon teguhsamm_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Obrolan Paduraksa
Malam sebelum misi pertama, halaman tempat latihan dasar silat itu berubah menjadi ruang sunyi yang sakral. Tim Sapta duduk berjejer di antara paduraksa batu purba yang dibawahnya sebuah tebing yang sangat curam. Di hadapan mereka, Gunung Suryajenggala berdiri megah, puncaknya menyembul di atas samudra awan di bawahnya. Langit begitu jernih hingga galaksi membentang seperti jalur susu perak di atas kepala mereka.
Cindeloka, yang sejak tadi mengamati langit, membuka percakapan.
"Klan Chaniago itu... seperti apa, sebenarnya?"
Lisna tersenyum kecil, lalu mulai menjelaskan dengan suara lembut namun mantap.
"Klan Chaniago adalah satu-satunya klan bangsawan di Bumi Nusantara yang hampir seluruhnya Srikandi. 95% anggotanya perempuan. Budaya matrilinealnya kuat sekali. Pemimpinnya-Maryam Chaniago, atau Bundo Kanduang-disegani di seluruh negeri."
Cindeloka mengangguk perlahan, tapi Lisna belum selesai.
"Ada satu lagi... rumor yang jarang diucapkan keras-keras. Konon klan kami punya gundam leluhur: Hanuman Chandra Naya, berwarna putih. Unsur kami tanah."
Sebelum Cindeloka sempat bereaksi, Shiva menyela dari samping. Ia sedang mengisap rokok dengan wajah datar seperti biasanya.
"Kalau soal gundam leluhur... klan Wisesa juga punya rumor. Kuda Sembrani. Belum pernah ada yang lihat, tapi ceritanya ada. Elemen klan kami cahaya."
Cindeloka menatap Shiva, kaget.
Jadi bukan hanya Sunda yang punya rumor tentang pusaka raksasa itu.
Lisna melanjutkan dengan nada yang sedikit lebih serius.
"Tiga klan besar-Sunda, Wisesa, dan Chaniago-semuanya punya cakra gundam. Itu sebabnya tiga-tiganya punya peran menjaga keseimbangan negeri."
Cindeloka termenung, menatap bintang.
Beberapa saat lalu ia hanya anak muda dari klan Sunda. Kini ia duduk bersama pewaris cahaya dan tanah, lalu mengetahui bahwa takdir mereka terhubung oleh pusaka raksasa yang bahkan belum ia pahami.
Hening sesaat. Dari arah samping, Cindeloka bertanya pelan tanpa maksud lain:
"Lisna... kamu itu muslim, kan?"
Lisna tertawa kecil, lalu menggeleng.
"Aku Katolik. Dari kecil."
Cindeloka tersentak. Gadis Minang, Katolik? Itu tidak lazim menurut bayangannya.
Lisna menjawab dengan tegas namun lembut:
"Keyakinan itu urusan hati, Cindel. Dan keluargaku menghormatinya."
Malam itu terasa hangat.
Ketiganya berbicara panjang-tentang klan, mimpi, kegelisahan, dan rumor yang belum tentu benar. Shiva tidak banyak bicara, tapi wajahnya mencair, tenggelam dalam percakapan yang tenang dan bersahabat.
Tanpa mereka sadari, waktu telah merangkak menuju pukul sebelas malam.
Cindeloka berdiri dan merangkul bahu Shiva, mengajaknya kembali ke asrama putra.
Lisna melangkah sendirian menuju asrama putri.
"Jangan-jangan kamu takut gelap, Lis?" goda Cindeloka.
Lisna menjentikkan keningnya sambil tersenyum, lalu berjalan pergi di bawah cahaya bintang.
*
Cindeloka merangkul bahu Shiva menuju aula asrama putra. Para murid yang kebetulan lewat melihatnya dan menggunjingnya.
"Mesra banget!"
"Kayak suami istri"
"Bukannya mereka laki-laki"
"Ada 2 bocah terkutuk sedang bergandeng tangan".
Gunjingan tersebut membuat Shiva menyuruh Cindeloka untuk melepaskan rangkulannya namun ditolaknya.
"Heh! Loka lepasin nggak!" ucap Shiva dengan nada pelan, ketus, dan tatapannya menusuk ke arah Cindeloka.
"Enak aja! Saya nggak mau lepasin sampai tiba di kamar dan menaiki tangga asrama. Shiva hanya menghela nafas dan masih dengan tatapan dingin lurus ke depan.
*
Lisna yang berjalan menuju ke kamarnya dicegat oleh Hana Wedea, teman sekamarnya sekaligus saingannya yang kebetulan ada di aula bersama temannya yang lain dan menyambutnya dengan sinis dan sedikit angkuh.
"Enak ya! Baru hari pertama sudah dikasih misi sementara tim kita belum sama sekali" ucap Hana dengan penuh julid dan sinis.
"Hana! Kita sudah berteman dan menjadi teman sekamar, kenapa kau harus iri sama aku? Kau juga suatu hari dapat misi" Balas Lisna dengan nada tegas.
"Halah! Itu karena kau keturunan klan bangsawan yang disegani seluruh pendekar Bumi Nusantara termasuk Ki Bagawanta".
"Hana! Bisa diam nggak!" bentak Lisna dengan mata melotot dan tangannya mengepal getar seraya ingin memukulnya.
"Ah Sudahlah"
Lisna pun berjalan melewati Hana yang julid dan sinis, beranjak ke kamarnya.
"Heh! Urusan kita belum selesai" bisik Hana di dekat kuping Lisna namun dihiraukan Lisna.