Guang Lian, jenius fraksi ortodoks, dikhianati keluarganya sendiri dan dibunuh sebelum mencapai puncaknya. Di tempat lain, Mo Long hidup sebagai “sampah klan”—dirundung, dipukul, dan diperlakukan seperti tak bernilai. Saat keduanya kehilangan hidup… nasib menyatukan mereka. Arwah Guang Lian bangkit dalam tubuh Mo Long, memadukan kecerdasan iblis dan luka batin yang tak terhitung. Dari dua tragedi, lahirlah satu sosok: Iblis Surgawi—makhluk yang tak lagi mengenal belas kasihan. Dengan tiga inti kekuatan langka dan tekad membalas semua yang telah merampas hidupnya, ia akan menulis kembali Jianghu dengan darah pengkhianat. Mereka menghancurkan dua kehidupan. Kini satu iblis akan membalas semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3: AULA PENGHAKIMAN
"BAJINGAN! PUTRAKU MASIH TIDAK SADARKAN DIRI HINGGA DETIK INI!"
Teriakan itu menggelegar, memantul di dinding-dinding batu Balai Leluhur.
Mo Zhi, paman Mo Long sekaligus salah satu Tetua Klan, berdiri dengan wajah merah padam. Urat-urat di pelipisnya menonjol, seolah hendak meledak. Matanya menatap Mo Long dengan kebencian murni, seakan ingin menelan keponakannya itu hidup-hidup.
Di tengah aula yang luas dan dingin, Mo Long berdiri tegak. Tubuhnya kurus, pakaiannya lusuh, namun punggungnya lurus laksana tombak.
Tidak ada rasa takut di wajahnya. Hanya ketenangan yang dingin. Ekspresi datar yang justru membuat atmosfer ruangan semakin mencekam.
Di atas singgasana naga hitam, Patriark Mo Han hanya mengangkat satu jari.
Gerakan sederhana itu seketika membungkam amarah Mo Zhi. Ruangan kembali sunyi senyap, hanya terdengar derak api obor yang menyala di sekeliling aula.
"Pembelaanmu?" tanya Mo Han. Suaranya rendah, berat, dan tidak mengandung emosi sedikit pun.
Mo Long menatap ayahnya lurus-lurus. "Mereka menyerangku dengan Niat Membunuh. Aku hanya membela diri."
"BOHONG!"
Seorang wanita berias tebal dengan gaun merah menyala bangkit dari kursinya. Mei Du, ibu tiri Mo Long, sekaligus ibu kandung Mo Fei dan Mo Shou.
Ia melangkah maju, telunjuknya yang berhias kuku panjang menuding wajah Mo Long dengan gemetar.
"Lihat dirimu! Kau bersih tanpa lecet sedikit pun! Anak-anakku pasti menahan diri karena kasihan padamu yang cacat tanpa Qi. Tapi kau... kau dasar serigala berbulu domba! Kau memanfaatkan kebaikan mereka untuk mencelakai mereka!"
Hening.
Mo Long terdiam. Namun di dalam jiwanya, badai sedang berkecamuk.
'Suasana ini...'
Pandangannya menyapu wajah-wajah di sekelilingnya. Tatapan merendahkan. Tuduhan tanpa bukti. Kebencian yang tak beralasan.
Rasanya persis seperti malam itu. Malam di Altar Gunung Hua. Saat pedang-pedang sahabatnya sendiri terhunus ke arahnya.
'Ah... bau busuk pengkhianatan dan kemunafikan ini... di mana pun sama saja.'
Rahang Mo Long mengeras. Tangannya mengepal di sisi tubuh. Hasrat untuk membantai seisi ruangan ini menyeruak naik, namun ia menekannya kuat-kuat. Ia belum cukup kuat untuk melawan satu klan.
Tiba-tiba, suara lembut Min Mao terngiang di benaknya. 'Jelaskan pelan-pelan.'
Mo Long menghela napas panjang, mengusir kabut merah di matanya.
Dari sisi kiri aula, seorang pria gundul bertubuh kekar berdiri. Hu Dong, Kepala Keamanan Klan, tangan kanan Patriark yang dikenal setia.
"Tuan Muda," ucap Hu Dong dengan nada datar. "Jujurlah. Hukumanmu mungkin akan diringankan jika kau mengakui kesalahanmu."
Mo Long menoleh pelan. Tatapannya menusuk tajam ke mata Hu Dong, membuat pria kekar itu tanpa sadar menahan napas.
"Aku sudah jujur," suara Mo Long tenang namun tajam. "Tiga orang pengeroyok yang menggunakan Qi melawan satu orang cacat tanpa Qi. Dan kau menyuruhku mengaku salah karena aku tidak mati?"
Hu Dong terdiam. Ia mengelus kumis lebatnya, tak mampu membalas tatapan bocah itu. Ia tahu kebenarannya, tapi membela sampah klan berarti menentang istri Patriark.
"Kau..." Mo Zhi kembali bersuara, giginya gemerutuk. "Responmu berlebihan, Bocah Gila! Kaki Mo Hu patah! Hidungnya hancur! Wajahnya tak berbentuk! Itu yang kau sebut membela diri?!"
"Tangan Mo Fei dan Mo Shou juga retak!" Mei Du menimpali dengan suara melengking. "Mereka saudaramu sendiri! Di mana hati nuranimu?!"
"Saudara?"
Kata itu memicu sesuatu di kepala Mo Long.
Seketika, gelombang ingatan asing menghantam kesadarannya. Bukan ingatan Guang Lian, tapi ingatan tubuh asli Mo Long.
...Di halaman latihan berdebu. Mo Long kecil terjerembab, darah menetes dari bibirnya yang pecah.
"Hahaha! Dasar sampah tak berbakat!" Mo Fei menendang perutnya.
"Jangan panggil kami saudara. Kau hanya aib bagi Klan Naga Bayangan," ludah Mo Shou.
Mo Long kecil mencoba meraih pedang kayunya, namun kaki Mo Hu menginjak tangannya hingga bunyi retakan terdengar.
"Kau tidak pantas memegang senjata. Lebih baik kau mati saja menyusul ibumu!"
Tawa mereka menggema. Tawa yang menyakitkan.
Kilatan ingatan itu memudar. Mo Long kembali ke masa kini. Rasa sakit fisik dari ingatan itu lenyap, digantikan oleh rasa jijik yang mendalam.
Mo Long tertawa.
Awalnya pelan. "Heh...heh"
Lalu semakin keras. "Hahaha... HAHAHAHA!"
Tawanya menggema di aula batu itu. Bukan tawa orang gila, tapi tawa Iblis yang sedang mendengar lelucon paling lucu di neraka.
Semua orang terperangah. Mei Du mundur selangkah, wajahnya pucat. "Dia... dia benar-benar sudah gila!"
Mo Long menghentikan tawanya tiba-tiba. Wajahnya berubah dingin sedingin es.
"Saudara, katamu?"
Ia menatap Mei Du dan Mo Zhi bergantian.
"Daripada menyalahkanku... lebih baik kalian tanyakan pada anak-anak manja kalian itu. Kenapa tiga orang pendekar Qi bisa kalah oleh satu orang sampah tanpa Qi?"
"KURANG AJAR!" Mei Du menjerit histeris.
"Apa ada saksi?" suara Mo Han memotong keributan itu. Tegas dan absolut.
"Tidak ada," jawab Mo Long singkat.
Perlahan, tangannya bergerak membuka kancing baju atasnya.
"Apa yang kau lakukan?!" bentak Mo Zhi.
Mo Long tidak menjawab. Ia melepas baju luarnya, membiarkannya jatuh ke lantai. Lalu ia berbalik, memperlihatkan punggung dan dadanya ke seluruh tetua klan.
Napas tertahan terdengar dari beberapa orang.
Tubuh kurus itu... adalah peta penderitaan.
Bekas cambukan yang memutih. Memar ungu yang baru dan lama bertumpuk menjadi satu. Bekas sulutan api. Bekas sayatan. Tidak ada satu inchi pun kulit yang mulus.
"Tubuhku adalah saksinya," ujar Mo Long datar. "Luka-luka ini... adalah hadiah dari 'saudara-saudara' yang katanya menyayangiku itu. Selama bertahun-tahun."
Ia menoleh ke arah Hu Dong. "Dan kau, Kepala Keamanan Hu. Sudah berapa kali aku melapor padamu? Dan sudah berapa kali kau pura-pura tuli?"
Wajah Hu Dong memerah padam karena malu. Ia menunduk dalam-dalam.
Suasana balai menjadi hening dan tidak nyaman. Bahkan Mo Zhi dan Mei Du terdiam melihat bukti fisik penyiksaan yang begitu nyata.
"Dan jika kalian butuh bukti siapa yang menyerang duluan..." Mo Long menunjuk baju yang tergeletak di lantai. "Periksa saja. Jejak Qi Hitam mereka masih menempel di sana."
"Hu Dong. Periksa," perintah Mo Han.
Hu Dong maju, memungut baju itu. Ia menyalurkan sedikit energinya. Seketika, residu aura hitam berpendar samar di bagian dada baju itu.
"Ada bekas Qi Bayangan, Patriark. Serangan telapak tangan penuh," lapor Hu Dong.
Wajah Mei Du pucat pasi. Serangan telapak tangan penuh dengan Qi? Itu niat membunuh yang jelas.
Namun, wanita itu tidak mau kalah. Matanya menangkap buku tua yang diletakkan Mo Long di samping bajunya.
"Itu!" teriaknya, menunjuk buku tersebut. "Anakku bilang kau mencuri buku kultivasi terlarang! Kau pasti menggunakan ilmu hitam untuk melukai mereka!"
Mo Zhi langsung menyambar kesempatan itu. "Benar! Tidak mungkin orang tanpa Qi bisa mematahkan tulang pendekar Qi! Dia pasti menggunakan sihir iblis!"
Mo Long tetap tenang. "Buku ini dari perpustakaan klan. Sejak kapan buku perpustakaan dianggap terlarang?"
"Bohong! Kau pasti..."
WUSH!
Angin kencang berhembus.
Dalam sekejap mata, sosok Mo Han sudah lenyap dari singgasana dan berdiri tepat di hadapan Mo Long.
Cepat. Terlalu cepat.
Mo Long bahkan tidak sempat berkedip saat dua jari ayahnya menempel di dadanya.
DEG.
Energi asing yang sangat besar menerobos masuk ke dalam tubuh Mo Long, memeriksa setiap meridian, setiap pembuluh darah, dan Dantian-nya.
Mo Han memejamkan mata sejenak, lalu membukanya.
"Kosong," gumam Mo Han. "Benar-benar tidak ada setetes pun Qi di tubuhnya."
Mo Han menurunkan tangannya, lalu berjalan mengelilingi putranya. Matanya yang tajam seperti elang meneliti otot-otot Mo Long.
'Otot-otot ini... padat. Uratnya liat seperti kawat baja. Tulangnya keras. Bekas luka ini bukan hanya siksaan, tapi hasil tempaan fisik yang gila,' batin Mo Han. Ada kilatan kekaguman yang sangat tipis di matanya. 'Dia melatih fisiknya sampai batas ekstrem untuk menutupi ketiadaan Qi. Pantas dia bisa menghancurkan tulang mereka.'
"Tapi Patriark, mungkin dia menyembunyikannya dengan teknik—" Mo Zhi mencoba menyela.
"Kau meragukan penilaianku, Mo Zhi?" potong Mo Han dingin. Aura membunuh yang mengerikan menyebar dari tubuhnya, membuat lutut Mo Zhi lemas seketika.
"Ti-tidak, Patriark!"
Mo Han membungkuk, memungut buku tua dari lantai. Ia membalik halamannya.
Mo Long menahan napas dalam hati. 'Semoga dia tidak sadar...'
Sebelum ke sini, Mo Long dengan cerdik telah merobek halaman terakhir—halaman yang berisi mantra pemanggilan jiwa dan teknik terlarang yang ia kenali. Tanpa halaman itu, buku ini hanyalah buku teknik fisik biasa yang sedikit brutal.
"Dari mana kau dapat ini?"
"Perpustakaan. Rak bagian belakang. Buku ini dijadikan ganjal kaki meja," jawab Mo Long santai.
Sudut bibir Mo Han berkedut sedikit. "Buku ini aku sita. Temui aku nanti malam di paviliunku."
Mo Long sedikit terkejut, namun ia mengangguk. "Baik."
Mo Han berbalik, berjalan kembali ke singgasananya. Jubah hitamnya berkibar.
"Perkara selesai. Mo Long terbukti membela diri. Mo Fei, Mo Shou, dan Mo Hu akan dihukum kurungan setelah mereka sembuh karena menyerang sesama klan dengan niat membunuh."
"TAPI SUAMIKU—!" Mei Du hendak protes.
"DIAM!"
Satu bentakan Mo Han disertai gelombang Qi membuat Mei Du terlempar kembali duduk di kursinya. Napas wanita itu sesak, wajahnya ketakutan.
"Keputusanku mutlak! Bubar!"
Para tetua menunduk hormat, lalu bergegas pergi dengan wajah masam. Mei Du menatap Mo Long dengan tatapan penuh dendam sebelum berlari keluar sambil menangis.
Mo Long mengenakan kembali bajunya dengan santai. Ia membungkuk hormat pada ayahnya, lalu berbalik pergi.
Saat melangkah keluar dari pintu besar Balai Leluhur, seseorang menghalangi jalannya.
Seorang wanita cantik berwajah elegan, namun dengan mata sipit yang licik. Lady Mo Hua, istri kedua Patriark.
Ia tersenyum sinis sambil mengipas-ngipasi wajahnya.
"Ah, si pembuat onar. Hebat juga kau bisa selamat hari ini," bisiknya saat Mo Long lewat. "Bagaimana rasanya memukuli saudara-saudaramu sendiri hingga cacat? Puas?"
Mo Long berhenti sejenak. Ia tidak menoleh sepenuhnya, hanya melirik dari sudut mata. Senyum tipis yang mengerikan terukir di bibirnya.
"Tidak buruk," jawab Mo Long pelan, namun cukup keras untuk didengar wanita itu. "Hanya saja... rasanya masih kurang satu orang."
Kipas di tangan Lady Mo Hua berhenti bergerak. Senyumnya membeku.
Mo Long melanjutkan langkahnya, meninggalkan wanita itu terpaku dengan punggung dingin yang berkeringat.
Ia berjalan menembus cahaya matahari pagi, namun bayangannya di tanah tampak gelap dan panjang. Seperti bayangan seekor naga yang baru bangun dari tidur panjangnya.
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁