Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Halaman Dua Puluh Sembilan
***
Matahari mulai naik ketika Hafiz memarkir mobil di area wisata Ancol. Udara pagi masih segar, dan deru ombak terdengar samar dari kejauhan. Sejak mobil berhenti, Hafizah sudah tak sabar membuka pintu dan melompat turun, seolah tempat itu adalah surga kecil yang sudah lama ia impikan.
“Ancol! Bang, ini pertama kalinya aku ke sini sama Abang, loh!” serunya penuh semangat.
Hafiz keluar dari mobil dengan senyum lebar. Ia mengenakan topi dan kacamata hitam, sementara Hafizah menggandeng tangannya tanpa canggung seperti waktu mereka masih kecil.
“Sekarang kamu yang tentuin kita mau ke mana dulu,” kata Hafiz sambil berjalan ke arah pintu masuk.
Sebelum melangkah lebih jauh, Hafiz berhenti sejenak. Ia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel.
“Ayo kita matikan HP dulu,” katanya pelan.
Hafizah mengerutkan kening. “Loh, kenapa?”
“Biar nggak ada yang ganggu. Hari ini cuma buat kita berdua. Kamu kan tahu, kalau HP Abang nyala, bisa-bisa Mama nelpon, atau Airin tiba-tiba kirim pesan. Pokoknya... ini hari bebas.”
Hafizah tertawa pelan, lalu mengangguk setuju. Ia pun mengeluarkan ponselnya dari tas kecil dan ikut mematikan. “Deal! Kita offline dulu. Biar kayak zaman dulu waktu kita belum punya HP.”
Mereka saling tersenyum, lalu melangkah masuk ke kawasan wisata dengan langkah ringan dan hati yang lega.
Pagi itu, Ancol belum terlalu ramai. Hafiz dan Hafizah memulai dengan menyusuri pantai, menyentuh air laut dengan kaki mereka yang tak beralas. Mereka sempat membeli mainan gelembung sabun dari pedagang kecil, dan tertawa saat Hafizah mencoba meniup gelembung raksasa yang malah pecah di wajahnya sendiri.
Setelah puas bermain di pantai, mereka naik ke wahana bianglala. Dari atas sana, mereka bisa melihat hamparan laut luas dan garis pantai yang mengular di kejauhan.
“Lihat tuh,” kata Hafizah sambil menunjuk kapal-kapal kecil yang berlayar di ujung pandangan. “Bang Hafiz pernah kepikiran buat tinggal di tempat kayak gitu nggak? Di kota kecil, pinggir laut...”
Hafiz mengangguk pelan. “Pernah. Akhir-akhir ini malah sering banget.”
“Biar jauh dari Mama ya?” tanya Hafizah setengah bercanda.
“Biar dekat sama diri sendiri,” jawab Hafiz jujur.
Bianglala terus berputar perlahan, dan Hafiz merasa waktu berjalan lebih lambat—tapi dengan cara yang menyenangkan. Tidak ada notifikasi. Tidak ada tekanan. Tidak ada suara lain kecuali tawa adiknya dan gemuruh laut di kejauhan.
Menjelang siang, mereka makan siang di salah satu kafe kecil yang menghadap laut. Menu yang sederhana—nasi goreng seafood dan es jeruk segar—terasa jauh lebih nikmat karena disantap dalam suasana bebas tekanan.
“Bang Hafiz,” kata Hafizah pelan sambil mengaduk esnya, “kalau suatu hari Abang beneran pergi dari Jakarta... Abang bakal bilang ke Adek dulu, kan?”
Hafiz terdiam sejenak. Ia menatap wajah adiknya yang kini mulai tumbuh dewasa, dengan sorot mata yang berbeda. Masih anak-anak, tapi sudah mulai paham bahwa dunia ini tidak sesederhana cerita-cerita buku.
“Tentu. Kamu orang pertama yang akan Abang kasih tahu.”
Hafizah tersenyum lega, tapi tak lama kemudian ia berkata lagi dengan nada lebih serius.
“Tapi jangan pergi duluan tanpa bilang. Adek bisa sedih banget, tahu.”
Hafiz mengulurkan tangan dan mengusap kepala adiknya pelan. “Tenang. Abang nggak akan ninggalin kamu.”
Setelah makan, mereka kembali bermain—naik perahu bebek, bermain tembak air, lalu membeli es krim di gerai dekat taman. Setiap detik berlalu seperti lembaran baru yang bersih—tidak diwarnai paksaan, tidak dicoret ambisi siapa pun. Hanya tawa dan kenyamanan dua saudara yang terlalu lama hidup di bawah tekanan.
Sore hari mulai menjelang. Langit mulai berwarna jingga, dan angin laut meniup rambut Hafizah yang kini duduk bersila di atas tikar kecil yang mereka bentangkan di pinggir pantai. Hafiz duduk di sampingnya, menatap laut yang luas tanpa berkata-kata.
“Kayaknya Mama udah panik tuh, Bang,” gumam Hafizah, melirik arlojinya.
“Mungkin,” sahut Hafiz. “Tapi kita kan nggak ke mana-mana. Cuma lagi bahagia.”
Mereka tertawa pelan.
Dan untuk sesaat—meskipun mungkin hanya sehari—Hafiz merasa bebas. Seperti dirinya yang dulu, sebelum semua tuntutan datang, sebelum segala hal jadi rumit. Seperti anak laki-laki biasa yang hanya ingin membuat adiknya tertawa.
Sore itu, sebelum kembali ke kota yang sibuk, Hafiz memutuskan satu hal dalam hati: ia akan tetap memperjuangkan haknya untuk memilih. Untuk bahagia. Dan untuk mencintai, bukan karena disuruh... tapi karena ia benar-benar ingin.