NovelToon NovelToon
Benci Jadi Cinta

Benci Jadi Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Pernikahan Kilat / Menikah dengan Musuhku
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dewi rani

Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.

mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 21

Artha masih termenung di sana, menatap Naira yang sudah tertidur di atas pangkuan. Lelaki itu bingung harus berbuat apa. Naira baru saja terlelap, dan seharian sudah mengalami banyak masalah. Apakah dia tega jika membangunkan gadis bermata bulat itu?

Namun, kenyataan sepahit apa pun harus ditunjukkan, bukan? Artha mengembuskan napas kasar. Tiada pilihan lain selain membangunkan

Naira.

"Nai, Naira!" Artha menepuk-nepuk pipi Naira pelan. Pipi yang sedikit chubby itu sedikit diusapnya dengan telapak tangan. Butuh waktu cukup lama sampai kelopak mata gadis itu mengerjap, lalu tidur yang awalnya miring ke depan, berubah telentang.

Naira masih belum sepenuhnya sadar. Ketika matanya terbuka sempurna, wajah Artha lah yang

pertama kali dilihatnya.

"Artha!"

Artha mengangguk seraya menyunggingkan

Senyum tipis.

"Gue ... ketiduran, ya?" Naira akhirnya bangun dari pangkuan Artha, mengubah posisi dari tidur menjadi duduk. Wajah kemerahan merambat ke hampir seluruh permukaan. Sepertinya dia malu

karena menggunakan paha Artha sebagai bantal.

"Nai, lo ngantuk banget, ya?" tanya Artha yang melihat Naira beberapa kali menutup mulutnya

yang terbuka karena kuapan.

"Heem, listriknya belum nyala, ya? Mata gue udah sepet banget."

Andai saja tidak ada kabar duka itu, mungkin Artha membiarkan Naira tidur di sini, atau memberikan lilin kecil itu untuk menerangi kamar Naira. Sayangnya Artha harus memberi tahu berita duka tersebut secepatnya.

"Nai, gue mau bilang sesuatu sama lo!" Artha mencari cara memberi tahu Naira pelan-pelan.

"Mau bilang apa?" Naira tampak malas-malasan menjawab. Dia sudah teramat ngantuk, tetapi Artha malah mengajaknya bicara.

"Dengerin!" Artha meletakkan kedua tangannya pada bahu Naira, menatap lekat wajah gadis itu.

Dia sangat tahu jika saat ini Naira kesulitan Berkonsentrasi karena kantuk yang menyerangnya.

"Apa pun yang udah gue katakan, dan apa pun ke depannya yang terjadi pada hubungan kita. Gue janji akan ada untuk lo. Keluarga gue adalah keluarga lo."

"Maksud lo apaan sih, Ta!" Naira yang masih mengantuk semakin pusing dengan apa yang Artha katakan.

"Nai, mama lo ...." Kalimat Artha menggantung, tetapi di detik lelaki itu menyebutkan kata "mama", perasaan Naira mendadak tidak enak.

"Mama gue? Mama kenapa?" Mata Naira menatap lekat Artha. Rasa kantuk yang sebelumnya

mendera, lenyap seketika.

"Yang kuat, ya, Nai. Tuhan lebih sayang sama mama lo."

"Maksud lo?"

Artha menghela napas panjang. Tangan masih bertahan pada kedua bahu Naira. Posisi mereka saling berhadapan. Dan kini tidak ada lagi yang bisa ditutup-tutupi karena Naira harus segera

mengetahui kebenarannya.

"Baru saja Nyokap telepon. Dia ngasih tahu Kalau mama lo kritis, dan meninggal lima menit yang lalu."

Hening. Naira tak mengatakan apa pun. Mulutnya seakan terkunci rapat. Hidupnya mendadak gelap, seperti listrik yang belum menyala.

Dari cahaya lilin yang remang-remang, beberapa jenak suasana hening itu tercipta, Artha bisa melihat sebulir air mata menetes di pipi. Naira hanya mematung, tak bicara apa pun. Berita yang baru saja Artha sampaikan bukan hanya membuatnya terkejut, tetapi syok berat. Bahkan, dia tak mampu merasai bagaimana kondisi hatinya kini.

"Nai, lo nggak papa, kan?" Pertanyaan Artha seakan-akan mengambang di udara, tak membuat gadis berambut panjang itu serta-merta merespons-nya.

Pandangan Naira mengarah ke depan di mana ada Artha di hadapannya. Namun, pandangan itu hanyalah pandangan kosong yang tak ada bias

bayangan tertangkap pada kornea mata.

"Nai!"

Merasa tak mendapatkan respons, Artha meraih

tubuh Naira, memeluk gadis itu. Mata yang sejak tadi terbuka kembali mengerjab, meneteskan buliran jernih yang semakin banyak. Barulah terdengar isakan tangis dari bibir Naira. Tubuh gadis itu berguncang. Tangisnya pecah saat itu juga. Suasana malam yang pekat. Hujan pun makin lebat, melenyapkan suara tangis Naira yang berada dalam pelukan ArArtha.

"Mama...!" Dia histeris, merasakan kesedihan akan kehilangan seorang ibu. Tiada lagi tempat berkeluh kesah. Tiada lagi seseorang yang menjadi tempatnya bercerita. Tidak ada lagi pelukan Mama yang menguatkannya, memberi dukungan atas semua hal yang sudah dia lakukan.

"Mama....!" Suara Naira bergetar. Artha masih berusaha menenangkannya.

"Sabar, ya, Nai. Gue tahu ini berat. Tapi lo harus kuat. Mungkin ini memang yang terbaik buat Mama lo. Selama ini dia sudah menahan sakit itu demi lo. Dan mungkin dia sudah nggak kuat lagi dan ingin terbebas dari rasa sakit itu."

"Gimana gue bisa sabar? Cuma Mama yang gue punya. Cuma Mama yang sayang sama gue. Gue nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini." Suara

Naira terdengar tak jelas, diiringi tangisan yang tak

bisa dihentikan.

Bayangan senyum mamanya setiap berangkat bekerja. Selalu memberi petuah-petuah aneh yang kemudian ditertawakan bersama. Kehidupan Naira memang berat, tetapi mereka menjalaninya dengan bahagia. Saling menguatkan, dan saling menyayangi. Jika ada salah satu yang mengeluh, selalu berakhir dengan tawa. Ya, mentertawakan nasib sendiri adalah cara mereka menikmati hidup. Karena mengeluh saja hanya akan menambah kesengsaraan.

Namun, semua itu hanya tinggal kenangan. Naira sendiri. Tiada lagi gelak tawa sang mama. Tiada lagi pelukan hangat mama. Semua berakhir di malam ini.

"Gue tahu. Gue mengerti bagaimana perasaan lo. Kalau lo bilang nggak ada yang sayang sama lo. itu salah. Banyak yang sayang sama lo."

Kepala Naira masih didekap Artha. gadis itu menumpahkan seluruh tangisnya di sana. Kaus yang Artha kenakan sudah lecek dan basah dengan air mata. Lelaki itu tak menghiraukannya.

"Banyak yang sayang?" Naira tersenyum dalam tangis. Bukan tersenyum bahagia, melainkan

tersenyum miris.

Kalimat yang Artha lontarkan adalah sebuah penghiburan yang sebenarnya tidak mungkin terjadi. Sepanjang dia hidup di titik terendah, tiada yang tulus menyayanginya selain sang mama. Bahkan, teman-temannya pun selalu mencari segala cara untuk mengganggunya, mempermalukannya. Jadi, kalimat bahwa banyak yang sayang kepada Naomi hanyalah sebuah bualan. Naira tak merasakan itu.

"Lo bercanda, kan?" kata Naira lirih di sela isak tangis.

"Mana ada yang sayang sama gue. Semua orang benci sama gue. Nggak ada yang bisa dibanggain dari gue, Ta. Enggak kayak lo! Semua pada rebutan biar bisa deket sama lo. Sementara gue mereka pada ingin mengusir gue agar bisa menjauh."

Pelukan mengendur. Artha menegakkan tubuh Naira, menggenggam kedua bahu gadis itu. Kini, tangannya sudah berpindah pada wajah, membingkai wajah cantik itu dengan kedua telapak tangannya.

"Dengerin! Lo harus mengingat ini sampai kapan pun."

Artha menatap lekat wajah Naira yang sudah basah akan air mata. Ibu jari mengusap kedua ujung mata Naira, menyeka air mata yang masih

berlinang di sana.

"Gue yang akan ngelindungin lo! Gue yang akan selalu berada di sisi lo. Gue janji nggak akan ninggalin lo! Mama sudah nganggep lo seperti anak sendiri. Lo jangan nganggep nggak ada orang yang sayang sama lo. Nggak ada yang peduli sama lo. Itu nggak bener, Nai. Gue dan keluarga gue peduli sama lo. Sayang sama lo!" ujar Artha seraya menatap lekat-lekat gadis itu. Dia tak pernah seemosional ini, tetapi bersama Naira, semua terasa berbeda.

"Artha ....” Naira berusaha tersenyum meski hatinya perih. Perkataan Artha cukup membuatnya terhibur. Rasa haru pun merambat ke relung hati.

Lagi, Artha kembali memeluk Naira, mengusap kepala gadis itu.

"Gue tahu lo kuat. Gue tahu lo sanggup ngejalanin semua ini."

Naira mengangguk, tak lagi histeris seperti tadi. Namun, tetap saja rasa pedih itu masih mendera diri. Dia merasa kehilangan.

****

Sebuah mobil melaju dengan kecepatan normal, menembus hujan yang masih turun dengan lebat.

Naira dan Artha duduk di kabin penumpang dengan Tangan saling menggenggam. Tiada hal lain yang sanggup Artha lakukan selain memberi dukungan pada Naira, menunjukkan bahwa gadis itu tidak sendiri.

Ravindra sengaja menjemput Naira ke rumah kontrakannya karena hujan tak kunjung reda. Dia yakin jika gadis itu ingin melihat mamanya. Dari kaca spion tengah, Ravindra bisa melihat wajah sembab Naira yang sedang menatap ke luar jendela.

Entah apa apa yang saat ini dipikirkan gadis itu. Tampak di sana air mata seakan-akan tak berhenti

berderai membasahi pipi.

Mobil berbelok pada rumah sakit di mana tempat Maya dirawat. Tiada suara lain selain rintik hujan yang masih setia mengguyur kota. Naira turun lebih dulu, disusul Artha dan Ravindra.

Ravindra berjalan mendahului, menunjukkan di mana Maya berada. Sementara itu, Naira mengikuti di belakangnya bersama Artha. Lelaki itu tak sedikit pun melepas genggaman tangannya pada tangan Naira.

Sampai akhirnya mereka berhenti pada ruang tindakan. Naira yang sempat menghentikan tangisnya seolah tak sanggup lagi menahan. Dia

berlari, melepaskan genggaman tangan Artha,

Berhambur memeluk tubuh yang sudah tertutup kain putih. menahan kesedihan yang saat ini dirasakan.

Ruangan yang sebelumnya tak boleh lebih dari satu orang yang memasuki dan selalu menggunakan pakaian steril, kini telah dibuka lebar-lebar dengan Artha, Naira, Siena, dan Ravindra berkumpul di sana. Tiada yang bersuara, hanya terdengar tangisan Naira yang tengah memeluk jasad ibunya. Siena melangkah mendekat, mengusap kepala Naira.

"Ikhlaskan kepergian Mama, ya! Biarkan dia tenang. Kamu nggak sendiri. Masih ada kami yang juga orang tuamu."

Naira mengangkat kepala yang sempat tertunduk, menoleh pada sosok dewasa di sampingnya.

"Tante ...."

Siena memeluk Naomi, membawa gadis itu dalam dekapannya.

"Kamu yang sabar, ya! Kami juga keluargamu. Jangan merasa sendirian. Berbagilah sama kami."

Pemandangan itu begitu mengharukan. Artha dan Ravindra saling menatap, lalu pria paruh baya

berakata kepada anak sulungnya.

"Tugasmu lebih berat. Kamu harus bisa menyayanginya. Jika tidak bisa menyayanginya sebagai istri, setidaknya anggaplah dia seperti adikmu sendiri. Jangan pernah memperlakukannya dengan buruk. Karena bukan hanya mamamu yang akan marah, tetapi Papa juga."

Artha hanya mengangguk. Perasaan benci akan hubungan pernikahan yang dipaksakan dulu telah sirna seiring waktu. Selama bersama Naira, banyak hal yang membuat matanya terbuka. Dia lebih bertanggung jawab dan tak lagi berbuat ulah seperti sebelum-sebelumnya.

Fajar telah menyingsing, tetapi tidak dengan kesedihan yang sedang dialami gadis berkerudung putih itu. Membawa Al-quran di tangan dengan membacakan ayat suci mengiringi jenazah sang mama yang akan dikebumikan sekitar pukul tujuh pagi.

Terlihat banyak pelayat berdatangan di rumah kontrakan sempit Maya. Tak hanya itu, Siena dan Ravindra pun ikut menemani Naira menerima tamu dan mengurus jenazah mamanya. Gadis itu masih duduk bersila di bawah kaki jenazah, melantunkan ayat suci untuk mendoakan sang mama.

Siena duduk di samping Naira ketika para pelayat akan mengebumikan jenazah Maya. Saat itu juga Naira menangis, tak kuat melihat mamanya akan dimakamkan. Dekapan erat Siena meredam tangis yang nyaris pecah. Gadis itu tak bisa menahan diri untuk tidak meraung, melepaskan semua beban

dalam tangis yang tertahan.

Sunyi seakan mengambil alih masa. Tiada suara yang terdengar di sana. Naira duduk dengan bersandar pada dinding bercat biru muda, menatap kosong ke depan di mana ada foto mama dan dirinya sedang berpelukan.

Karena ada hal yang harus dikerjakan, terpaksa Ravindra meninggalkan kediaman Naira. Sementara Siena masih berada di sana bersama Artha. Mereka duduk bersama di ruang tamu yang pintunya sengaja dibuka lebar-lebar.

"Nai, kamu ikut Artha pulang ke rumah, ya? Bukankah di sini hanya rumah kontrakan. Lebih baik tinggallah di rumah kami."

Naira yang masih menatap kosong ke depan mengangguk, tetapi bibirnya berkata lain.

"Tapi biaya sewa rumah ini masih sisa lima bulan lagi. Mama melunasinya setahun penuh."

Siena tersenyum.

"Biarkan saja. Mama dan Artha tidak memaksamu memutuskan cepat. Kami akan menjemputmu sampai kamu siap pindah. Dan kamu Artha" Siena mengarahkan tatapannya kepada anak sulungnya itu.

"Kamu tetap menjaga Naira di sini. Bujuk dia pelan-pelan untuk mau tinggal di rumah kita."

"Tante ... terima kasih. Kalian sangat baik. Saya tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikan

kalian."

"Hai, kamu manggil apa tadi?" Siena menggeleng lemah.

"Jangan manggil Tante lagi. Bukankah saya juga orang tuamu?"

Naira mengangguk, menggigit bibir bawah agar tak menangis lagi.

"Maaf, Ma." Dia mencoba tersenyum walaupun hanya di bibir.

"Mulai sekarang, Mama dan Papa Ravindra, itu adalah orang tuamu. Kamu nggak sendiri, Sayang.

Kami juga keluargamu."

Artha melihat Siena memeluk Naira erat. Mamanya begitu menyayangi Naira. Entah mengapa sejak awal sang mama begitu peduli

dengan gadis itu. Dan saat ini, ketika Naira telah

Kehilangan mamanya, kasih sayang perempuan

paruh baya itu terlihat meluap-luap.

Sampai sebuah suara membuat pelukan itu terurai. Ada yang mengucapkan salam dari luar. Artha keluar lebih dulu, mendapati beberapa guru dan teman-teman sekelasnya datang ke kontrakan

Naira.

"Artha! Kamu di sini?" Pak Malik sempat terkejut karena ternyata Artha sedekat itu dengan Naira. Begitupun dengan teman-temannya. Walaupun setiap hari mereka melihat Naira dan Artha berboncengan bersama, tetapi tak menyangka sampai Artha ikut bolos demi menemani Naira di hari kematian Maya.

"Silakan masuk, Pak. Naira dan Mama ada di dalam." Artha mengulurkan tangan, mempersilakan para guru masuk untuk bertakziah. Karena kontrakan Naira sempit, tak banyak orang yang bisa masuk ke sana. Sehingga teman-teman sekelas Naira lebih memilih berada di teras, atau dudukduduk di atas motor.

Thalita ikut di antara para rombongan. Gadis itu melangkah mendekati Artha. Dengan pakaian bebas seperti ini pun, Artha terlihat semakin menawan.

"Artha, lo seharian di sini?" Thalita duduk tepat di

Samping Artha. Rambut panjangnya diarahkan separuh ke depan, membiarkan yang lain terurai di

belakang.

"Iya. Mama juga ada." Artha menjawab dengan

datar.

"Apa? Sebenarnya Naira itu siapa lo, sih? Apa masih ada hubungan darah?" Thalita cukup terkejut ketika mendengar ada mama Artha di dalam. Jika hanya ada Artha, mungkin masih wajar. Namun, kali ini sudah melibatkan orang tua, pasti ada hal yang memang disembunyikan yang tak diketahui Thalita.

"Kalau iya, memang kenapa?" Perkataan Artha

jelas membuat Thalita melebarkan mata.

"Tidak mungkin!" Thalita menggeleng.

"Mama lo hanya kasihan kan sama Naira? Jika memang kalian ada hubungan kekeluargaan, tidak mungkin selama ini Naira diam saja dan hidup serba kekurangan. Tidak mungkin dia akan diam saja saat dikerjai teman-teman."

Kalimat Thalita mengungkapkan sesuatu hal tanpa disadari.

"Apa termasuk dikunci di toilet?"

"Iya, tentu sa-" Thalita menutup bibirnya seketika. Matanya tak berani menantang sorot mata tajam Artha yang sedang menatapnya tanpa berkedip.

Dia menelan ludah.

"Jadi lo dalang semuanya?" tanya Artha memastikan.

"Enggak. Itu nggak bener. Gue nggak tahu apa-apa!" Thalita berkata dengan intonasi suara panik.

"Nggak bener? Nggak tahu apa-apa? Apa maksud

lo? Dengan lo berusaha menutup-nutupi, lo justru membuka semua kelakuan busuk lo terhadap Naira!"

Artha masih mengarahkan pandangannya di sana, tak menoleh sedikit pun.

"Gue tekankan sama lo! Jika terjadi sesuatu terhadap Naira, gue yang akan bikin perhitungan sama lo! Denger itu!" ucap Artha tegas yang langsung membuat Thalita tersentak.

1
Indriani Kartini
lanjut thor
karina
up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!