Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Takut
Ghea menatap Vika lekat.
“Karena kamu sendiri bilang kamu curiga sama niatnya deketin aku. Kalau aku terima bantuannya, aku bakal punya utang budi. Dia bakal minta imbalan. Aku bakal kesulitan nolak dia nanti. Jadi aku putuskan buat ngambil alih semua ini dengan usahaku sendiri. Tanpa dia.”
Vika menghela napas, mengangguk pelan.
“Kamu bener juga…” gumamnya. Lalu menatap wajah Ghea yang tampak lebih galau dari biasanya. “Tapi... kamu sampai gak bisa tidur kayak gitu. Kamu mikirin dia?”
Ghea menunduk, memeluk dirinya sendiri.
“Ya… aku rindu sama dia, Vik. Tapi aku juga ragu. Dan sekarang… aku juga takut.”
“Takut kenapa?”
Ghea membuang napas panjang.
“Aku bilang sama dia, kalau mungkin dia deketin aku cuma karena hartaku. Tapi dia kasih aku bukti… sesuatu yang bikin aku gak bisa tidur.”
Vika menajamkan mata. “Bukti apa?”
Ghea menatapnya lekat-lekat.
“ATM. Atas namaku. Pin-nya tanggal lahirku. Saldonya… dua puluh juta dolar.”
Vika nyaris menjatuhkan ponselnya.
“Apa?! Dua puluh juta?! Dolar?! Itu… itu kayak… sekitar tiga ratus dua puluh enam miliar, Ghea! Astaga naga. Itu uang atau daun jatuh dari langit?”
Ghea mengangguk pelan. “Aku udah cek. Aku bisa akses. Dia buat rekening atas namaku.”
Vika menganga tak percaya.
“Itu bukan hadiah biasa, Ghe. Tapi… bisa juga trik. Kamu harus hati-hati.”
“Aku tahu,” bisik Ghea. “Makanya aku pindahin sepuluh juta ke rekening lamaku buat ngetes. Dan dia… gak marah sama sekali. Bahkan bilang, kalau itu harga yang harus dia bayar agar aku tahu perasaan dia sungguh-sungguh, dia akan bayar lagi dua kali lipat.”
Vika menggeleng pelan.
“Jadi kamu makin bingung sekarang?”
Ghea menatap kosong ke depan.
“Aku nyaman sama dia, Vik. Aku rindu dia. Tapi aku juga takut. Takut kalau semua ini cuma permainan. Takut kalau aku jatuh lebih dalam… dan nggak bisa bangkit lagi.”
Vika terdiam.
Sunyi menyelimuti ruangan sejenak, hanya detik jam dan helaan napas berat dua perempuan itu yang terdengar. Masing-masing tenggelam dalam pikiran yang berbeda—namun sama-sama bingung mencari arah.
Lalu Vika membuka suara.
“Sebenarnya… kamu suka dia karena dia lebih muda? Lebih tampan? Badannya lebih bagus? Lebih kaya dari David?”
Ghea tersenyum tipis, pahit.
“Kalau aku bilang enggak, aku munafik. Siapa yang gak suka pria sempurna kayak dia?”
Ia menghela napas panjang, menatap langit-langit.
“Tapi bukan cuma itu, Vik. Aku nyaman sama dia… dan aku gak tahu kenapa.”
Ia menunduk, jemarinya menggenggam bantal kecil di sofa.
“Bersamanya aku merasa diinginkan. Dihargai. Dilindungi. Dia memang posesif, protektif, dan… jujur, dia berbahaya. Tapi entah kenapa, aku suka. Aku suka perasaan itu.”
Vika mengernyit.
“Berbahaya?”
Ghea mengangguk pelan.
“Caranya memandang aku, cara dia berbicara… dia bisa membuatku meleleh dan menggigil dalam satu tarikan napas. Dia seperti badai yang siap melahap segalanya, tapi juga bisa jadi tempat teraman saat aku merasa rapuh.”
Vika diam.
Mencoba memahami.
Mencoba tidak menghakimi.
Ghea menarik napas berat, suaranya nyaris seperti gumaman.
“Saat bersamanya, aku... aku tak yakin bisa mengendalikan dia. Bahkan, aku takut kehilangan kendali atas diriku sendiri. Dia pernah masuk ke rumahku, ke kamarku. Diam-diam tidur di sampingku sampai pagi. Memelukku seperti... aku miliknya.”
Mata Vika terbelalak, tangannya refleks menutup mulut.
“Astaga... kamu serius? Sampai segitunya?”
Ghea mengangguk pelan.
“Dan yang lebih gila lagi... dia pernah tidur seranjang denganku, memelukku—saat David juga tidur di ranjang yang sama.”
“Apa?!” Vika setengah berteriak. Ekspresinya sulit didefinisikan antara syok, takut, dan tak percaya.
“Gila! Gila banget! Siapa sih yang seberani itu? Tidur sama istri orang, saat suaminya di sana juga? Dia tuh nekat, atau emang udah gak waras?”
Ghea memijit pelipisnya yang mulai nyeri.
“Dia seperti... jalangkung. Tahu-tahu muncul. Diam-diam menyusup. Lalu menghilang tanpa jejak. Aku takut, Vik. Takut semua ini cuma obsesi. Aku pernah menawarinya uang untuk menghamiliku—dan saat dia mulai menyentuhku, aku malah membatalkannya. Mungkin dia belum selesai menghukumku karena itu.”
Vika mengangguk pelan, mulai memahami tapi masih ngeri.
“Aku bisa lihat itu. Sekali lihat aja, aku tahu dia bukan cowok biasa. Dia... dominan. Liar. Penuh pesona. Dan jujur aja, dengan penampilan dan uangnya, banyak perempuan pasti rela dilempar ke ranjangnya. Tapi kamu? Kamu menolaknya. Itu bikin egonya terusik. Dia enggak ngejar kamu karena cinta, Ghe. Dia mungkin cuma ingin menaklukkan kamu.”
Ghea terdiam. Jemarinya meremas bantal kecil itu lebih erat, seolah berusaha menahan getar di dadanya yang mulai kacau lagi.
Gedung Arta Karya Interior
Dua hari setelah ia menghubungi kontak rahasianya, Tessa menerima laporan singkat—terlalu singkat, dan itu justru membuatnya tak tenang.
Ia membaca ulang laporan itu di ruang kerjanya sambil menggigit bibir bawah, kesal.
Leon.
Alamat: Tidak ada data.
Catatan keluarga: Tidak ditemukan.
Pendidikan: Tidak teridentifikasi.
Rekam jejak bisnis: Nihil.
Status kepemilikan saham Mahardika Group: Tidak terdaftar.
Jabatan di Mahardika Group: Tidak ada dalam struktur resmi.
Keterangan tambahan: Meski tidak memiliki jabatan formal, Leon sering muncul saat Mahardika Group menghadapi klien-klien penting, terutama wanita. Ia dikenal sebagai sosok yang ‘menangani secara pribadi’ negosiasi bernilai tinggi yang bersifat off the record. Tidak punya ruangan khusus. Tidak pernah menghadiri rapat direksi. Tidak pernah bicara ke media.
Tessa membanting berkas itu ke meja.
“Brengsek,” desisnya. “Apa dia bayangan? Boneka? Atau…”
Pikirannya dipenuhi kemungkinan-kemungkinan buruk. Seseorang seperti Leon—yang mampu masuk ke dalam sistem tanpa terlihat, bahkan menangani negosiasi bernilai tinggi—jelas bukan pria biasa.
Apalagi, jika ia menyimpan rahasia sebesar itu.
Tessa bersandar ke kursinya, menatap langit-langit dengan mata sempit.
“Apa sebenarnya tujuanmu, Leon?” gumamnya pelan.
Karena satu hal kini pasti di benaknya: selama pria itu berada di sekitar Ghea, rencananya dengan David tak akan pernah berjalan mulus.
Tessa menatap kosong ke luar jendela ruangannya. Langit Jakarta mendung, seperti pikirannya.
Leon.
Nama itu menyelusup seperti duri yang menusuk perlahan. Kecil, tapi menyakitkan. Tak terlihat, tapi terus terasa.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Tak ada catatan. Tak ada kantor. Bahkan tak punya jabatan resmi. Tapi semua orang di Mahardika Group tahu siapa yang akan menangani klien penting. Terutama… klien wanita."
Tessa mengepal jemarinya di atas meja.
"Pria seperti itu… bukan cuma tampan. Dia berbahaya."
"Lalu, Ghea? Wanita itu?"
"Istri yang dicampakkan suaminya karena terlalu... membosankan? Terlalu ‘istri’? Kenapa pria seperti Leon memilih dia?"
"Pura-pura cinta? Atau karena dia tahu harta Ghea belum sepenuhnya jatuh ke tangan David?"
Tessa mendengus pelan. Kepalanya sedikit menggeleng, seolah menolak logika yang menyakitkan itu.
"Leon ingin Ghea."
"Dan sialnya, dia berani mengatakannya di hadapanku."
“Semakin cepat David melepas Ghea, semakin cepat aku bisa memperistrinya…”
Kata-kata itu masih membekas seperti luka bakar di dadanya.
"Berani sekali kau, Leon."
"Tak cuma meremehkanku, tapi juga berani mengacaukan apa yang sedang kuusahakan selama bertahun-tahun: harta Ghea, dan David."
"Kalau aku memberi tahu David tentang keinginanmu, mungkin egonya akan terpukul."
"Mungkin dia akan cemburu."
"Mungkin dia akan kembali ke Ghea."
"Atau…"
"Tidak. Terlalu berisiko."
"Kalau David kembali padanya, aku kehilangan semuanya."
Tessa berdiri, berjalan pelan ke ruangan David yang kosong. Ia menyentuh punggung kursinya, perlahan-lahan, seolah membelai kenangan yang belum sempat terjadi.
"Belum saatnya aku kehilanganmu, David."
"Mungkin kau belum mencintaiku."
"Tapi kau butuh aku."
"Tubuhku."
"Ketenangan yang kuberi."
"Kemudahan yang kusuguhkan."
"Aku akan tetap bersamamu. Tapi dari bayang-bayang."
"Di kantor."
"Di ranjang."
"Di sela-sela waktumu yang tersisa untuk Ghea."
"Dan pria itu… Leon."
"Kau pikir kau bisa mencuri segalanya diam-diam?"
"Aku akan menemukan siapa kau."
"Aku akan membuka semua topengmu."
"Dan saat itu tiba… aku sendiri yang akan memotong tali penghubungmu dengan Ghea."
"Dengan caraku."
"Tanpa kau sadari."
Vika baru saja selesai menikmati makan malamnya di sebuah restoran. Meski pikirannya tak lepas dari masalah yang dihadapi Ghea. Apalagi sampai saat ini detektif yang ia sewa untuk mencari informasi tentang Leon belum juga memberikan informasi apapun. Hingga sebuah suara membuat tubuhnya menegang.
"Kau cukup berani menyelidiki seseorang yang seharusnya tak kau usik. Apa kau tak takut konsekuensinya?"
Vika membeku. Suara itu... dingin, tapi familiar.
Dan entah kenapa, ia merasa malam itu bukan hanya makan malam terakhirnya—tapi juga awal dari bencana yang belum ia bayangkan.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
kamu itu udah hancur tapi belom nyadar,
sekali lagi kamu ganggu Ghea kamu akan jadi abu di tangan Leon...
Tessa...Tessa ,udah jatuh pun masih juga gak sadar diri...
ya gtu la slengki,klo gak ada cuan ya kmu jdi budak
Tapi karena nafsu, ambisi, dan kebodohan David - sekarang baru merasakan hasil tuaiannya.
Di apartemen David tak menemukan makanan apapun - Tessa makan malam bersama seorang pria untuk memenuhi keinginannya - melihat ada Ghea.
Tessa bikin ulah - pamit ke toilet - saat berpapasan dg pelayan yang membawa gelas melewati Ghea - kakinya menjegal. Satu gelas pecah berkeping-keping di lantai, satu lagi terlempar hampir mengenai wajah Ghea - Leon datang tepat waktu dengan sigap menangkapnya.
Kasihan si pelayan korban kelicikan Tessa.
Bisa jadi Leon melihat ulahnya Tessa - habis kau kalau benar.
Tessa kamu sudah membuat Ghea menderita sekarang kamu sudah menuai apa yang kamu tanam.
kenapa kamu masih berbuat kejahatan sadar Tessa harusnya Kamu tobat.
Benar² tuh si Tessa kelakuannya yang busuk,bersyukur Leon datang tepat waktu jadi rencana busuknya gatot keburu Leon datang...Chek CCTV Leon...kamu harus tahu yang melakukan itu pada Ghea adalah si Tessa,kasih pelajaran buat si Tessa PELAKOR
Lanjutkan Kak Nana... 🙏🙏🙏
Gas Leon ,hancurkan hama 1 itu