Jika merindukan orang yang sudah tiada adalah hal menyakitkan, mungkin tidak selamanya seperti itu yang di rasakan oleh seseorang.
Dia merindukannya tapi di satu sisi ia ingin menjauh dan pergi darinya demi kebahagian orang yang ia sayangi.
Dan semua kenangan yang pernah tercipta akan kah hilang seiring dengan luka yang sudah terlalu lama bertahta???
Selamat datang di tulisan receh Mak Othor 😊
Biar ngga gagal paham, silahkan mampir ke Riang (sadar diri) lebih dulu 🙏🙏🙏
semoga di minati teman-teman readers ya 🤗 mohon kritik dan sarannya.
Terimakasih 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ibu ditca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Shakiel meraih ponsel yang ada di saku jas nya. Ia ingin memastikan pukul berapa ia pulang. Saat layar terbuka, jam menunjukan pukul sebelas lewat dua puluh lima menit.
"Sejak kapan aku tidur di sana!", monolog Shakiel. Dan sebuah chat dari nomor tak terdaftar membuatnya membuka room chat di aplikasi hijaunya.
Ia menghentikan langkahnya. Di bacanya berulang sebuah foto undangan pernikahan itu.
Tak lupa sebutan catatan di bawah undangan itu.
[Pasti perasaan Lo biasa aja kan? Oh ...iya lupa! Lo kan udah mati rasa?! Jangan kan sama cinta pertama Lo, sama keluarga Lo aja udah ga peduli!]
Shakiel paham cara penulisan pesan Ganesh, ya pengirim pesan itu memang Ganesh.
Shakiel membaca nama mempelai pria yang akan menjadi pasangan Ghalia.
Diaz? Kak Diaz yang suka sama mba Riang? Terus ternyata suka sama Teh Zea? Batin Shakiel.
Pemuda itu menggeleng pelan.
"Kenapa harus sama Diaz???", monolog Shakiel. Ia menghela nafas panjang. Memilih duduk di bangku yang ada di depan ruang tunggu.
Di baca lagi undangan yang Ganesh kirim. Entah kenapa ada perasaan tidak rela saat tahu Lia akan menikah dengan Diaz!
Tunggu! Sekali pun itu bukan Diaz ,Shakiel tetep tidak rela juga!
"Aku suka sama cewek, Ma!", curhat El saat itu pada Citra.
"Oh ya...siapa tuh?", kata Citra menanggapi.
"Mama kenal sih, tapi ....?!"
"Tapi kenapa? Ngga ada yang salah lho sama namanya suka atau jatuh cinta. Ya...seumuran kamu memang lagi puber sih El. Emang siapa?"
"Adiknya mas Syam!", bisik El.
Citra menautkan alisnya.
"Ghalia?", tanya Citra. Shakiel mengangguk.
"Tapi...kita masih bau saudara kan Ma?", tanya El.
Citra terkekeh.
"Sejak kapan saudara ada baunya ,El? Ada-ada aja!"
Shakiel ikut tersenyum. Dan sejak saat itu, tiap ada kesempatan untuk berbicara ,Shakiel yang ada di asrama pasti curhat pada mama tirinya tersebut. Tidak ada satupun yang ia tutupi. Bahkan bisa di bilang, El lebih dekat dan berani bercerita hanya dengan Citra.
"El, kalo naksir sewajarnya aja. Jangan berlebihan! Siap jatuh cinta harus siap patah hati juga!", kata Citra. Shakiel remaja kala itu hanya mengangguk tanpa mencoba memahami ucapan Citra.
"Mama benar! Kalau siap jatuh cinta, harus siap patah hati juga!", monolog Shakiel.
"Tapi aku tak menyesal bahwa aku...pernah merasa jatuh cinta sama kamu, Lia! Semoga kamu bahagia!", kata Shakiel. Ia menyimpan ponsel itu ke dalam sakunya. Tak lupa ia menggendong ransel yang ada di ruangannya tadi.
Ia akan menggunakan taksi untuk kembali ke hotel dimana ia menginap sementara waktu.
💕💕💕💕💕💕
Galih dan kedua orang tua si kembar tiba di halaman rumah Lingga. Halaman rumah Abah sudah tertutup tenda.
"Nak Galih?!"
"Ya Bu?", sahut Galih sopan. Belajar dari yang tadi, ia tak mau kelepasan bicara. Apalagi lawan bicaranya bukan orang sembarangan!
"Dulu saya pernah tinggal di kampung sebelah, tapi kayaknya belum ada rumah ini ya", Bia mencoba mengingat-ingat. Bagaimana pun dulu ia pernah tinggal di kampung sebelah.
"Iya Bu, kata ibu saya...dulu rumahnya mah gubuk. Terus setelah kakak sulung saya menikah, baru di renov", kataGalih. Bia menganggukkan kepalanya.
"Memang rumah ibu sebelumnya di mana?", tanya Galih.
"Bukan rumah saya, tapi rumah mantan mertua saya!", jawab Bia. Galih menoleh pada Febri yang tampak biasa saja.
"Oh....!", Galih memilih jalur aman agar tak salah menyahuti.
Mereka bertiga turun di susul mobil ajudan Febri.
"Galih???", Salim yang tak tenang karena menyesal menyuruh anaknya ke toko pun memilih menunggu di depan rumah. Dan saat melihat ada mobil asing, ia pun mendekat.
"Hehehe Abah!", Galih cengengesan.
"Assalamualaikum abangnya Galih", sapa Febri.
"Walaikumsalam!", jawab Salim. Febri pun menjelaskan kejadian yang di alami Galih hingga akhirnya ia di antar.
"Astaghfirullah , Aa mah! Emang ngga liat dulu masih ada bensin apa ngga? Untung ketemu nya pak Febri." Galih menunduk malu.
"Ngga usah di marahi pak, kan kalo ngga ketemu Galih saya juga masih cari alamat rumah ini!", kata Febri.
"Maaf pak Febri memang sengaja akan kemari?", tanya Salim.
"Kan bapak yang mengundang kami, kami orang tua Fesha Ribi!", jawab Febri. Salim menoleh pada Galih, lalu pada dua orang ajudan berpakaian safari yang sedang menurunkan kardus minuman gelas dari mobilnya.
"Masyaallah, bapak ibunya neng kembar? Kenapa kamu teh ngga bilang A!", kata Salim pada Galih.
Si Abah mah nyalahin melulu ih...Galih ngedumel dalam hati.
"Mari masuk Pak, Bu! Istirahat di dalam!", pinta Salim.
"Iya pak, terimakasih !", jawab Febri dan Bia bersamaan.
Kondisi rumah sangat sepi, wajar sudah tengah malam. Hampir semua sudah terlelap. Apalagi hawa nya memang sangat dingin.
"Aa ,buatin minum buat orang tua neng kembar. Sama buat aa-aa kasep di depan!", pinta Salim lagi.
"Iya, Abah ...!", kata Galih nurut.
Yang sabar ya Galih, anak sabar rejekinya besar! Eh...banyak!
Salim dan kedua orang tua Fesha Ribi pun banyak mengobrol. Galih meletakkan minuman hangat itu di depan ketiga orang dewasa tersebut.
Lalu ia membawa minuman itu untuk para ajudan di depan.
"Mangga A!", kata Galih. Dua laki-laki berbadan tegap itu mengangguk dan tersenyum ramah.
"Terima kasih dek!", katanya. Galih tak menyangka di balik wajah garangnya, mereka ramah juga.
"Aa teh lulus SMA daftar tentara ya A?", tanya Galih.
"Kami lulusan Akmil, dek!", kata salah satu dari mereka.
"Oh ...!", Galih mengangguk paham.
"Tertarik dek jadi kaya kami? Kaya bapak gitu?", tanya yang satunya. Galih dengar cengir.
"Belum tahu A, tertarik sih....!", katanya. Lalu ketiga nya pun terlibat obrolan menarik lainnya.
💕💕💕💕💕
"Kamu baru pulang Shaki?", tanya Devi yang kebetulan bertemu di lorong hotel.
"Iya Dev, ketiduran."
"Tapi itu kan udah di luar jam kerja kamu, ngga masalah sih!", kata Devi.
"Kamu dari mana tengah malam begini?", tanya Shakiel. Devi tersenyum kaku.
"Eum...dari club', Khi!", jawab Devi jujur. Shakiel hanya menggeleng pelan.
"Hati-hati bergaul Dev! Kita jauh dari orang tua!", Shakiel memperingatkan Devi. Walaupun di Bali Devi suka ke Club' juga, tapi orang tuanya masih memantau. Sedang sekarang, dia mandiri di ibukota.
"Heum, iya Khi! Ya udah ,aku...masuk duluan ya!", pamit Devi.
"Iya!", sahut Shakiel yang masuk ke kamar nya juga.
Devi menyandarkan badannya di balik pintu.
"Gue cuma pengen ngalihin pikiran gue dari Lo ,Khi! Lo susah gue gapai!", monolog Devi.
💕💕💕💕💕💕
Terimkasih 🙏
si diaz said julid banget emak emak ini ya,, aku lempar apel krowak seri baru tahu rasa kamu mak..👊👊👊👊