Dibuang Setelah Melahirkan

Kini mereka bertiga duduk lesehan di kontrakan Gea. Gea masih memeluk ibunya. Ia masih belum menceritakan semuanya. Ibu pun tidak ingin memaksakan Gea. Ia masih sabar menunggu Gea menceritakannya secara langsung.

Pelukan Gea mulai mengendur. Ia menundukkan kepalanya sambil mer*mas jemari tangannya. Posisi duduk Gea saat ini berada di tengah-tengah kedua orang tuanya.

"Bu, Pa ... " panggil Gea dengan lirih.

"Iya nak," jawab keduanya bersamaan.

"Gea dan Mas David sudah bercerai ketika usia Alwin sekitar 1 bulanan."

Baik, ibu maupun bapak, keduanya tidak langsung menanggapi ucapan Gea. Mereka tahu, Gea belum selesai untuk bercerita.

"Gea dibohongi oleh Mas David. Mas David bilang ia punya satu adik dan orang tuanya sudah meninggal. Tapi ternyata, adik perempuannya itu adalah istri pertamanya dan Gea adalah istri kedua. Orang tuanya mas David rupanya juga masih hidup. Hiks ... hiks ... ternyata Gea hanya dimanfaatkan oleh mereka yang ingin punya anak. Makanya Alwin dibawa pergi tanpa sepengetahuan Gea."

Gea menutup wajahnya yang sudah berlinang air mata. Ia tak bisa lagi kuat di hadapan kedua orang tuanya. Ibu memeluk Gea lagi sambil mengusap punggung anaknya.

Bapak yang mendengar itu langsung shock. Untuk beberapa saat ia membeku. Rasa bersalah dalam dirinya pun mencuat. Harusnya ia memang tak pernah mengizinkan anaknya menikah waktu itu. Rupanya firasat buruk dulu itu, memang benar adanya. Tapi, mau bagaimana lagi? Semuanya sudah terjadi.

"Yang sabar ya Ge. Ibu tahu, semua ini sangatlah berat. Ibu cuma mau bilang, jangan pernah kamu taruh dendam di dalam hatimu. Kalau mau marah atau kesal, itu tidak apa-apa. Asal jangan keterusan. Cobaan yang sekarang kamu hadapi ini, pasti kamu bisa melaluinya. Ibu juga yakin suatu saat kamu pasti bisa bertemu Alwin lagi."

Gea menangis sejadi-jadinya mendengarkan ucapan ibunya.

"Pa, maafin Gea yang tidak mendengarkan nasehat bapak waktu dulu bapa mengingatkan Gea," ucap Gea sambil memegang tangan bapa nya dan ia taruh di wajahnya.

Bapa menghela napas.

"Bukan hanya kamu yang harus minta maaf Ge. Harusnya bapak juga. Sebagai seorang ayah, harusnya bapak tidak mudah luluh dengan rengekan mu. Harusnya bapak mencarikan dan menyeleksi suami yang baik untukmu."

Gea menggeleng.

"Bapak tidak perlu minta maaf. Gea yang salah disini."

"Tidak Ge."

Akhirnya keduanya pun saling meminta maaf dan memaafkan.

"Bapak tahu ini semua pasti sangat menyakitkan untukmu Ge. Tapi, yakinlah, hukum tabur tuai pasti ada. Suatu saat nanti mereka pasti akan mendapatkan ganjarannya. Untuk sekarang lebih baik kamu fokus sama diri kamu sendiri. Bapa juga yakin, David tidak akan mungkin menyakiti Alwin, kalau memang dia menikah denganmu hanya untuk mendapatkan anak."

"Iya Pak. Saat ini Gea lagi mengumpulkan uang untuk pergi ke Jakarta. Kata Gaza, Mas David ada disana. Gea mau pergi kesana untuk bertemu Alwin. Gea ingin memperjuangkan Alwin supaya hak asuhnya berpihak ke Gea. Gea nggak peduli mau sekaya apa dia. Gea akan memperjuangkan Alwin."

"Iya nak. Kamu boleh punya tekad seperti itu. Tapi, kamu juga harus siap mental. Semuanya pasti tidak akan mudah."

"Gea tahu Pak."

"Baguslah kalau kamu tahu Nak."

Bapak mengusap kepala Gea dengan sayang. Sebenarnya bapak pun tak kuasa menahan tangisnya melihat penderitaan sang anak perempuan. Tapi, ia tidak bisa melakukan itu. Kalau mereka bertiga menangis. Lantas siapa yang akan menguatkan mereka?

*

*

Waktu telah berganti menjadi malam. Ibu, bapak dan anak itu tidur bertiga di kasur yang hanya cukup untuk satu orang saja. Mereka mengakalinya dengan tidur setengah badan saja yang beralaskan kasur. Gea tidur di paling ujung, ibu di tengah dan bapak di samping ibu.

Ketika kedua orang tuanya sudah tertidur. Gea terbangun dan mengubah posisinya jadi duduk. Ia menatap kedua orang tuanya dengan tatapan nanar. Gea menangis lagi. Ia merasa bersyukur memiliki kedua orang tua yang bisa mengerti dirinya. Tidak menghakiminya.

Setelah berapa lama terbangun, Gea pun tertidur sambil memeluk ibunya. Tak lama setelahnya, Bapak pun terbangun. Cairan air mata pun mengalir dengan derasnya dari matanya. Bapak menangis tanpa suara. Setelah tadi berhasil menahan semuanya, akhirnya di malam yang sunyi dan sepi ini jatuh sudah kesedihannya.

"Malang sekali nasibmu Ge. Bapa berdoa semoga kamu bisa mendapatkan kebahagiaan setelah semua rasa sakit mu bisa kamu lepaskan semuanya."

Bapak bangun dari posisinya dan pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Setelah itu, ia melihat bahan-bahan kue dan peralatan membuat kue yang Gea punya. Lagi-lagi bapak merasa hatinya seakan sesak. Seharusnya Gea tak perlu bersusah payah seperti ini kalau menikah dengan orang yang tepat.

Bapak kembali ke kamar dan tidur di samping ibu.

*

*

Tamara mulai jengah dengan sikap Selena yang selalu pergi-pergian dan meninggalkan Alwin di rumah bersama baby sitter nya. Padahal kalau Selena pergi, Alwin kan bisa ia bawa juga. Tamara tidak terlalu suka Selena selalu melemparkan tugasnya sebagai seorang ibu sepenuhnya ke baby sitter.

"Sel, kalau kamu sering pergi-pergi seperti ini. Bagaimana nantinya Alwin bisa dekat? Jangan terlalu percaya pada baby sitter. Banyak loh di luar sana baby sitter yang menyakiti anak majikannya. Mama tuh inginnya kamu fokus mengurus Alwin, baby sitter itu tugasnya cuma membantu kamu bukan untuk mengurus semua hal tentang Alwin."

"Tapi, ma. Aku juga tidak bisa meninggalkan pekerjaan ini. Lagipula Santi bukan orang yang seperti itu. Dia tidak akan mungkin menyakiti Alwin. Aku jamin itu," jawab Selena.

"Ya, setidaknya kamu bawa Alwin ketika kamu pergi."

"Dunia luar tidak baik untuk kesehatan bayi ma. Aku hanya tidak ingin Alwin jadi sakit karena aku bawa keluar. Jadi lebih baik, Alwin aku tinggal di rumah saja. Itu lebih aman untuknya. Bukannya aku tidak mau membawanya tapi aku memikirkan bahayanya ketika aku membawa nya keluar Ma."

Jawaban Selena memang ada benarnya juga. Tapi sesekali kan tidak apa-apa untuk membawa bayi kelaut supaya ia bisa tahu seperti apa dunia luar selain rumahnya.

"Sudah ya ma. Aku harus segera pergi. Pihak agensi sudah menungguku. Aku titip Alwin. Kalau nanti dia rewel, kasih aja susu. Selena pamit Ma."

Selena mencium tangan mama mertuanya lalu pergi dari rumah, mengemudikan mobilnya.

Tamara hanya bisa menghela napasnya saja. Sejujurnya ia lebih suka mempunyai menantu yang tidak bekerja. Supaya bisa merawat cucunya juga menemani dirinya di rumah. Tapi, Selena tidak seperti itu.

Berbeda dengan suaminya yang ingin punya menantu yang sederajat dengan keluarganya. Ia menerima Selena karena terpaksa akan janji yang pernah diucapkan laki-laki itu.

*

*

TBC