Mutia Arini seorang ibu dengan satu putra tampan dan juga pengusaha bakery wanita tersukses. Kue premium buatannya telah membuat dirinya menjadi seorang pebisnis handal. Banyak cabang telah dibukanya di berbagai kota besar. Pelanggannya adalah golongan menengah ke atas. Di balik kesuksesannya ternyata ada sebuah rahasia besar yang disimpannya. Karena kejadian satu malam yang pernah dilaluinya, mengubah semua arah kehidupan yang dicitakan oleh seorang Mutia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moena Elsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 23
"Tuan, tambah akrab saja sama Langit" ucapnya. Sebuah remot berhasil melayang ke mukanya. "Wah, ini namanya KDRT tuan" Dewa memberengut. "Buruan sana, pesenin permintaan Bintang. Selepas itu aku tunggu kamu di ruang kerja!!!!!!" perintah Sebastian berlalu ke kamar juga untuk ganti baju seperti kedua bocah tadi.
Sementara Dewa turun ke lantai bawah untuk memenuhi permintaan Bintang. "Huh, merepotkan" gerutu Dewa.
Sementara itu Langit dan Bintang sibuk mengganti baju. Baju yang dibelikan Dewa sangat pas ukurannya dipake oleh mereka berdua. Langit dan Bintang saling berpandangan dan tertawa bersama. Ternyata Dewa membelikan baju ganti yang sama persis untuk Langit dan Bintang. Karakter spiderman yang menempel manis di kaos mereka semakin menambah aura ketampanan di wajah bocah-bocah tampan itu.
Langit tak sengaja melihat sebuah foto dalam pigura yang ditaruh di atas meja. Langit beranjak mendekat dan mengamati foto itu. Bintang mengikuti arah pandangan Langit. "Eh, itu foto uncle waktu kecil" Bintang memberitahu Langit. "Really???" tanya Langit tak percaya. Selanjutnya Langit menyandingkan foto itu di samping mukanya, "Mirip nggak?" tanya Langit penasaran. Bintang pun terbengong, "Bagaimana bisa mirip sekali wajah mereka berdua?" batin Bintang. "Kita tanya uncle aja" seru Bintang.
Akhirnya sambil makan makanan yang dibelikan Dewa, kedua bocah itu menginterogasi sang uncle. "Uncle, aku mau nanya. Bagaimana bisa muka uncle waktu kecil bisa mirip muka Langit sekarang?" tanya Bintang penasaran. "Mungkin waktu hamil Langit, Bundanya ngidam ngefans sama uncle kali" potong Sebastian. "Emang bunda nya Langit sudah kenal uncle waktu hamil Langit dulu??" Bintang semakin penasaran. "Wah, kalau itu biar Langit yang nanya sama bunda nya" tukas Sebastian. "Uncle nggak seru" potong Bintang. Sementara Langit lebih banyak terdiam dan menikmati makanan di depannya.
"Langit, abis ini masih mau main sama Bintang lagi atau langsung pulang?" tanya Sebastian. "Boleh Om, kalau mau main lagi?" tanya Langit. "Boleh, asal Langit ngabarin bunda dulu" tukas Sebastian. "Boleh pinjam ponselnya Om?" tanya Langit. "Tapi aku nggak nyimpen nomer bunda mu lho Langit?" tukas Sebastian. "Santai Om, aku hafal nomernya Bunda" celetuk Langit. Mau tak mau Sebastian memberikan ponselnya ke Langit. Dewa yang memperhatikan sedari tadi interaksi mereka memertawakan Sebastian. Baru kali ini ada bocah yang bisa megang ponsel tuannya selain Bintang keponakannya.
"Paswordnya Om?" tanya Langit saat ponsel sudah kepegang di tangannya. Sebastian menyebutkan kombinasi angka-angka. "Kok seperti tanggal dan bulan ulang tahunku ya??" komen anak pintar itu. "Hah????" gantian Sebastian yang terbengong. Selama ini memang pasword ponselnya menggunakan tanggal dan bulan lahirnya sendiri. "Tapi Om kok tahu tanggal dan bulan lahirku?" Langit penasaran. "Itu juga tanggal dan bulan lahirnya Om" tukas Sebastian. "Wah, ternyata tanggal ulang tahun kita sama Om" Langit begitu bergembira. Begitu banyak sekali kebetulan saat aku mengenal anak ini, batin Sebastian.
Langit menekan nomer ponsel Bunda yang sudah dihafal di luar kepalanya. "Halo Bun. Ini Langit. Aku pinjem ponselnya Om Sebastian untuk nelpon Bunda. Bun, Langit minta ijin ya mau main lagi sama Bintang" kata Langit di sambungan telpon itu. "Langit, bukannya sekarang waktu tidur siang..Bunda susul ya?" tanya Mutia. Karena diloudspeaker oleh Langit, semua yang di ruangan itu ikut mendengar suara Mutia tak terkecuali Sebastian. "Emang Bunda bisa nyusulin Langit ke lantai paling atas???" tawa Langit pecah karena bisa ngerjain bunda. "Langit, nanti lain waktu kan bisa main lagi sama Bintang" jawab Mutia. "Bunda nggak asyik" Langit mulai cemberut karena tidak diijinin Bunda nya. Sebastian yang melihat Langit mulai kesal, meminta ponselnya dengan bahasa isyarat. Langit menyerahkan ponsel itu ke Sebastian.
"Maaf menyela Mutia. Sekali ini saja ijinin Langit. Aku janji nggak merubah aturan yang kau buat untuk Langit. Abis ini akan kusuruh Langit dan Bintang untuk tidur siang" akhirnya Sebastian memberitahu Mutia, karena melihat Langit berkaca-kaca saat minta ijin ke bunda nya. "Saya takut Langit merepotkan anda Tuan" jawab Mutia. "Nggak ada yang direpotkan. Langit, Bintang ayo buruan tidur sana gih. Langit dengar kan apa kata bunda?" perintah Sebastian ke kedua bocah itu tanpa menutup panggilan telponnya. Langit dan Bintang kompak berjalan ke kamar untuk tidur siang. Mutia masih mendengar semua ucapan Sebastian. "Terima kasih tuan. Maaf merepotkan anda. Selamat siang" Mutia terkesan buru-buru menutup panggilan itu. Sudut bibir Sebastian sedikit terangkat.
"Wa, ayo ke ruang kerja" ajak Sebastian serius. Dewa pun mengikuti langkah Sebastian. Sebastian hanya menatap Dewa menunggu penjelasan.
"Tuan, semua sudah berhasil kuselidiki tentang asal-usul nyonya Mutia" Dewa mulai serius. "Mulai saat ini lindungilah nyonya Mutia dan Langit. Mungkin akan ada bahaya yang mengikuti mereka, karena tuan membatalkan pernikahan sepihak itu" ujar Dewa. "Karena beberapa kali anak buahku tak sengaja melihat anak buah tuan Supranoto juga mengikuti nyonya Mutia" lanjut Dewa.
"Beritahu dulu hasil penyelidikanmu, baru aku bisa ambil langkah berikutnya" tandas Sebastian. "Tuan, tanpa aku cerita pun harusnya anda juga sudah bisa menyimpulkan. Langit itu pasti anak anda" yakin Dewa. Sebastian mengangkat wajahnya dan menatap tajam Dewa.
"Begini Tuan, nyonya Mutia mempunyai Langit tanpa ada pernikahan. Aku bahkan menyelidiki sampai desa di mana nyonya Mutia berasal. Nyonya Mutia diusir dari desa itu karena dianggap aib oleh seluruh penduduk kampung. Mereka menuduh nyonya Mutia menjual diri untuk membiayai kuliahnya waktu itu. Tanpa tau, kalau semua biaya kuliahnya didapat dari beasiswa. Bahkan kedua orang tuanya meninggal dalam waktu yang berdekatan karena sedih melihat keadaan nyonya Mutia waktu itu" Dewa mulai menceritakan. Sebastian terdiam dan serius mendengarnya.
"Bahkan untuk memulai usaha toko kuenya waktu itu, Nyonya Mutia meminjam uang untuk modal usahanya. Nyonya Mutia bahkan menjajakan kue buatannya sendirian, meski sedang hamil besar" lanjut Dewa. "Tuan ingatkan malam itu tanggal berapa? Kejadian enam tahun lalu?" tanya Dewa. Sebastian mengangguk. "Malam itu adalah malam menjelang wisuda nyonya Mutia" jelas Dewa. "Tuan juga pasti ingat kejadian waktu sakit mual-mual dan diperiksa tidak ada kelainan apapun waktu itu. Aku baru sadar sekarang, kejadian itu pasti ada hubungannya dengan kehamilan nyonya Mutia. Kenapa anda tidak berpikir ke arah sana waktu itu?" tanya Dewa. Sebastian menimpuk Dewa dengan sebuah kertas. "Andai aku tahu, tanpa kau beritahupun aku akan tau kalau saat itu aku ngidam" tandas Sebastian. "Cuma nggak ngira aja, kejadian malam itu bisa menghasilkan Langit???" celetuk Sebastian.
"Sekarang waktunya memikirkan bagaimana caranya memberi tahu Nyonya Mutia dan juga Langit" usul Dewa. Sebastian menarik nafas panjang, "Akan sulit pastinya" celetuk Sebastian.
Mulai ada sesal di benak Sebastian.
to be continued
jadi akhirnya ngga jadi Makan /Smile//Smile/