NovelToon NovelToon
PEMERAN PEMBANTU

PEMERAN PEMBANTU

Status: tamat
Genre:Romantis / TimeTravel / Petualangan / Tamat / Mengubah Takdir / Transmigrasi ke Dalam Novel / Masuk ke dalam novel / Penyeberangan Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:7.9M
Nilai: 4.9
Nama Author: Mira Akira

Ia mengalami kematian konyol setelah mencaci maki sebuah novel sampah berjudul "Keajaiban Cinta Capella". Kemudian, ia menyadari bahwa dirinya menjelma menjadi Adhara, seorang tokoh sampingan dalam novel sampah itu.

Sayangnya, Adhara mengalami kematian konyol karena terlibat dalam kerusuhan.
Kerusuhan itu bermula dari Capella, si tokoh utama yang tak mau dijadikan permaisuri oleh kaisar.

Demi kelangsungan hidupnya, ia harus membuat Capella jatuh cinta dengan Kaisar Negeri Bintang. Kesulitan bertambah saat terjadi banyak perubahan alur cerita dari novel aslinya.


Mampukah ia mencegah kematiannya sebagai Adhara, pemeran pembantu dari dunia novel yang berjudul "Keajaiban Cinta Capella"?

"Mungkin ini hanya jalan agar kita bisa bertemu lagi, dan saling mencintai dengan cara yang lebih bahagia."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira Akira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KASUS KOTA DUBHE 5: BERAKHIR

Adhara menepuk lengan Regor keras untuk menarik perhatiannya. Ia harus menghentikan kaisar, atau kaisar tiran itu akan menghilangkan nyawa Menkalinan dengan penuh siksaan. Masih ada banyak hal yang harus mereka selesaikan sekarang.

“Yang Mulia, Nona Adhara ingin mengatakan sesuatu.”

Kaisar mencabut pedangnya dari tangan Menkalinan.

Dengan menyedihkan, Menkalinan berusaha menjauhkan dirinya dari Aldebaran. Sekecil apapun kesempatan yang datang, itu lebih baik. Daripada harus menyerahkan nyawanya pada iblis di hadapannya.

Adhara dengan cepat menggeleng pada Aldebaran. Hal tersebut membuat wajah Aldebaran semakin menggelap. Rupanya kaisar yang terbiasa tenang ini, berubah menjadi bom yang siap meledak kapan saja.

“Apa yang terjadi pada suaranya?”

Menkalinan yang berusaha bersender di tembok mendadak jatuh kembali. Ia dengan waspada menatap pada Aldebaran yang telah mencapai level ‘awas’.

“Ampun, Yang Mulia. Hamba hanya memberinya ramuan, itu akan menghilangkan suaranya dalam beberapa jam. Itu tak akan mengancam nyawanya. Hamba bersumpah, itu tak akan menyakiti Nona Adhara.”

Aldebaran terlihat tak mempercayai ucapan Menkalinan, ia mengalihkan pandangannya pada Adhara untuk mengkonfirmasi. Adhara segera mengangguk untuk meyakinkan.

“Yang Mulia… Tolong kembalikan benda yang diberikan Nona Adhara pada Yang Mulia.”

Anehnya, meskipun Menkalinan ketakutan dengan kehadiran Aldebaran, ia tetap berusaha mendapatkan barang itu.

Adhara menatap Menkalinan dengan nanar, mempertanyakan seberapa besar perasaan pria ini terhadap Mintaka.

“Regor!”

Aldebaran mengabaikan permintaan Menkalinan. Rupanya ada hal lain yang harus dibicarakan di sini.

“Baik, Yang Mulia.”

Regor meninggalkan Adhara sejenak. Pria itu berjalan dalam kegelapan hingga terdengar suara pintu yang terbuka.

Sreett….

Saat pintu terbuka, cahaya bersimbah ke dalam. Adhara yang telah lama dalam gelap, mau tak mau menyipitkan matanya untuk menghalau silau. Rupanya hari telah pagi.

Adhara mempertanyakan berapa lama ia telah berada di ruangan ini. Diam-diam ia kagum dengan kemampuan bertahan hidupnya.

Yahh.. Meskipun sempat ditampar tadi.

Cahaya matahari yang masuk menampilkan seluruh isi ruangan. Pertanyaan Adhara terjawab, memang ada hal ‘aneh’ di dalam ruangan ini. Adhara tanpa sadar memundurkan tubuhnya sendiri ketika melihat hal tersebut.

Itu.. bangkai kan?

“Ruangan ini ialah ruangan tersembunyi di rumah Mintaka. Tepatnya, ada di bawah tanahnya. Jadi, meskipun rumahnya terbakar, ruangan ini tak akan terbakar.”

Ruangan ini tak lebih seperti rumah jagal. Ada banyak bangkai binatang, bekas darah yang mengihitam, serta benda-benda tajam yang masih bernoda darah. Dan ruangan seperti rumah jagal ini, ada di rumah Mintaka.

Seorang gadis berpakaian serba hitam memasuki ruangan seperti rumah jagal itu. Melihat Adhara yang masih membeku, Spica dengan cepat menghampiri Adhara.

“Aku tak menyangka jika kau diculik. Mana kekuatan kuda yang sering kau tunjukkan itu?”

Suara Spica memang terdengar mengejek, namun tangannya dengan lembut membersihkan pakaian Adhara yang kotor. Setelah itu, ia menyeka wajah Adhara yang lusuh karena debu.

“Saat aku bangun, aku tak melihatmu. Aku rasa dia tak bisa berpura-pura lagi.”

Menkalinan menyenderkan tubuhnya sambil memegang lengannya yang berdarah. Wajahnya seputih kertas. Namun ia terkekeh seperti orang gila, “Jadi, kalian sudah tahu bahwa kartu emas itu adalah milikku?”

Spica berdecak dan menatap Menkalinan dengan jijik, “Aku mencium bau mayat di kepalamu.”

“Lalu kenapa kalian tak langsung menangkapku?”

Aldebaran melemparkan kartu emas pada Menkalinan, “Karena masih ada hal yang janggal di sini.”

Adhara bangkit dari duduknya dengan bantuan Spica. Bahkan, ia telah mengenakan mantel hitam tebal. Entah milik siapa.

Ia memperhatikan Aldebaran dengan seksama.

“Apa maksud Yang Mulia?” Menkalinan dengan cepat meraih kartu emas yang dilemparkan Aldebaran.

“Seorang yang dikucilkan seperti Mintaka mengapa bisa memiliki teman yang sangat setia padanya?”

Wajah Menkalinan mengeras, “Memangnya apa yang salah dengan punya teman?”

“Aku tak tahu jika kau sebodoh ini. Kau hidup beberapa saat dengan Mintaka, dan kau tidak menyadarinya,” ejek kaisar tak tanggung-tanggung.

“Mintaka sering mengatakan pada hamba, jika ia punya teman yang baik.”

“Mengapa kita tidak berbalik posisi. Apa kau akan memberitahu Mintaka seberapa menderitanya dirimu?”

Adhara memperhatikan Menkalinan yang mendadak bisu, seolah memahami segalanya.

Gadis itu, Mintaka terbiasa menyembunyikan rasa sakitnya sendirian.

Lagipula semakin kau mencintai seseorang, semakin kau tak ingin membuatnya khawatir. Kau akan menyembunyikan apapun yang bisa membuat orang yang dicintai tak bahagia.

Adhara mengerutkan matanya. Cinta itu sangat rumit, tetapi kau masih mau untuk memiliki cinta?

“Aku tak langsung menangkapmu karena kau bukan pelaku di balik ini semua.”

Menkalinan bukan pelakunya?

Tak hanya Adhara saja yang bingung. Menkalinan pun terlihat lebih kacau dari sebelumnya, seolah lebih baik dirinya saja yang menanggung semua kasus ini daripada Mintaka.

“Yang Mulia, Mintaka tak punya kekuatan untuk mengutuk. Tolong, biarkan hamba yang menanggung kasus ini. Hamba siap menerima hukuman tersebut.”

“Kau memang sangat bodoh, Menkalinan. Mengapa kau mau menanggung dosa orang lain?” sindir Aldebaran.

Sepertinya, Menkalinan menculiknya hanya karena ingin mendapatkan benda yang diselipkan Adhara di kerah Aldebaran. Selebihnya, Menkalinan tak terlibat.

Mungkin Menkalinan mengetahui keberadaan ruangan ini saat dia dan pasukannya menyelidiki puing-puing yang terbakar.

Bahkan jika tebakan Adhara benar. Menkalinan tak akan pernah menunjukkan dirinya jika benda itu tak ditemukan oleh Spica. Sebab, hal yang diinginkan Menkalinan ketika mengambil kasus ini ialah mendapatkan bukti bahwa Mintaka bukanlah penyihir.

Tetapi, ruangan ini…..

Bibir Menkalinan bergetar, namun ia kehilangan keyakinannya sendiri, “Mintaka bukan penyihir.”

“Mari kita tanya pada temannya,” Regor menyeret seseorang di dalam sebuah karung besar.

Kaisar memerintahkan agar Regor membukanya, dan tak lama gadis bercadar itu, orang yang mengaku teman Mintaka, muncul.

Tetapi... Apa yang terjadi?

Tidak ada luka di pipinya. Pipi yang kemarin terlihat penuh dengan luka bakar, kini terlihat putih bersih. Meskipun sepertinya Regor membawanya kemari dengan sedikit ‘paksaan’ sehingga ada sedikit memar di tubuhnya, selebihnya gadis ini dalam kondisi yang sangat baik.

Gadis ini sangat cantik! Adhara mendengus iri. Yahh, meskipun masih lebih cantik Capella, sang protagonis.

“Atau aku bisa menyebutmu ibu dari Mintaka?”

Kaisar melempar bom baru di ruangan ini. Sejak awal, dia bukanlah orang yang suka berbasa-basi busuk.

“Ibu… Mintaka?” tanya Menkalinan tak percaya. Tak mempercayai kebodohannya selama ini.

“Keberadaan orang ini sangat tidak alami. Mengapa bisa seorang yang dikucilkan memiliki teman yang sangat setia? Kau tahu seandainya Mintaka punya satu orang saja yang selalu menemaninya, maka nasib gadis itu tak akan seburuk ini. Lalu, kemana sang ibu yang menjadi awal dari semua rumor itu? Bahkan, gadis Mintaka itu sangat pandai menyembunyikan keberadaan ibunya darimu, Menkalinan.”

Adhara mendadak jadi kagum. Ini pertama kalinya Adhara mendengar kaisar tiang listrik ini berkata panjang lebar.

Wuaahhh keren sekali.. Bukankah kaisar ini seperti Detektif C*nan?

“Pengakuannya juga sedikit aneh. Mengapa ia menuduh Regor tiba-tiba hanya karena rambutnya yang berwarna abu muda? Apakah ia sengaja membantumu, Menkalinan?” kaisar melemparkan pertanyaan retoris.

Menkalinan menggelengkan kepalanya, bingung dengan semua hal yang baru ia ketahui. Menkalinan sama sekali tak mengetahui bahwa ibu Mintaka sebenarnya masih hidup, dan selalu bersembunyi di ruang bawah tanah ini.

“Kekaisaran ikut campur dalam kasus ini. Anggapan tentang arwah Mintaka yang membalas dendam, terasa tak kuat. Karena itu, ia perlu kambing hitam. Tetapi, ada satu masalah. Ibu Mintaka tak tahu wajah pria yang bersama anaknya itu, karena wajahmu saat itu terluka parah.”

Jadi, si mbak yang ternyata ibu ini asal tunjuk saja?

“Aku membiarkanmu menculik Adhara karena secara tak langsung kau menyelamatkan Adhara.”

Menkalinan semakin tak mengerti. Tetapi, Adhara justru mengerti, karena ia melihat 'arwah mintaka'. Menkalinan kebetulan menculiknya di saat yang tepat. Jika tidak, Adhara akan diculik oleh ibu Mintaka.

Yang dilihat Adhara itu bukanlah arwah Mintaka, tetapi ibu Mintaka yang menyamar menjadi Mintaka. Sengaja membuatnya ketakutan, lalu menjalankan aktivitas kriminalnya.

“Aku kira dia sudah mati,” bisik Menkalinan bingung.

Ibu Mintaka menatap Menkalinan dengan pandangan meremehkan, “Tentu saja tidak. Aku ini abadi.”

“Karena kau…”

Menkalinan dengan susah payah meraih pedangnya, dan berlari menuju ibu Mintaka. Matanya memerah dengan penuh dendam.

Cringg…

Sebuah pedang menahan serangan Menkalinan. Ibu Mintaka yang kaget dengan serangan itu, mau tak mau nyaris terjatuh dengan tidak elitnya. Melihat bahwa pedang itu tak menyentuhnya, ibu Mintaka memandang Menkalinan dengan mengejek.

Regor yang menahan pedang Menkalinan, menggelengkan kepalanya. Melarang Menkalinan untuk berbuat ceroboh.

“Apa yang kau tahu, bocah? Kau bahkan tak bisa menyelamatkan Mintaka. Untung saja aku sempat bersembunyi di ruang bawah tanah. Jadi, aku tak terbakar bersamanya. Lagipula sejak bertemu denganmu, anak itu menjadi pembangkang. Ia tak mau lagi ikut denganku mencari keabadian. Padahal berkat diriku, Mintaka tak menua selama 10 tahun. Tetapi, anak itu tak mau lagi menurutiku. LIHAT KARMANYA! Aku bertahan hidup, dia tidak.”

Spica menatap wajah ibu Mintaka dengan nanar, “Tak ada yang baik tentang ritual terlarang. Bahkan, ramuan yang kau gunakan itu akan menjadi bumerang nantinya.”

“Penyihir yang tak tahu menggunakan kekuatannya sepertimu tak berhak untuk menceramahiku,” Ibu Mintaka menatap Spica dengan pandangan meremehkan.

“Bukankah dia benar?" Kaisar mendadak mengeluarkan suaranya lagi.

Kaisar mendekati Adhara yang tengah dipapah oleh Spica. Pria itu terlihat mengeluarkan sebuah botol kecil dari balik pakaiannya.

Spica yang melihat kaisar mendekat, menundukkan kepalanya dengan hormat. Memisahkan diri dari Adhara setelah ia menepuk bahu Adhara sebentar.

Meninggalkan Adhara yang kesulitan berdiri karena kram di kakinya.

Srett…

Aldebaran membantu Adhara berdiri dengan baik. Tak lama jari ramping Aldebaran mengoleskan cairan berbau mint di pipi Adhara yang membengkak.

Mengusapnya pelan seolah takut jika gerakannya akan membuat gadis ini kesakitan. Semua itu dilakukannya sambil menjelaskan perkara kasus di kota Dubhe.

“Kau berpura-pura menjadi arwah Mintaka. Menculik orang-orang untuk menggunakan organ tubuh mereka. Kau ingin menggantikan bagian tubuhmu yang membusuk. Tetapi, setiap orang yang kau culik selalu tak sesuai dengan harapanmu, sehingga kau membunuh mereka satu persatu. Lalu, kau melihat Adhara dan asisten tabib, Spica.”

Membusuk?

Sreekk…

Regor dengan cepat merobek lengan baju ibu Mintaka, meskipun ibu Mintaka sedikit memberontak. Ketika lengan baju itu terobek sedikit, kulit yang terlihat berbeda terlihat. Di sana, di tangan ibu Mintaka tampak kulit yang berwarna tak sama satu sama lainnya. Bagian itu dijahit serapi mungkin.

Namun serapi apa pun, bagian yang bukan organ tubuhmu sendiri akan membusuk layaknya daging biasa.

“Sebuah ritual terlarang tak akan bertahan lama. Itu akan memakan pemiliknya sendiri. Mintaka mengetahui itu, karena itu ia berhenti. Keputusannya menjadi bulat saat ia bertemu dengan Jenderal Menkalinan,”

Spica menatap ibu Mintaka dengan geram.

Karena orang serakah dan tak tahu bersyukur seperti inilah yang membuat munculnya kejahatan. Mengapa kau perlu mengubah sesuatu yang memang sudah jalannya?

Kau tak bisa menghentikan waktumu sendiri, karena setiap detiknya kau akan terus bertambah usia.

“Ritualku ini belum selesai. Kalau aku bisa menggunakan gadis itu atau penyihir tak berguna sepertimu, aku akan abadi,” ibu Mintaka dengan kalap menutupi lengannya.

“Kau ini memang tak punya hati lagi. Mintaka, puterimu harus menanggung semua akibatmu.”

Jika saja tak ada kaisar di sini, Spica mungkin sudah menerjang orang ini dan memukulinya hingga sadar.

“Aku hanya menemukan anak itu di jalan. Lagipula apa yang terjadi pada anak itu bukan kesalahanku? Orang-orang s*alan itu menyukai aib orang lain. Mereka menyiksa anak itu, seolah mereka tak pernah berbuat dosa. Kenapa aku yang disalahkan? Aku hanya berusaha agar aku tetap muda, dan abadi. Apa yang salah? Kita sama-sama berusaha mencapai hal yang kita inginkan.”

Orang ini….

“Jika kau tak pernah berusaha, maka kau tak bisa mengubah apa-apa. Bintang tahu bahwa yang aku lakukan ini adalah usaha. Sama seperti usaha mereka untuk mencegah perut yang lapar, mereka berusaha mendapatkan uang dan kekuasaan,” ibu Mintaka mengerang sambil berusaha merapikan kulit-kulit yang terjahit di lengannya.

Namun seberapa gigih dan telitinya ia menyatukan, bagian yang membusuk tetap meleleh. Bau busuk tercium kental di seluruh ruangan ini.

Gigi Adhara menjadi gatal. Ia hanya bisa memperhatikan ibu Mintaka yang panik.

“Regor!” Suara kaisar terdengar jelas di telinga Adhara.

Adhara segera menoleh pada Aldebaran yang berada di sampingnya. Wajah tegas Aldebaran sebagai kaisar, menatap Regor yang berlutut di hadapan mereka.

“Ya, Yang Mulia.”

Tiba-tiba kaisar membungkuk di hadapan Adhara. Hal ini membuat orang-orang di sana membuka mulutnya untuk kesekian kalinya. Hari ini sangat penuh dengan kejutan.

Mereka, kecuali ibu Mintaka yang gila, dengan segera bersujud, agar lebih rendah lagi dari kaisar. Bagaimana bisa mereka membiarkan penguasa tertinggi Negeri Bintang dalam posisi yang lebih rendah dari mereka?

Adhara yang lambat bereaksi malah melongo seperti orang bodoh. Ia hanya bisa terpaku saat Aldebaran berjongkok padanya, dan merapikan ujung gaunnya dengan lembut.

Harusnya Adhara bersujud sekarang, tetapi tangan Aldebaran menahan tubuh Adhara. Mencegah gadis itu untuk merendahkan tubuhnya.

Sreettt…

Merasa gerakan memberontak dari Adhara, kaisar dengan cepat menggendong Adhara dengan gaya pengantin. Adhara yang ketakutan langsung berpegangan pada lengan Aldebaran yang melingkupi tubuhnya.

Namun posisi itu masih terasa menakutkan, mau tak mau, Adhara memeluk leher Aldebaran untuk menyeimbangkan posisinya.

Jantung Adhara nyaris pergi ke akhirat karena terkejut.

Adhara yang masih tak bisa bersuara menggelengkan kepalanya agar kaisar segera menurunkannya. Namun orang es batu tiang listrik ini malah mengabaikannya, seolah tak ada yang aneh dengan tindakannya.

Kaisar mengeluarkan titah mautnya, “Kasus selesai.”

Dengan cepat, Adhara menutup meraba mulutnya untuk memastikan bahwa mulutnya tak terbuka lebar. Perasaan ini sangat aneh, dan Adhara benar-benar tak terbiasa dengan penghormatan seperti ini.

Apalagi dengan orang-orang yang bersujud di dekatnya. Dan bonusnya ialah dia sedang dibopong oleh seorang yang tingginya sangat jauh darinya. Bukankah jika Aldebaran melemparkannya langsung ke lantai, sakitnya akan sama dengan jatuh dari atas lemari?

“Oh ya, Jenderal Menkalinan. Benda ini sepertinya untukmu.”

Aldebaran melempar sebuah gulungan kecil yang lusuh pada Menkalinan yang tengah bersujud. Setelah itu, Aldebaran berbalik dan keluar dari ruangan itu sambil menggendong Adhara.

Adhara sekilas mengintip pada Menkalinan yang membuka gulungan itu. Itu adalah gulungan yang diselipkan Adhara ke kerah pakaian kaisar. Sebenarnya Adhara cukup penasaran dengan isinya, tetapi ia tak bisa bertanya pada Aldebaran apa isinya.

Mungkin nanti saja.

Tak lama Adhara melihat air mata Menkalinan menetes dengan deras. Menkalinan menggenggam gulungan kertas itu dengan erat sambil menempelkannya ke dahi.

Adhara tersenyum miris.

Apakah suatu saat nanti, ia juga akan memiliki penyesalan yang tak akan bisa ia tebus?

***

Kasus kota Dubhe berakhir begitu saja. Aldebaran hanya mengatakan bahwa sisanya akan diatasi oleh Menkalinan, yang syukurnya tak dipecat dari jabatannya. Mungkin saja Aldebaran memutuskan untuk tak mengungkapkan identitas lama Menkalinan. Tetapi, apapun itu, Adhara merasa mungkin itu hal yang terbaik.

Besoknya, mereka berempat kembali ke situasi yang sama seperti sebelumnya, masih dengan posisi duduk yang sama, serta kecanggungan yang sama. Namun kali ini kecanggungan ini muncul karena hal yang baru saja mereka alami.

Adhara tak pernah berpikir jika novel yang penuh dengan adegan romantis yang klise ini akan memiliki cerita kelam di baliknya. Pikiran Adhara mulai skeptis. Bagaimana jika cerita novel “Keajaiban Cinta Capella” ini tak sesederhana yang ia pikirkan?

Entah apa lagi yang akan Adhara temui di dunia novel ini. Adhara merasa semua perubahan yang dialaminya di dunia ini tak serta merta muncul begitu saja. Namun berkat otaknya yang sangat rendah kapasitasnya, ia memilih untuk mengamati terlebih dahulu.

“Suaramu hilang lagi?”

Dengan teganya Spica mencubit-cubit tangan Adhara. Menyadarkan Adhara dari lamuannya yang panjang. Adhara hanya bisa mengeluh memiliki teman seperti Spica.

Gadis cenayang ini, Spica sempat drop setelah mereka kembali ke penginapan tadi malam. Tetapi, entah kenapa besok paginya, Spica sudah kembali seperti biasanya. Bahkan ia dengan kurang ajarnya menggulung Adhara dengan selimut seperti lumpia.

“Kenapa? Kau mau berdebat?”

Spica menahan tangannya agar tak menjambak Adhara. Tetapi, ucapan Adhara selanjutnya membuat ekspresi Spica berubah.

“Kenapa kau bisa tahu kalau ada sesuatu yang terkubur di sana?”

Kali ini, bukan hanya Adhara yang penasaran, tetapi Regor juga menatap Spica dengan tatapan ingin tahunya. Sedangkan Aldebaran, yahh.. Abaikan saja dia yang masih dengan ekspresi tak perdulinya itu.

“Aku melihatnya.”

Mata Adhara berbinar-binar, tertarik, “Penglihatanmu bisa menembus tanah?”

Plakk…

Spica memukul lengan Adhara karena jengkel.

“Aduh. Sakit sekali. Kalau pukul itu pakai hati,” omel Adhara.

“Aku memukulmu itu pakai tangan, bukan pakai hati. Logika dirimu ditaruh dimana? Kau ini semakin hari semakin bodoh. Apa gunanya kau punya semua pengalamanmu?”

“Bukankah kau sendiri yang bilang kau melihatnya.”

Spica semakin gemas dengan Adhara, “Aku belum selesai, nyet.”

“Ya sudah. Jelaskan!”

Regor hanya bisa menatap kedua gadis di hadapannya dengan bingung. Mengapa para gadis suka sekali berdebat? Padahal sebenarnya mereka itu sangat akrab, tetapi setiap kali mereka berbicara, pasti melebar kemana-mana.

Suara derap kaki kuda membuat perkelahian keduanya ini menjadi tambah sengit. Bahkan, Regor ragu untuk melerainya. Ia melirik Aldebaran yang ternyata menatap ke arah luar kereta, seolah tak mendengar perkelahian di dalam kereta.

“Aku melihat Mintaka.”

Huh?

“Dalam bentuk kilasan-kilasan?”

Mungkinkah saat Spica menyentuh salah satu benda di sana, kilasan-kilasan itu muncul seperti flashback?

“Tidak. Aku melihat Mintaka berdiri di sana. Jadi, aku mengajakmu menggalinya.”

Sebentar….

“Mintaka sudah meninggal kan?”

Spica mengangguk.

What the….

Adhara menelan ludahnya dengan susah payah, “Kau memang bisa melihat yang begituan? Aku pikir kau cuma bisa lihat kilasan-kilasan tak jelas.”

“Biasanya tidak. Hanya sesekali saja.”

“Tetap saja kan bisa. Kenapa kau tak bilang padaku?”

“Kau tidak bertanya,” Spica mengalihkan pandangannya ke arah luar kereta, agar ia tak melihat wajah menyebalkan Adhara.

Adhara harus memikirkan kembali rencananya untuk membawa Spica ke dalam ‘misi mencegah bintang jatuh’nya.

Kan bahaya jika anak ini tiba-tiba mengalami peristiwa mistis, dan kerasukan. Mana Adhara belum belajar lagi cara mengusir setan yang alami, tanpa bahan pengawet dan pengharum.

Tetapi, mengingat ia tak punya teman banyak di dunia ini. Ia hanya bisa mengeluh.

Ia menyenderkan kepalanya ke bahu Spica, dan Spica mendorong kepalanya menjauh. Adhara memaksa lagi, dan Spica akhirnya menyerah. Dengan senyum kemenangan, Adhara memejamkan matanya.

Perjalanan ke pusat kota Negeri Bintang masih sangat jauh. Lebih baik ia beristirahat, karena Adhara telah mengalami malam yang sangat panjang kemarin.

Awalnya, Adhara mengira kehidupan di novel ini sangat penuh dengan gombalan murahan, dan perkataan cinta yang tak ada habisnya. Tetapi, ia merasa bahwa pengalamannya di kota Dubhe hanyalah awalan.

Mata Adhara memberat. Sebelum tertidur, ia mencuri tatap pada Aldebaran yang duduk di hadapannya.

Kaisar ini masih tampan seperti biasanya.

Lalu tak lama ia benar-benar tertidur. Ia tak menyadari sepasang mata yang menatapnya dengan lekat.

Adhara terlarut dalam tidur siangnya sepanjang perjalanan kembali ke pusat kota Negeri Bintang.

Kasus kota Dubhe selesai.

***

1
Bzaa
sedih bacany
Bzaa
aihhhh si G-star
Bzaa
menegangkan😌
Bzaa
sejatinya manusia selalu merasa kesepian padahal dia tidak sendirian..
semangat otot😘
Bzaa
makin memilukan
Bzaa
kasian sama kaisar
Bzaa
nonton yg lgi bertarung udah kyk nonton bioskop 😄
Bzaa
duhhhhh udah ga sabar, kapan sih si G-star kalahny
Bzaa
semoga kaisar menang dr G-star
Bzaa
Wei 😎kerennnnn
Bzaa
makin gak sabar pengen liat akhir si G-star
Bzaa
semangat terus ya kak
Bzaa
ya ampun ternyata G-star itu serius aihhh
Bzaa
tebakanku satupun gak ada yg bener🥲
Bzaa
visualnya mengingatkan drakor, boybefore flowers, 🫢🫢
Bzaa
sedih banget 😭😭
Bzaa
Luar biasa kerennnnn banget 😘🥰😍
🍃🥀Fatymah🥀🍃
dulu pas awal terbit nih novel pernah baca...
cuman kayaknya belum nyampe sini...

Aku dibuat naik turun perasaan bacanya...

nano nano banget inih
🍃🥀Fatymah🥀🍃
dikiranya beli barang kali /Facepalm/
🍃🥀Fatymah🥀🍃
udah ditargetin jadi calon permaisuri rupanya sama si Aldebar /Grin/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!