Keputusan Bian dan Tiara untuk pindah ke Rumah Warisan Kakek di Desa Raga Pati adalah sebuah kesalahan fatal. Rumah itu ternyata berdiri di atas tanah yang terikat oleh sebuah sumpah kuno: Kutukan Arwah Tumbal Desa.
Gangguan demi gangguan yang mengancam jiwa bahkan menjadikannya tumbal darah selanjutnya, membuat mental Bian dan Tiara mulai lelah dan ingin menyerah.
"Jangan pernah mencoba memecahkan apa pun yang sudah ada. Jangan membuka pintu yang sudah terkunci. Jangan mencoba mencari tahu kebenaran yang sudah lama kami kubur. Jika kalian tenang, rumah ini akan tenang. Jika kalian mengusik, maka ia akan mengusik kalian kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menuju Situs Kuno
Pagi itu, di Rumah Warna, tidak ada sinar mentari yang menghangatkan. Hanya ada dingin yang mematikan dan aroma bunga busuk yang manis. Bian dan Tiara berdiri di ambang pintu, bersiap menuju Situs Kuno. Liontin Suci Bian kini dikalungkan di lehernya, terasa panas dan berdenyut, seolah jantung yang ketakutan.
"Kami pergi, Bu Dwi," ujar Bian, matanya bertemu dengan Kepala Desa Dwi. "Kami akan menghancurkan Cincin Perunggu itu. Tolong jaga Rendra, dan lakukan apa pun yang Anda bisa untuk mengamankan keluarga kami di kota. Jangan percaya apa pun yang Anda dengar atau lihat."
Ibu Dwi mengangguk tegas, meskipun matanya dipenuhi ketakutan yang mendalam. "Hati-hati, Tuan Bian. Ratih tidak akan membiarkan kalian sampai di sana. Alam ini sudah menjadi perpanjangan dari kemauannya."
Bian dan Tiara bergegas keluar. Mereka tidak menuju hutan yang sudah mereka kenal, melainkan melewati jalur tikus yang jarang dilewati, menuju bukit tempat Situs Kuno berada.
Begitu mereka memasuki perbukitan, udara seketika menjadi kabut tebal yang berwarna cokelat kemerahan bukan kabut air, melainkan kabut yang terbuat dari energi kesedihan yang dipanen Ratih. Kabut itu tidak hanya membatasi pandangan, tetapi juga menyerang pikiran.
Sssshhh... Suara desisan kabut terdengar seperti bisikan ribuan orang menangis.
"Jangan hiraukan kabutnya, Tiara! Fokus pada suaramu!" seru Bian.
Tiara mulai mendengar suara yang sangat dikenalnya—suara ibunya, memanggilnya pulang.
"Tiara, nak... kembalilah. Tinggalkan dia. Kau tidak pantas berada di tempat kotor ini. Kau adalah gadis kota. Mereka akan mengambil jiwamu, seperti mereka mengambil jiwaku..."
"Diam!" Tiara mencengkeram kepalanya. "Itu bohong! Ibuku aman!"
Jlepp!
Tiba-tiba, ia merasakan tusukan tajam di punggungnya, seolah jarum panjang menusuknya. Tiara menjerit, tetapi saat ia meraba, tidak ada luka. Itu adalah rasa sakit sukma yang diproyeksikan Ratih.
Bian segera meraih tangan Tiara. Energi Pengimbang Tiara langsung meresap ke dalam Bian. Dengan Liontin Suci di tangan kirinya, Bian memfokuskan energi Pawangnya.
"Ini ilusi, Tiara! Ratih menggunakan kesedihan Rendra dan duka Wina untuk membuatmu takut! Jangan lepaskan tanganku!"
Di antara bisikan yang menyakitkan, Bian juga mendengar suara tangisan Wina di telinganya. Arwah Wina, yang terikat pada Bian, kini dipaksa Ratih untuk menjadi pemandunya menuju keputusasaan.
"Kembalilah, Tuan Bian. Jangan lanjutkan. Kau akan menjadi tumbal terbaiknya.Kau akan lihat bagaimana sukma ditarik..."
Mereka terus berjalan, tetapi jalur setapak itu menghilang. Mereka dikelilingi oleh pepohonan tua yang kulitnya tampak keriput dan hitam.
Krekkk!
Tiba-tiba, dahan-dahan pohon terdekat mulai bergerak. Bukan karena angin, tetapi karena kekuatan gaib Ratih. Dahan-dahan itu, setebal lengan manusia, meliuk seperti ular, mengincar leher Bian dan Tiara.
"Lari, Tiara!"
Mereka berlari. Dahan-dahan itu mencambuk udara di sekitar mereka dengan suara wusss! wusss!
Krak!
Sebuah dahan besar jatuh tepat di belakang mereka. Bian melihat ke belakang, dan ia melihat bayangan tipis seorang pria tirus terserap ke dalam batang pohon yang baru saja menyerang mereka. Ratih menggunakan sukma korban barunya sebagai amunisi untuk menyerang.
Dahan lain melilit pergelangan kaki Bian, menariknya ke tanah.
Grokkk!
Saat dahan itu menarik Bian, ia merasakan tarikan kuat yang berbeda, tarikan yang mencoba menghisap sukmanya keluar dari tubuhnya melalui Liontin Suci.
"Tiara! Liontin!" Bian menjerit, suaranya tercekik.
Tiara segera memegang Liontin Suci dan memfokuskan Energi Pengimbang-nya. Energi itu menyebar, mengganggu frekuensi sihir Ratih.
Dahan yang melilit Bian melemah. Bian segera menarik kakinya dan berdiri. Ia melihat di sekeliling. Dahan-dahan itu tidak hanya menyerang fisik, tetapi juga meninggalkan benang-benang hitam halus yang menempel di aura mereka.Benang Sukma yang akan menarik jiwa mereka kembali jika mereka pingsan atau menyerah.
"Ratih tidak mau kita hidup dengan mudah," Bian terengah-engah. "Dia mau sukma kita terikat pada tempat ini, Tiara, agar kita tidak bisa kembali ke tubuh kita!"
Mereka berlari semakin dalam, hingga kabut cokelat kemerahan itu mencapai puncaknya, nyaris membutakan mereka.
Sssshhh!
Tiba-tiba, jalan setapak yang mereka ikuti menghilang. Di depan mereka terbentang jurang yang dalam dan gelap, dengan suara deru air yang mengancam di dasarnya.
"Tidak ada jurang di sini!" teriak Dwi saat bertemu mereka.
Dwi, yang mengambil jalan berbeda, juga bingung. "Ini ilusi Ratih! Tapi jurang ini terlihat sangat nyata!"
Tiara dan Dwi panik. Mereka sudah kehabisan energi. Bayangan Wina kini muncul di seberang jurang, melambai sinis.
"Kau tidak bisa lewat, Pawang Ilmu. Kau akan jatuh, dan sukmamu akan terikat di sini selamanya," bisik Wina melalui energi.
Bian tahu ini adalah klimaks dari ilusi Ratih. Dia harus memotong Benang Sukma yang mengikat mereka dan memecahkan ilusi spasial ini.
Bian meraih Liontin Suci, yang kini terasa begitu panas hingga nyaris melukai kulitnya.
"Hanya darah Pawang yang bisa memotong simpul ini," kata Bian.
Ia menusuk telunjuknya lagi dengan pisau lipat. Darah merahnya menetes ke Liontin Suci, dan Bian segera mengusapkan darah itu ke Benang-Benang Sukma hitam yang menempel di auranya dan aura Tiara.
Crak!
Suara itu terdengar seperti benang sutra yang putus. Benang-benang hitam itu menghilang, dan energi kacau yang mencoba menarik jiwa mereka mundur.
Bian mengarahkan Liontin Suci yang bersinar oleh darahnya ke Jurang Ilusi.
Ssssshhhhh...
Cahaya Liontin menembus ilusi. Jurang itu melengkung, bergetar, lalu pecah seperti kaca. Jurang itu menghilang, digantikan oleh jalan setapak yang curam menuju bukit.
"Kita lolos!" seru Tiara, air mata bercampur lega.
Mereka bergegas mendaki jalan yang curam. Mereka tiba di puncak bukit yang gundul. Kabut menghilang.
Di depan mereka, berdiri Situs Kuno, sebuah batu besar yang ditumbuhi lumut, diukir dengan simbol Spiral Purba yang jauh lebih tua dari ukiran Ratih. Ini adalah titik pertemuan energi Pawang yang asli.
"Kita sampai," Bian terengah-engah.
Di dasar batu itu, mereka melihat sisa-sisa ritual yang ditinggalkan Ratih, abu, lilin, dan yang paling penting...
Di atas sebongkah batu kecil, tergeletak sebuah Cincin Perunggu yang tampak tua dan kotor. Cincin itu memancarkan aura kekuatan mengikat yang masif.
"Itu dia," bisik Bian. "Cincin Perunggu. Cincin yang Ratih butuhkan untuk mengikat semua emosi tumbal dan mencapai keabadian."
Tiba-tiba, dari kegelapan di belakang Situs Kuno, terdengar suara tawa yang menyeramkan.
"Kau cerdas, cucu Pranoto. Kau berhasil memotong benang-benang kecilku."
Ratih berdiri di sana, dikelilingi oleh pengawalnya. Ia memegang Tongkat Jaga yang kini bersinar dengan cahaya hitam yang menakutkan.
"Tapi kau terlambat," senyum Ratih, wajahnya kejam. "Cincin itu sudah siap. Dan kau adalah tumbal terakhir yang akan menguncinya."
Pertarungan sesungguhnya, di Situs Kuno, baru saja dimulai.
sampai di bab ini, setiap baca gw cuma bisa,
"woh... wah... wah!"