Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:
"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."
Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.
Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?
"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22: Luka terdalam (keluarga)
Setelah mengantarkan Minjoon ke parkiran, Yoonjae kembali melangkah cepat menuju ruang kerjanya di rumah sakit. Langit sore sudah mulai memerah, bayangan bangunan rumah sakit memanjang ke aspal. Begitu membuka pintu ruangannya, langkah Yoonjae terhenti sejenak ketika suara ponselnya mendadak berdering. Nama yang muncul di layar membuat dadanya langsung menegang.
Detektif Han.
Tanpa ragu, ia segera mengangkat.
“Halo,” suara Yoonjae terdengar dalam, penuh ketegangan.
“Maaf mengganggu waktu Anda, Tuan Kim...” suara pria di seberang terdengar serius, bahkan sedikit berat. Yoonjae duduk di kursinya, tangan kirinya mencengkeram sandaran dengan kuat.
“Bagaimana? Ada perkembangan?” tanyanya cepat, tak bisa menyembunyikan nada harap di suaranya.
“Kami menemukan bukti baru, Tuan,” ujar Detektif Han. “Dan kali ini... bukti itu cukup jelas.”lanjutnya yang membuat jantung Yoonjae berdebar lebih cepat.
“Jika Anda sempat, lebih baik Anda datang langsung ke kantor kami. Tapi jika Anda sedang sibuk, saya bisa menjelaskan sekarang lewat telepon.” ujar nya terdengar tenang namun serius dari seberang sana.
“Jelaskan sekarang,” ujar Yoonjae tegas. Suaranya nyaris bergetar. Detektif Han menarik napas di seberang sana, lalu mulai menjelaskan.
“Setelah menyisir ulang data dari rumah sakit tempat mendiang Nyonya Kim melahirkan... kami mengonfirmasi satu hal. Pada malam kelahiran adik Anda, benar bahwa Tuan Kim Yu-seok—ayah dari ayah Anda—meminta perawat bernama Song Hee untuk keluar dari ruang bayi selama beberapa menit.” ujar nya yang membuat Yoonjae memejamkan matanya sejenak sebelum kembali bersuara.
“Lalu?” tanya Yoonjae tidak sabar.
“Dalam dokumen internal rumah sakit, tercatat bahwa bayi yang lahir malam itu dibawa keluar... bukan oleh staf medis, melainkan oleh dua orang yang tidak memiliki izin resmi—atas nama Kim Sang-hyun dan Yang Hyo-jin.” lanjut detektif Han, Yoonjae membeku. Matanya melebar perlahan. Mulutnya terbuka sedikit, tapi tidak ada suara keluar.
"...Samcheon... Sukmo..." bisiknya nyaris tak terdengar, menyebut dua nama yang begitu familiar. Paman dan bibi yang telah mengasuhnya dengan penuh kasih setelah kematian orang tuanya. Tangannya perlahan merosot dari sandaran kursi. Seluruh tubuhnya terasa dingin.
“Bagaimana bisa...” gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.
Ia masih ingat jelas, senyum hangat Sukmo setiap pagi menyajikan sarapan untuk mereka bertiga. Ia juga ingat betapa Samcheon dulu menggendong Minjoon kecil yang menangis saat hari pertama masuk sekolah.
Namun kini...
Orang yang selama ini menjadi tempat mereka bersandar—ternyata adalah tangan yang ikut mengguncang fondasi keluarga mereka. Rahasia yang selama ini terkubur, mulai menyeruak ke permukaan. Dan rasanya… seperti ditusuk dari belakang oleh orang yang paling kau percayai.
"Jadi... bukan hanya kakekku..." lirih Yoonjae, suaranya serak.
"Tapi mereka juga..." Lanjut nya dia menunduk. Pandangannya kosong.
Di ruang kerja yang senyap, satu-satunya suara yang terdengar hanyalah detak jarum jam di dinding. Waktu terus berjalan, tapi dunia Yoonjae seolah berhenti sejenak—tepat di titik ketika kenyataan menghantam terlalu keras.
“Betul, Tuan Kim,” suara sang detektif terdengar serius dan berat di seberang. “Kim Sang-hyun dan Yang Hyo-jin—kami sudah konfirmasi, mereka adalah bagian dari keluarga Anda. Dan sayangnya, keterlibatan mereka dalam hilangnya adik Anda tampaknya bukan sekadar kebetulan.” lanjut nya yang membuat Yoonjae terdiam, jemarinya mengepal di sisi meja. Dadanya mulai terasa sesak.
“Kami sudah menelusuri sejumlah panti asuhan yang beroperasi pada tahun itu, terutama yang berada dalam radius kota tempat kelahiran adik Anda. Namun dari seluruh data yang kami gali, tidak ada catatan resmi tentang bayi perempuan yang dititipkan atau diserahkan oleh nama Kim Sang-hyun maupun Yang Hyo-jin, pada tanggal yang bersangkutan.” lanjut detektif Han, Yoonjae menelan ludah. Suaranya terdengar berat saat akhirnya bertanya.
“Jadi… ada kemungkinan... adik saya sudah tidak ada?” tanya nya yang membuat detektif di seberang menghela napas pelan.
“Kami belum bisa menarik kesimpulan sejauh itu, Tuan. Situasinya masih abu-abu. Kemungkinannya bisa dua: pertama, mereka tidak pernah menitipkan bayi itu ke panti asuhan resmi, melainkan menyerahkannya secara acak ke pihak lain—bisa jadi ke pasangan yang tidak terdata. Kedua, mereka mungkin sengaja menghindari jalur resmi untuk menghapus jejak.” ujar nya pelan sebelum akhirnya Ia melanjutkan dengan nada hati-hati.
“Memang, kami menemukan sejumlah bayi perempuan yang tercatat masuk ke panti asuhan di sekitar tanggal tersebut. Tapi tidak satu pun dari mereka terdaftar atas nama penyerah yang sesuai. Kami sedang mencoba mencocokkan identitas mereka satu per satu... untuk memastikan apakah ada di antaranya yang kemungkinan adalah adik Anda.” ujar nya . Seketika itu juga Yoonjae mengusap wajahnya dengan satu tangan, lalu mengembuskan napas dalam.
“Kalau begitu... teruskan. Periksa semuanya. Jangan tinggalkan satupun kemungkinan.” titah nya.
“Ada satu hal lagi, Tuan,” ujar sang detektif, seolah ragu-ragu sebelum melanjutkan. “Kami sempat mewawancarai beberapa warga lansia yang tinggal di sekitar rumah sakit pada tahun itu. Salah satu dari mereka—seorang nenek berusia 80 tahun—mengaku pernah melihat sepasang suami istri membawa keluar bayi dengan selimut rumah sakit dari area belakang gedung. Ketika kami tunjukkan foto lama Kim Sang-hyun dan Yang Hyo-jin, beliau mengatakan wajah mereka terlihat familiar... tapi tidak bisa memastikan seratus persen. Usianya sudah lanjut, dan ingatannya pun tidak terlalu tajam.” lanjut nya.
“Dengan kata lain… kesaksian itu tidak cukup kuat untuk dijadikan bukti,” ujar Yoonjae pelan.
“Betul, Tuan. Kami akan tetap menindaklanjuti, tapi belum bisa mengandalkannya sebagai titik pasti.” jawab nya yang membuat Yoonjae menatap kosong layar ponselnya sejenak, sebelum berkata mantap.
“Kirimkan semua data dan perkembangan terakhir ke email saya. Lanjutkan penyelidikan ini... jangan sampai ada satu celah pun yang terlewat.” jawab nya.
“Tentu, Tuan Kim. Kami akan mengabari Anda segera setelah ada perkembangan baru,” ujar sang detektif, sebelum sambungan diputus. Yoonjae meletakkan ponselnya perlahan. Kepalanya tertunduk.
“Harabeoji... Samcheon... Sukmo...” gumamnya lirih. Tiga nama yang dulu berdiri sebagai tiang keluarganya… kini berubah menjadi bayangan yang merobohkannya. Ia baru hendak meresapi semuanya ketika pintu ruangannya terbuka. Seorang ganhosa masuk dengan cepat dan sopan.
“Dokter Kim, ada pasien baru yang butuh penanganan segera,” ucapnya.
Yoonjae menegakkan tubuhnya, menanggapi dengan anggukan cepat. Tatapannya kembali tajam—profesional. Luka di dalam dirinya masih menganga, tapi tanggung jawabnya sebagai dokter... tak pernah menunggu untuk sembuh. Ia melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit, menyapa beberapa rekan sejawat dengan anggukan singkat. Begitu tiba di UGD, suasana sudah tampak sibuk. Seorang pasien pria paruh baya terlihat kesulitan bernapas, diapit oleh dua perawat yang tengah memasang selang infus dan memeriksa tanda vital.
Yoonjae segera mengenakan sarung tangan dan masker, lalu berdiri di sisi tempat tidur pasien.
“Apa yang terjadi?” tanyanya cepat, menatap monitor yang menunjukkan saturasi oksigen yang menurun.
“Sesak napas hebat sejak satu jam lalu, riwayat diabetes dan hipertensi, tidak sadar penuh,” lapor salah satu perawat.
Yoonjae mengangguk. Ia menatap wajah pasien itu sejenak sebelum mulai bekerja. Tangan-tangannya cekatan memeriksa dada pasien, memutuskan prosedur cepat yang harus dilakukan. Dalam beberapa menit, ia sudah memimpin timnya untuk tindakanstabilisasi.
Tapi di balik profesionalitasnya, ada rasa sunyi yang mengendap. Di tengah hiruk pikuk ruang UGD, ada jeda singkat di mana tatapan Yoonjae kosong—melayang entah ke mana—sebelum ia kembali fokus.
Begitulah ia menjalani harinya. Menyelamatkan nyawa orang, sementara satu nyawa—yang paling ingin ia temukan—masih menghilang tanpa jejak.