“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”
Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.
Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.
Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.
Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Sembilan Belas
“Shaka,” panggil Tia lagi begitu mereka berada di area taman kecil di samping restoran, jauh dari pelanggan dan keributan tadi.
Shaka menoleh sopan. “Ada apa, Kak Tia?”
Tia memandang sekeliling, memastikan tak ada yang mendengar. Ia menyilangkan tangan di dada, lalu membuang napas panjang. “Kamu lihat sendiri kan barusan? Kevin narik Davina begitu saja. Depan aku. Depan kamu.”
Shaka hanya mengangguk pelan. Ia tidak ingin memperkeruh suasana.
“Aku mau minta tolong,” ucap Tia akhirnya.
Shaka mengangkat alis, bingung. “Tolong apa, Kak?”
Tia menelan ludah. “Aku mau kamu kerja sama denganku.”
“Kerja sama untuk apa?” tanya Shaka dengan wajah keheranan.
Tia menggigit bibir, lalu suaranya turun menjadi bisikan tajam. “Untuk misahin Kevin sama Davina.”
Shaka sempat terpaku. Seolah ingin memastikan ia tidak salah dengar. “Misahin? Maksud Kakak apa?”
Tia mundur selangkah, rambutnya jatuh di bahu, matanya sedikit merah akibat kejengkelan. “Kamu nggak liat? Mereka itu ....” Ia mengepalkan jari, “... terlalu dekat.”
Shaka mengerutkan kening, pelan tapi tegas. “Bang Kevin sama Davina itu adik kakak.”
Tia mendengus sinis. “Adik kakak tiri, Shaka.”
Shaka terdiam sejenak.
“Mereka bukan sedarah,” sambung Tia lagi, nada suaranya makin rendah, makin gelap. “Masih bisa nikah.”
Kening Shaka berkerut dalam, kali ini lebih karena kaget bercampur tidak percaya. “Kak Tia … gimana kakak bisa ngomong begitu?”
Tia memutar mata, frustrasi. “Karena aku lihat! Cara Kevin mandang Davina. Itu bukan cara abang mandang adik. Dan cara Davina ngeliat Kevin juga bukan adik ke abang. Kamu pasti lihat kan?”
Shaka menghela napas panjang, mencoba tetap logis. “Saya lihat Bang Kevin marah. Iya. Tapi menurut saya itu wajar. Dia khawatir atau cemburu karena dia pikir saya ganggu Davina. Tapi itu bukan berarti ....”
“OH TOLONG, SHA!” potong Tia keras, memijit batang hidungnya. “Jangan pura-pura polos begitu. Aku udah lama sama Kevin. Aku tahu tiap perubahan kecil dalam diri dia. Aku bahkan tahu kalau dia nggak suka manis tapi pura-pura suka kalau aku yang bikin.”
Shaka hanya menatapnya, tidak ingin mengomentari soal itu.
Tia mendekat selangkah. “Dari dulu Kevin nggak pernah marah segila itu kalau aku dekat sama cowok lain. Tapi kamu lihat tadi? Davina makan siang sama kamu aja dia hampir ngebom restoran.”
“Bang Kevin cuma protektif,” jawab Shaka tenang. “Davina kan adiknya.”
“ADIK TIRI, Shaka.” Tia menekankan lagi.
“Ya, tetap adik,” balas Shaka masih tenang. “Dan saya percaya Bang Kevin.”
Tia terdiam sepersekian detik sebelum tertawa kecil. Tawa kering yang tidak lucu sama sekali. “Kamu percaya Kevin? Bagus. Tapi coba jawab jujur … kamu yakin Davina nggak suka sama dia?”
Pertanyaan itu membuat Shaka mengerjap, tapi ia mengatur ekspresi wajahnya cepat. “Davina perempuan baik, Kak. Dia mungkin sayang sama Bang Kevin, tapi ya sayang sebagai seorang adik ke abangnya.”
Tia menyipitkan mata, seolah menilai apakah Shaka bohong atau tidak. “Kamu mencintai Davina?”
Pertanyaan itu langsung membuat dada Shaka menegang. Tapi ekspresinya ia jaga tetap kalem.
“Aku menghormati Davina,” jawabnya pelan, jujur. “Dia orang baik.”
“Itu bukan jawaban,” desak Tia.
Shaka menunduk sebentar, lalu mengangkat wajah lagi. “Aku tak tau perasaanku saat ini. Kami masih saling mengenali pribadi masing-masing. Tapi kalaupun aku suka dia, aku nggak akan gunakan itu buat misahin dia dari abangnya.”
Tia terdiam. Shaka bisa melihat bagaimana mata wanita itu berkedut menahan emosi. “Jadi kamu nggak mau bantu aku?”
“Nggak, Kak,” jawab Shaka mantap. “Aku nggak mau ikut campur urusan Kak Tia sama Bang Kevin. Dan aku nggak mau misahin hubungan Davina sama abangnya. Itu udah garis mereka sendiri.”
Tia menyilangkan tangan, matanya membara dengan rasa sakit bercampur marah. “Padahal aku cuma mau hubungan pertunanganku selamat. Kamu nggak ngerti, Shaka. Aku sayang sama Kevin. Banget.”
“Aku tahu,” jawab Shaka lembut. “Tapi … kalau kalian saling sayang, harusnya Kak Tia percaya sama Bang Kevin. Bukan cemburu sama adiknya sendiri.”
Tia tersentak. “Cemburu?! Kamu pikir aku cemburu sama Davina?”
“Bukan ‘pikir’,” sahut Shaka pelan. “Aku liat sendiri gimana sikap dan cara Kak Tia memandangi Davina."
Wajah Tia langsung memerah, antara malu dan tidak terima. “Itu … itu cuma karena Kevin terlalu lembut sama Davina. Aku nggak suka.”
“Kak Tia,” Shaka menggeleng pelan. “Kalau mereka beneran saling suka seperti yang kakak bilang … kenapa Bang Kevin mau nerima pertunangan sama kakak?”
Tia terdiam, bibirnya terbuka tapi tidak ada suara yang keluar.
Shaka meneruskan, lebih lembut kali ini. “Kalau perempuan yang aku suka cinta sama orang lain, aku nggak akan paksa dia tunangan dengan ku. Dan aku yakin Bang Kevin juga nggak akan.”
Tia mengepalkan tangan begitu kuat sampai buku jarinya memutih. “Kevin nerima pertunangan itu karena Papa aku. Keluarganya butuh kerja sama perusahaan dengan keluargaku. Kamu nggak tahu apa-apa.”
Shaka mengangkat alis. “Kalau begitu … harusnya Kak Tia sadar kalau itu bukan awal hubungan yang sehat.”
Tia terdiam lagi. Angin sore menyentuh rambutnya pelan. Mata Tia mulai berkaca-kaca, tapi ia mengedip cepat, menahan air mata supaya tidak jatuh.
“Jadi … kamu beneran nggak mau kerja sama dengan aku?” Suara Tia kali ini nyaris berbisik.
Shaka memberi senyum kecil, senyum yang sopan, tapi penuh penolakan. “Nggak, Kak. Maaf.”
Ia menundukkan kepala sedikit lalu memberi langkah mundur. “Aku pamit dulu. Aku harus balik kantor.”
Tia tidak menyahut. Ia membiarkan Shaka berjalan pergi menjauh, langkah pria itu mantap, tidak ragu, dan semakin lama semakin mengecil dalam jarak.
Ketika akhirnya Shaka menghilang di balik pintu restoran, Tia baru menarik napas panjang, napas panjang yang terdengar seperti seseorang yang baru saja kehilangan satu-satunya sekutu yang ia harap bisa mendukungnya.
Lalu perlahan ekspresi manisnya runtuh. Berganti dengan wajah penuh amarah, cemburu, dan luka yang ia sembunyikan selama ini. Tia menggigit bibir keras-keras, hampir berdarah.
“Gila,” gumamnya dengan suara rendah, getir, marah pada dirinya sendiri. “Aku sampai harus minta bantuan pria itu .…”
Ia memijit pelipis, lalu mendengus panjang. “Dan dia malah bela Davina. Jelas-jelas Davina itu ...."
Tia berhenti bicara. Matanya menatap kosong ke depan, tapi rahangnya mengeras.
“Aku nggak boleh kalah.”
Ia menyapu rambutnya ke belakang dengan kasar. Aku nggak boleh kalah dari perempuan itu.”
Ia menunduk, kemudian tertawa pelan, tawa sinis yang tak ada lucunya.
“Shaka bodo banget, dia kira aku cuma cemburu.” Tia menggeleng, masih mendengus kesal. “Kalau aku nggak cemburu, aku nggak bakal sampai segini, kan?”
Ia berjalan pelan menuju trotoar depan restoran. Angin menerpa wajahnya, tapi tidak cukup dingin untuk meredam panas emosinya.
“Aku tunangan Kevin,” bisiknya lirih namun penuh tekanan. “Tunangan resminya.”
Langkahnya terhenti.
“Aku yang harus ada di sisi dia.”
Ia menatap ke kejauhan, menyipit tajam, penuh niat, penuh ambisi, penuh rasa terancam.
“Dan Davina .…”
Ia menggertakkan gigi. "Kamu harus tahu tempatmu.”
Tia mengusap wajahnya pelan, memperbaiki gaunnya, menarik napas panjang seolah mempersiapkan topeng baru untuk dipakai kembali.
Setelah itu, ia menggerutu sendiri, pelan, tapi jelas. "Lihat saja … aku nggak bakal diam.”
tega niat ibunya Kevin, Davina suruh nanggung sendiri akibatnya
semangatttt kev dg penuh tggjawab, abaikan sementara mamamu itu, yg egois🤭 aslinya ibu tiri sdh Nampak