NovelToon NovelToon
Bayangan Sang Triliuner

Bayangan Sang Triliuner

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Mafia
Popularitas:854
Nilai: 5
Nama Author: EPI

Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ledakan amarah fandi

Semakin lama, pandangan gadis itu semakin buram… semakin gelap… hingga akhirnya—hening.

Tak ada suara selain napasnya yang tercekat dan darah yang terus mengalir.

Brruuuuummm—!

Deru mobil berhenti mendadak di depan ruko.

Pintu mobil terbuka keras, disusul langkah tergesa-gesa.

Krieeettt—

Pintu ruko didorong. Bunyi engselnya memecah kesunyian, membuat bulu kuduk berdiri.

“Fan, hati-hati… bisa saja ada jebakan,” bisik Kei pelan.

Mereka masuk dengan langkah perlahan. Ruko tampak kosong, namun hawa aneh menyelimuti ruangan.

Fandi menyisir setiap sudut dengan tatapan tajam—hingga sebuah pintu yang terbuka sedikit menarik perhatiannya.

Dengan cepat ia menuju ke sana.

Begitu pintu terbuka lebar, matanya langsung membesar.

Tanpa berpikir panjang—

“Epi!”

Ia berlari dan berlutut di samping tubuh lemah gadis itu.

“Epi bangun…” ucap Fandi, menepuk-nepuk pipinya dengan panik.

Namun Epi tetap terkulai… tak bergerak.

Pandangan Fandi turun ke perut gadis itu—darah mengalir, banyak… sangat banyak.

Tubuhnya menegang beberapa detik sebelum akhirnya—

“Alfin! Kei!” teriaknya meledak.

Tap! Tap! Tap!

Langkah kaki cepat mendekat.

“Astaga…” Alfin dan Kei terhenyak bersamaan ketika melihat Fandi memeluk tubuh gadis itu—penuh darah, lantai pun sudah seperti genangan merah.

“Ayo cepat!”

Fandi mengangkat Epi dan berlari keluar secepat mungkin.

Alfin dan Kei mengikuti tanpa jeda.

Begitu mencapai mobil, Kei langsung menarik pintu kemudi.

Fandi masuk sambil mendekap tubuh Epi, Alfin melompat ke samping.

Kei menginjak gas dalam-dalam—mobil melesat brutal.

“Lebih cepat lagi, kei…” suara Fandi serak, seperti tertahan oleh ribuan emosi.

Kei sempat menoleh ke belakang.

Ia terpaku melihat mata Fandi—memerah, penuh panik dan ketakutan.

Ia menoleh ke Alfin, dan pemuda itu pun tampak sama tegangnya.

Lima belas menit kemudian, mereka tiba di rumah sakit terdekat.

Fandi melompat keluar tanpa menunggu mobil berhenti sepenuhnya, menggendong Epi erat-erat.

“Sus! Tolong!” teriaknya.

Para perawat yang mendengar langsung berlari mendekat dan mengambil alih.

Gadis itu dibawa masuk ke Unit Gawat Darurat dengan cepat.

Fandi berdiri di depan pintu UGD—napas memburu, tangan gemetar, bajunya basah oleh darah Epi.

Beberapa detik kemudian, Kei mendekatinya.

“Hah… astaga. Apa dia sudah ditangani?” tanya Kei cemas.

Fandi tidak menjawab.

Ia hanya mengangguk—mata merah, rahang mengeras menahan emosi.

“Kau… menangisi gadis itu?” Kei bertanya, tak habis pikir.

Baginya, Fandi adalah sosok dingin, tidak peduli sekitar, berhati batu—mana mungkin ia menangis karena seorang gadis… yang bahkan baru ia kenal?

Namun Fandi tetap diam.

Alfin menatap Kei sambil memberi kode agar pemuda itu berhenti bicara, tapi Kei malah melengos.

Alfin akhirnya duduk di kursi tunggu, kelelahan. Kei pun ikut duduk, meski sesekali masih melirik Fandi dengan kebingungan yang jelas.

“Fan, duduklah. Nggak pegal apa berdiri terus?” tanya Kei pelan.

Namun Fandi tetap diam. Sama sekali tidak merespon.

Kei menoleh ke Alfin, seolah meminta tolong.

“Fan… duduk dulu. Semua akan baik-baik saja,” ucap Alfin hati-hati.

Fandi menoleh perlahan—mata merah, rahangnya mengeras.

“Bagaimana mungkin baik-baik saja, Fin?” suaranya rendah, hampir seperti geraman.

“Dia diperlakukan seperti itu karena aku. Karena musuhku. Sialan… aku harus membunuh anak suryo si Angga itu.”

Tanpa menunggu jawaban, Fandi langsung berbalik dan pergi.

“Fan! Mau ke mana?” teriak Alfin panik.

“Jangan-jangan dia mau ke rumah Angga itu!” Kei memekik.

Mereka berdua langsung berlari mengejar. Begitu Fandi masuk mobil, Kei dan Alfin langsung menyusul masuk.

Bruuuummmm—!

Mobil melesat brutal. Kei terpental sedikit ke belakang kursi.

Alfin memegang dashboard sampai buku jarinya memutih.

“Alfin, bisa cari tahu di mana Angga itu?” suara Fandi dingin, menusuk.

“B-bisa… tapi kau pelankan dulu mobilnya! Aku nggak fokus nanti!” jawab Alfin, masih bertahan sambil memegang erat.

Seakan baru sadar, Fandi memelankan laju mobilnya—walau tetap cepat.

Kei dan Alfin serempak mengembuskan napas panjang.

“Gila… jantungku hampir copot,” gumam Kei, masih memegangi dada.

Alfin langsung bergerak cepat, membuka iPad-nya dan mulai melacak lokasi yang mereka butuhkan.

Lima menit berlalu, jari Alfin berhenti.

“Fan… sepertinya dia ada di perbatasan kota.” Alfin mengangkat wajah.

“Tunjukkan jalannya,” ucap Fandi datar—tanpa emosi, tanpa ragu.

Alfin mengangguk, memberikan iPad itu kepada Fandi sambil menunjukkan rute.

Begitu layar berpindah ke tangan Fandi—

Brummm—!

Mobil kembali melesat, kali ini lebih cepat dari sebelumnya.

Kei dan Alfin sampai menutup mata mereka karena terlalu tegang.

“Fandi! Jangan gila lah!” teriak Kei, tapi matanya tetap tertutup rapat.

Alfin hanya berpegangan kuat, mulutnya komat-kamit entah berdoa apa.

Sekitar tiga puluh lima menit kemudian, mobil berhenti mendadak.

Cyiiiiittttt—!!

Ban berdecit keras, debu berterbangan, tubuh mereka terdorong ke depan.

Kei dan Alfin membuka pintu dengan wajah pucat—dan langsung muntah di tanah, tanpa bisa menahan diri.

“Gila si Fandi ini…” desis Kei sambil mengatur napas.

Begitu Alfin mengangkat wajah, ia melihat Fandi sudah jauh di depan, melangkah masuk dengan kecepatan yang mustahil dikejar.

Alfin dan Kei segera menyusul—walau tubuh mereka masih goyah.

“Hei! Siapa kau?!” teriak seorang penjaga yang maju menghadang.

Belum sempat dia mendekat—

Syuuuh!

BUGH!

KRETAK!

Satu pukulan, tepat di tengkorak.

Pria itu ambruk seketika. Mati.

Para penjaga lain menatap dengan wajah pucat, tubuh mereka refleks mundur setapak.

“SERANG!!” teriak komandan mereka.

Sring!

Belasan senjata keluar dari sarung.

Syuuuh!!

BUGH!

SREET!

BRUGH!

Fandi menerjang tanpa ragu. Tebasannya tepat—memenggal leher, menghantam dada, meremukkan tulang.

Dua orang tumbang dalam satu gerakan.

“SERANG!!”

Wush! — TRANG!

BUGH!

SREET!

SREET!

BUGH!

Benturan logam, teriakan pendek, darah memercik.

Fandi bergerak cepat seperti bayangan gelap—memutar tubuh, melesatkan pukulan keras ke dada musuh, membalik katana, kemudian menggores wajah dan leher mereka tanpa ampun. Dua tubuh lain jatuh, tewas seketika.

Pertempuran makin sengit.

Tebasan bertubi-tubi beradu dengan serangan dari lima belas orang sekaligus.

Namun Fandi tak bergeser.

Tendangan mengenai punggungnya—sia-sia. Tubuhnya tak goyah sedikit pun.

Ia membalas dengan ganas.

Syuuh!!!

SREET!

SREET!

SREET!

Tiga leher terputus hampir bersamaan.

Dar arah lain tiga pria menyerang bersamaan. Namun Fandi terlalu cepat—katana-nya menari liar.

WUSHH!! — TRANG!!

BUGHH!

KREEETAK!!

SREEET!

TUSSH—CURRR!!

Terlihat darah menyembur dari perut seseorang yang ditebas miring. Tulang rusuk seorang lainnya patah terbuka.

Fandi sama sekali tidak berhenti.

Matanya memerah, napasnya tajam. Ia mengangkat katana dengan genggaman penuh amarah.

Ia berlari.

Dan membantai.

Satu tebasan ke leher.

Satu pukulan menghancurkan rahang.

Tubuh ambruk berserakan.

Fandi tidak memberi ruang bagi siapa pun untuk bernapas.

Sreet! Sreet! Sreet!

Leher, perut, jantung—semua jadi sasaran.

Dalam hitungan menit, lima belas orang itu mati. Tidak ada yang tersisa.

Lantai berubah menjadi genangan darah.

Fandi tidak menoleh.

Tidak merasa.

Hanya berjalan cepat menuju bangunan utama.

Ceklek…

Krieeeet…

Pintu terbuka pelan.

Fandi menyusuri koridor, mencari-cari.

Hingga matanya menangkap sebuah pintu yang sedikit terbuka.

Tanpa menunggu.

BRAAAKKK!!

Ia menendang pintu itu hingga terpental ke tembok.

Seorang pemuda sebaya darinya—Angga—melonjak kaget, rokok hampir jatuh dari tangannya.

“Siapa kau?!” teriaknya panik, melihat seseorang berdiri di sana berlumuran darah dari ujung kepala sampai kaki.

“Kau Angga?” suara Fandi dingin. Tanpa emosi.

“Ya, memang. Kenapa? Siapa kau, breng—”

SYUUUH!

BUGHH!!

“Arrggh!!”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!