Andini kesal karena sang ayah tidak menghadiri acara kelulusannya, ia memilih jalan sendiri dari pada naik mobil jemputannya
sialnya lagi karena keisengannya dia menendang sebuah kaleng minuman kosong dan tepat mengenai kening Levin.
"matamu kau taruh dimana?" omel Levin yang sejak tadi kesal karena dia dijebak kedua orang tua dan adik kembarnya agar mau dijodohkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arfour, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
satu sama
Andini memandang Benni dan Juga Levin secara bergantian. Namun yang mengejutkan tiba Andini menangis dan marah-marah, hal itu tentu saja membuat Benni dan Levin panik bahkan Maman dna Isah yang ada di belakang langsung menghampiri mereka.
“Kenapa Non Andini Pak,” ujar Isah panik, namun Benni hanya tertawa.
“Kok Bapak tertawa sih?” Tanya Isah sambil menghampiri Andini yang menangis seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan.
“Vin kau masih mau sama dia, ya begitu kelakuannya kalau nangis guling-guling, “ ujar Benni yang seketika langsung menghentikan tangis Andini.
“Kalian menyebalkan, awas saja aku akan memberi balasan,” ujar Andini sambil bangun dari lantai lalu menghentikan kakinya.
“Dia itu begitu Mas, kalau ngerjain orang paling seneng tapi kalau balik dikerjain pasti nangis kaya tadi,” ujar Isah sambil tersenyum.
“Sudah besar gitu juga Mbok?” Tanya Levin penasaran.
“Gak juga sih, kalau besar lebih sering berantem sama bapaknya trus banting pintu, waktu kecil ya begitu,” ujar Isah menjelaskan.
“Sudah samperin sana calon istri kamu itu, kalau kelakuan kaya gitu bilang gak jadi kamu nikahan,” ujar Benni sambil mendorong tubuh Levin agar segera menyusul ke kamar Andini.
“Ya sudah Pi aku kekamar Andini dulu, tapi yang mana kamarnya?” Tanya Levin bingung.
“Itu yang ada tulisan dilarang masuk tanpa seizin pemilik kamar kalau melanggar aku sumpahin jadi badut,” ujar Benni yang membuat Levin sempat bengong dengan perkataan Benni.
“Aku serius, udah sana tar dia keburu tambah ngambek lagi, kamu kan sekarang pawangnya, masa gak bisa hinakan piaraannya,” ujar Benni sambil terkekeh.
“Ya sudah Pi,” ujar Levin lalu dia menaiki tangga dan seperti yang Benni katakan memang ada tulisan di pintu kamar itu persis tak lebih dan tak kurang.
Levin hanya tersenyum mengingat kelakuan Andini, dia memang mencintai gadis yang baru dewasa, masih labil kadang galak, kadang tegas, kadang manja dan kadang mandiri, dan yang akhirnya dia tahu Andini kelakuan seperti tadi membuatnya hanya bisa tepuk jidat.
“Sayang kamu marah sama aku?” Tanya Levin sambil mengetuk kamar kekasihnya itu.
“Bodo ah aku marah, sana kamu pergi,” ujarnya menjawab dari balik kamar yang pintunya masih terkunci.
“Ya jangan gitu dong aku kan cuma ingin kasih kejutan sama kamu, kemarin aku udah rayu Papi lho sampai akhirnya dia izinkan aku untuk jadi calon suami kamu,” ujar Levin masih mencoba merayu.
“Bodo amat, emang aku nyuruh,” ujarnya masih marah.
“Ya sudah Mas minta maaf deh, abis kamu juga sih yang gak percaya sama aku,” ujar Levin masih mencoba menjelaskan.
“Gak percaya apanya, kalau aku gak percaya ngapain aku pacaran sama Mas,” ujar Andini masih terdengar kesal nada suaranya.
“Tapi kenapa kamu belum kasih tau aku kalau kamu anaknya Papi Benni?” Tanya Levin dan kali ini Andini tidak menjawab.
“Ayo lah sayang buka pintunya, aku minta maaf deh karena udah ikutan ngejebak kamu,” ujar Levin masih berdiri didepan pintu kamar Andini, namun sama seperti tadi Andini tidak menjawab.
“Ya sudah aku pulang deh,” ujar Levin dia melangkah namun seperti orang berjalan ditempat lalu berhenti seolah dia sudah menjauh.
Andini lalu berjalan kearah pintu bermaksud mengintip apakah Levin pergi, ada rasa sesal juga karena dia tidak menggubrisnya Levin.
“kelewatan banget sih, masa gitu aja pergi,” ujarnya sambil membuka pintu.
“Ach!!” Andini menjerit karena levin masih berdiri tegak memakai topeng badut yang digantungkan oleh andini di pintu kamarnya.
“Ihhh mas nyebelin,” ujarnya sambil memikul dada Levin sementara Levi. Hanya tertawa terbahak-bahak.
“Siapa suruh ambekan, kamu tuh pake masang topeng badut di pintu, kaget sendiri kan,” ujar Levin sambil melepas topeng dan memeluk Andini.
“Ih… ngeselin,” ujarnya sambil masuk kedalam kamar namun dia tidak menutup pintunya.
“Mas boleh masuk,” tanya Levin, kamar besar dengan nuansa seperti gadis tomboy, dominan biru berwarna biru tak ada satu boneka pun disana, hanya lukisan pemandangan, jam dinding televisi berukuran. 52 inch, stick Ps 5 komputer untuk bermain games dan sebuah laptop.
“Masuk aja gak ada yang larang,” ujarnya sambil menjatuhkan tubuhnya di bean bag besar berwarna abu-abu.
“Kan ada tulisannya disana,” ujar Levin sambil menunjuk pintu.
“Kan tadi udah jadi badut,” ujarnya membuat Levin terkekeh lalu ikut duduk di bean bag yang sama.
“Duduknya di sana, itu kan masih ada satu lagi,” ujar Andini sampai menarik Bean Bag yang satunya lagi.
“Aku maunya deket kamu,” jawab Levin sambil memeluk Andini.
“Tapi sempit Yang,” ujar Andini karena bean bag yang ia duduknya tidak terlalu besar, lalu ia menarik bean bag tersebut yang memang ukurannya lebih besar dari yang ia duduki.
“Duduk di sini aja, kalau mau,” ujar Andini lalu berpindah ke Bean Bag diikuti Levin.
“Jadi gimana? Masih marah? Sebenarnya kalau mau marah aku yang seharusnya marah, ya tapi Mas ngerti kok alasannya dan bisa terima,” ujar Levin kali ini berbicara dengan anda serius namun dia masih tetap memeluk Andini.
“Kalau begitu kita seri, awas kalau ngerjain aku lagi,” ujar Andini sambil bersandar di Dada Levin yang sedang memeluknya dari belakang.
“Iya Mas janji gak akan ngejain kamu lagi, tapi kamu mesti janji harus selalu terbuka sama aku, harus cerita apapun yang terjadi,” ujar Levin menaruh dagunya di kepala Andini.
“Tapi mas juga mesti janji, harus percaya sama aku, dan ngak ngebohongin aku lagi,” pinta Andini, kali ini dia menegakkan tubuhnya lalu memandang ke arah Levin.
“Ya Mas janji,” ujarnya dengan sangat yakin lalu dia memberikan kelingkingnya dan levin menautkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Andini lalu menarik Andini dalam pelukannya dan mengecup ujung kepalanya.
“I love you mas,” ujar Andini tersenyum.
“I love u too honey, kita nikah yuk,” kembali Levin me gajak Andini untuk menikah.
“Mau…,” hawab Andini dengan manja lalu memeluk Levin dengan Erat.
“Tapi Papi izinin gak ya?” Seolah bertanya pada dirinya sendiri membuat pelukan Andini melonggar.
“Awas aja kalau dia gak ngizinin,” ujar Andini dengan wajah serius.
“Hush, Papi itu orang tua sayang gak boleh gitu, bicara aja baik-baik, jelaskan alasannya kamu menikah sama mas, jangan pake emosi kalau bicara dengan orang tua sayang,” nasehat levin membuat Andini terdiam, sudah menjadi kebiasaan jika Benni tidak mengizinkan apa yang andini mau dia selalu mengancam.
“Abisnya Papi pake ngelarang segala, dari pada zina kan lebih baik nikah trus kalau kenapa-kenapa sama anak gadisnya gimana coba, kan kalau sudah nikah Papi juga bisa tenang,” ujar Andini berkata panjang lebar.
“Memangnya lamun sudah bilang sama Papi?” Tanya Levin dengan wajah serius.
“Belum s8h baru, sedikit doang, belum bicara serius,” ujar Andini kembali bersandar pada dada Levin.
“Kirain sudah, kalau mas ngomong gimana?” pancing Levin.
“Jangan, kita kan mau nikah Mas sama aku berarti ngomongnya harus barengan donk, Gimana Mas?” tanya Andini dia tidak ingin kekasihnya berusaha sendiri, karena ini demi kepentingan dan keinginan mereka bersama maka Andini berpikir ini harus dihadapi bersama.