Di barat laut Kekaisaran Zhou berdiri Sekte Bukit Bintang, sekte besar aliran putih yang dikenal karena langit malamnya yang berhiaskan ribuan bintang. Di antara ribuan muridnya, ada seorang anak yatim bernama Gao Rui, murid mendiang Tetua Ciang Mu. Meski lemah dan sering dihina, hatinya jernih dan penuh kebaikan.
Namun kebaikan itu justru menjadi awal penderitaannya. Dikhianati oleh teman sendiri dan dijebak oleh kakak seperguruannya, Gao Rui hampir kehilangan nyawa setelah dilempar ke sungai. Di ambang kematian, ia diselamatkan oleh seorang pendekar misterius yang mengubah arah hidupnya.
Sejak hari itu, perjalanan Gao Rui menuju jalan sejati seorang pendekar pun dimulai. Jalan yang akan menuntunnya menembus batas antara langit dan bintang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Boqin Changing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Naik Ranah Pendekar Menengah
Minggu berikutnya berlalu seperti derap kaki yang tak pernah henti. Bangun, latihan, makan, pulih, lalu mengulang lagi. Namun rutinitas itu kini berbeda bentuknya, tiap pagi Boqin Changing menempatkan Macan Bayang di depan Gao Rui, dan tiap malam si murid ditinggalkan dengan rasa sakit yang berubah menjadi pembelajaran.
Di hari-hari awal, latihan fokus pada kecepatan, menangkis serangan, merespons kilatan cakaran yang tak beraturan, dan memindahkan langkah sebelum macan sempat menyentuh. Boqin Changing tidak memberi petunjuk yang jelas, ia sering memberi satu kalimat singkat lalu membiarkan Gao Rui mengulang serangkaian serangan yang membuat keringatnya membasahi tanah.
Tubuh Gao Rui yang sebelumnya dipenuhi bekas cakaran kini mulai menebal dengan jaringan otot baru yang lebih cepat pulih. Refleksnya makin rapat, matanya mulai menangkap kilatan jurus bukan sebagai ancaman acak, melainkan pola.
Boqin Changing juga menambah latihan napas dan inti tenaga. Menahan hentakan tanpa panik, mengatur ritme jantung agar serangan yang datang tak membuatnya kehilangan keseimbangan.
"Jangan melawan serangannya dengan tenaga penuh." kata Boqin Changing suatu sore sambil memegang dagu Gao Rui. "Kau lawan rasa takutnya, bukan bentuknya."
Gao Rui awalnya tidak mengerti, lalu perlahan merasakan maknanya saat satu per satu serangan yang dulu membuatnya tersungkur kini mampu dia kendalikan hanya dengan sebuah langkah kecil dan satu pukulan pendek.
Di hari terakhir sebelum ujian sesungguhnya, Boqin Changing mengajaknya berlatih malam. Cahaya bulan tipis, dan angin dingin membawa aroma pinus.
"Besok aku lepaskan Macan Bayang penuh," Boqin Changing berbisik. "Kau sudah berlatih seminggu. Aku ingin melihat apakah yang kulatih benar-benar menjadi milikmu."
Gao Rui menatap mata gurunya yang tenang, lalu mengangguk sampai rahangnya bergetar karena penat. Malam itu ia tidur, dengan keyakinan yang tak asing, takut masih ada, tetapi ia sekarang tahu bagaimana menahannya.
Pagi ujian datang dengan langit cerah. Boqin Changing berdiri di lapangan, tangannya tak banyak gerak. Dari telapak muncul kabut hitam yang kembali menyusun tubuh macan, lebih besar, cakarnya melengkung seperti sabetan matahari yang padam. Ada sesuatu yang berbeda pada makhluk itu. Ia tidak lagi bergerak seperti acak, gerakan-gerakannya lebih fokus, lebih mencari kelemahan.
Pertarungan dimulai seperti badai yang terkontrol. Macan menerkam cepat, namun Gao Rui kini tak asal menghindar. Ia memanfaatkan langkah-langkah kecil yang dipelajarinya, mundur satu langkah, geser kaki, selip di bawah cakaran, lalu pukulan pendek ke rusuk yang kedua. Serangan itu bukan untuk melukai sungguh-sungguh, tetapi untuk mengalihkan fokus musuhnya. Kali ini, serangannya menghasilkan reaksi, macan mengerang, namun tidak mundur sepenuhnya.
Boqin Changing mengamati sambil tersenyum tipis.
"Bagus." gumamnya pelan.
Macan meningkatkan kecepatannya, sebuah percobaan untuk menguji batas baru Gao Rui. Gelombang kegelapan menyapu tanah. Gao Rui menutup mata sepersekian detik bukan karena takut, tetapi untuk menghitung ritme napasnya. Ia membuka mata, melihat momen kecil ketika bayangan macan menarik ekornya terlalu jauh ke kiri, celah sempurna. Tanpa berpikir panjang, ia melesat, tubuhnya memadat, tinju yang sejak seminggu lalu latihan telah dipoles kini menyerang dengan tempaan ritme. Bukan pukulan keras, melainkan pukulan yang menyalurkan tenaga dan mengunci titik lemah musuhnya.
Bugh!
Makhluk itu tersentak, bukan sekadar terganggu. Namun macan tidak runtuh. Ia menggeram lebih keras, berputar dan melontarkan ekor seperti cambuk kegelapan. Gao Rui merasakan hantaman itu menerobos kulitnya, tetapi ia menahan, tidak jatuh. Peluh bercampur darah mengalir di alisnya tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam cara ia bernafas, tenang, tertahan, dan semakin tajam.
Pertarungan berlanjut menjadi duel strategi. Gao Rui mulai membaca pola serangan, tarikan nafas sebelum loncatan, tekanan otot di pundak sebelum sabetan, dan nada rendah di geraman yang mengungkapkan intensitas kegelapan. Ia menyesuaikan ritmenya, mengurangi gerakan yang tidak perlu, menghemat tenaga untuk momen yang benar-benar menentukan.
Dalam sebuah kesempatan tipis, Gao Rui melompat ke punggung macan saat makhluk itu meluncur lewat. Ia menanam kaki, memelintir tubuh, dan memusatkan tenaga ke satu titik, pukulan pendek yang menyalurkan seluruh tenaganya.
Ledakan energi memancar. Macan Bayang meraung, tubuhnya mulai retak seperti kaca yang pecah dari dalam. Kabut hitam terbelah menjadi helai-helai tipis yang tak bisa lagi menyatu. Dengan satu hentakan akhir, Gao Rui mengayunkan kembali pukulannya yang membuat Macan Bayang kemudian meledak menjadi debu.
Keheningan menyusul. Debu kegelapan meresap ke tanah, dan hanya ada Gao Rui yang terengah, berdiri di tengah lapangan dengan pakaian sobek dan darah yang menetes. Napasnya berat, tubuhnya gemetar, tetapi matanya bersinar.
Boqin Changing berjalan mendekat, menepuk pundak muridnya sekali.
"Kau berhasil menumbangkan Macan Bayang," katanya datar, tetapi di sudut bibirnya ada secercah kebanggaan yang tidak sering tampak.
Gao Rui jatuh berlutut, lalu tertawa pecah, suaranya kalah oleh hembusan angin.
"Aku… aku mengalahkannya?" tangis tawa itu campur aduk dengan kelelahan. Ia merasakan setiap luka seperti medal kemenangan. "Aku… benar-benar mengalahkannya."
Boqin Changing mengangkat muridnya dengan satu tangan.
"Kau tidak hanya mengalahkannya," jawabnya. "Kau membuatnya menyerah pada ritmemu. Itu lebih penting daripada menang hari ini."
Malamnya, saat menambal beberapa luka dan meminum ramuan hangat yang diberikan gurunya, Gao Rui menatap Boqin Changing.
"Guru… aku berterima kasih. Aku tak tahu bagaimana membalasnya."
Boqin Changing menepuk pipinya halus.
"Jangan berhutang padaku kata-kata. Jadikan apa yang kau pelajari milikmu. Suatu hari nanti, kau akan memberikannya pada orang lain yang membutuhkan. Itu sudah cukup."
Gao Rui tersenyum, menatap api unggun kecil di dekatnya. Di balik kelelahan, ada rasa baru, keyakinan. Bukan hanya karena ia mampu menumbangkan makhluk kegelapan, tetapi karena ia tahu sekarang ada jalan yang bisa ditempuh.
Boqin Changing berdiri memandang bulan, matanya menatap jauh ke depan seperti seseorang yang menimbang kemungkinan-kemungkinan, musuh-musuh yang lebih kuat, dan tantangan yang lebih besar. Ia tahu pelajaran hari ini adalah awal, dunia di luar Pagoda Serpihan Surga tidak akan berhenti menguji. Tetapi untuk saat ini, seorang murid telah menapaki satu batu pijakan lagi di jalan menjadi pendekar.
...******...
Waktu terus berjalan, hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan hingga akhirnya hari itu tiba. Hari ini tepat satu tahun sejak Gao Rui memasuki Pagoda Serpihan Surga bersama Boqin Changing.
Selama setahun itu, perubahan pada tubuh Gao Rui nyata seperti besi yang ditempa. Delapan puluh lingkaran tenaga dalam telah meresap ke tubuhnya, napasnya lebih panjang, pukulannya lebih padat, dan aura pendekarnya tidak lagi seperti pendekar muda yang gugup. Ranah kultivasi Gao Rui sudah naik ke tingkat pendekar menengah. Suatu hal yang luar biasa walaupun tentu tidak bisa dibandingkan dengan gurunya, Boqin Changing.
Rutinitasnya sederhana namun tidak mudah. Pagi meditasi, latihan fisik sampai otot bergetar, menyerap rumput naga yang dikeringkan dan disusun rapi oleh Boqin Changing, belajar jurus hingga permukaan telapak tangan berdarah, lalu mengurus rumah. Rumput naga yang awalnya menurutnya tidak berguna kini menjadi makanan sehari-hari baginya. Tubuhnya menyerap khasiatnya dan mempercepat kenaikan kekuatannya. Boqin Changing tak memberi celah untuk kemanjaan, tiap hari latihan selalu diubah menjadi pelajaran.
Boqin Changing juga mulai mengajarkan jurus-jurus inti satu per satu. Awalnya hanya dasar, pola pukulan yang benar, postur bertahan, dan kontrol pernapasan. Lalu perlahan ditambah jurus-jurus kombinasi. Di sela-sela itu, sang Guru menyisipkan filosofi bertarung, kapan menyerang, kapan menunggu, dan kapan menakut-nakuti lawan.
Dalam beberapa kesempatan, Boqin Changing juga melakukan pelatihan tertutup sendiri di dalam kamarnya. Gao Rui mengerti dan tidak mengganggunya. Saat gurunya melakukan itu, maka Gao Rui akan berlatih sendiri di halaman.