Ketika hidupnya diinjak-injak dan harga dirinya dihancurkan, Raka Wiratama menemukan sebuah kekuatan misterius—Sistem Upgrade Emosi.
Semakin besar amarahnya, semakin kuat pula dia menjadi.
Dari seorang pemuda biasa yang diremehkan semua orang, Raka Wiratama perlahan bangkit. Setiap penghinaan, setiap luka, dan setiap pengkhianatan… hanya membuatnya lebih kuat!
Dengan amarah sebagai bahan bakar, Raka Wiratama bertekad untuk membalikkan takdir.
Musuh yang dulu meremehkannya, kini gemetar ketakutan.
Dunia yang menertawakannya, kini dipaksa berlutut di bawah kekuatannya!
💥 Inilah kisah seorang pemuda yang menjadikan amarah sebagai senjata untuk menaklukkan dunia!
[Karya ini hanyalah ide yang muncul tiba-tiba. Jadi kalau tiba-tiba gak update, maaf banget ya]
[Jadwal Update: Setiap hari jam 0.00 WIB]
#Kalau telat berarti belum selesai dan sedang ada kendala.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nocturne_Ink, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 - Pura-pura Jadi Pacar
Wajah cantik Arini Prameswati langsung memerah.
“Malam ini… kamu beneran mau pura-pura jadi pacarku?” tanya Raka Wiratama kaget.
“Kenapa? Kalau bukan aku, kamu pasti udah dipermalukan di sekolah. Emangnya kamu nggak mau pura-pura jadi pacarku?”
“Mau!” Raka Wiratama buru-buru mengangguk, apalagi tatapan mata Arini kelihatan galak banget.
“Tapi masalahnya… aku ini masih anak sekolah, belum cukup umur. Mana mungkin bisa meyakinkan orang kalau aku pacarmu? Bahkan tangan cewek aja belum pernah aku pegang.”
Arini cuma mengangguk pelan, terus nyeletuk, “Mana ada tampang anak sekolah kalau lihat cara kamu dandan gini?”
Memang bener sih. Umurnya baru tujuh belas, tapi tinggi badan Raka Wiratama udah 175 cm, badannya juga udah dewasa banget. Begitu ganti seragam sekolah dan pakai jas rapi, auranya jadi beda, bener-bener keliatan kayak cowok mapan.
Tak lama, Raka Wiratama ikut Arini menuju sebuah vila mewah.
Halamannya luas, dengan dua satpam berbaju hitam berjaga di gerbang.
Begitu turun dari mobil, Arini langsung menggandeng lengan Raka Wiratama, lalu masuk bareng ke dalam vila.
“Datang juga!” sambut seorang kakek sambil santai bikin teh.
Di sampingnya berdiri seorang pria dengan jas dokter putih, kayaknya dokter pribadi si kakek.
“Kalian belum makan kan? Ayo makan dulu.” Arini sambil manja merapat ke Raka Wiratama.
Di meja makan, makanan udah tertata rapi, seolah-olah memang disiapin khusus buat Raka Wiratama..
Kakek itu ngeliat sekilas ke arah Raka Wiratama, lalu duduk di kursi tanpa ngomong apa-apa. Tapi tatapan matanya tajam banget sampai bikin jantung Raka Wiratama berdegup kencang.
'Gila, aura kakek ini serem banget,' batinnya.
Tapi kalau diperhatiin baik-baik, punggung si kakek agak bungkuk, wajahnya juga kelihatan tua. Meski begitu, Raka Wiratama buru-buru pasang wajah kalem biar nggak keliatan gugup.
“Ehem, Kakek, aku kenalin ya… ini pacarku,” kata Arini sambil makin erat merangkul lengan Raka Wiratama.
Makanannya sederhana, cuma empat lauk sama satu sup. Arini duduk nempel di samping Raka Wiratama, bolak-balik ngambilin lauk buat dia. Dari luar, kelihatan mesra banget.
“Anak muda, asalmu dari mana?” tanya kakek itu dengan tatapan setajam pisau.
“Oh iya, Raka Wiratama kan tinggi badannya lumayan,” gumam kakek itu sambil menuang anggur sendiri.
“Pak Hendrawan, jangan minum!” dokter di belakangnya langsung negur.
Kakek Hendrawan mendengus sebal, “Cucuku datang nengok aku, masa aku nggak boleh minum dikit?”
Dokter itu cuma bisa senyum kecut. “Anak-anak Anda sendiri yang menyuruh saya ngawasin supaya Anda nggak minum. Kalau sampai terjadi apa-apa, saya yang kena semprot.”
“Yaudah, yaudah, kalau gitu nggak usah.” Kakek Hendrawan naruh lagi botol anggurnya.
Raka Wiratama cuma senyum tipis, lalu dengan nada tenang berkata, “Saya ini nggak istimewa kok, cuma tabib keliling aja.”
“Tabib keliling? Masih muda gini?” Kakek Hendrawan tampak kaget.
Raka Wiratama langsung pasang gaya sok keren, “Ah, jangan salah! Sejak kecil saya udah belajar. Umur tiga tahun baca kitab medis, umur empat tahun udah bisa ngafal kalimat susah, umur lima tahun bisa main musik, umur enam tahun rajin baca buku pengobatan, umur sepuluh tahun udah bisa diagnosa penyakit. Bahkan umur empat belas udah lulus Stanford, umur lima belas—”
Belum sempat selesai, perut Raka Wiratama langsung dicubit Arini sampai dia meringis, dan tatapan cewek itu jelas bilang: “Udah lah, jangan ngaco kebanyakan!”
“Tapi beneran, Nak Raka. Kamu belajar dari siapa?” tanya Kakek Hendrawan, kali ini serius.
Raka Wiratama menuang anggur sendiri dengan santai. “Guru saya pesan supaya namanya jangan disebut ke orang luar.”
“Kalau gitu… dulu dia tinggal di mana? Kalau ada kesempatan, saya pengin sowan.”
Dokter pribadi di samping langsung nyinyir, ketawa kecil meremehkan.
Raka Wiratama cuek, tapi dalam hati bergumam, “Njir, kakek ini ngobrolnya beda level.”
Arini malah nutup mulut biar ketawanya nggak meledak. Dia nggak nyangka Raka Wiratama bisa seluwes ini, ngomong bohong pun mukanya datar kayak nggak ada dosa.
“Guru saya… meninggal di waktu saya umur sepuluh tahun. Kalau Kakek bener-bener mau hormat, nanti suatu hari bisa saya ajak ziarah ke makamnya.” Raka Wiratama pura-pura sedih, bahkan matanya sampai berair.
Kakek Wei jadi sungkan. “Ah, maaf, Nak.”
Raka Wiratama buru-buru geleng, “Nggak apa-apa, saya udah biasa.”
Arini jadi ragu, sampai-sampai mikir: 'Ini cowok lagi akting apa beneran sih?'
Kakek Hendrawan mengangguk puas. “Kalau kamu bilang punya kemampuan pengobatan hebat, coba tebak sakit apa yang saya derita? Ini Dokter Adrian lho, lulusan kampus kedokteran top di negeri ini. Dia aja yang ngurus saya bertahun-tahun.”
“Kalau bukan karena dia, mungkin saya udah meninggal lama,” tambahnya sambil ketawa getir.
Arini langsung manyun. “Kakek, jangan ngomong aneh-aneh gitu!”
Raka Wiratama sebenarnya dari awal udah ngeh soal penyakit kakek ini. Jadi dia cuma nyengir, terus nyeletuk, “Eh, Kakek Hendrawan, kenapa nggak coba pengobatan tradisional?”
Kakek Hendrawan geleng-geleng. “Ah, tabib sekarang kebanyakan nggak bisa diandalkan. Paling datang cuma gaya doang, nggak ada yang mau serius ngurus orang tua kayak saya tiap hari.”
Raka Wiratama senyum tipis. “Ya, memang orang yang sungguh-sungguh belajar pengobatan tradisional jarang banget. Kebanyakan cuma setengah-setengah.”
Terus dia mendekat sedikit, nada suaranya penuh percaya diri. “Kalau saya bilang saya bisa bikin Kakek minum lagi, percaya nggak?”
“Apa?!” Kakek Hendrawan hampir loncat dari kursinya.
“Beneran. Bukan cuma minum sedikit, bahkan mau minum banyak juga nggak masalah. Mabuk pun aman.”
Kakek Hendrawan langsung sumringah, matanya berbinar. “Serius? Seriusan? Udah tujuh tahun saya nggak bisa minum leluasa. Kalau beneran bisa… wah, saya bakal seneng banget!”
Raka Wiratama cuma senyum misterius. “Tenang aja, saya mana berani bohong sama kakeknya Arini.”
Belum sempat lanjut, Dokter Adrian mendengus keras, “Omong kosong!”
“Empat tahun saya jagain Tuan Hendrawan, saya lebih tahu kondisi tubuhnya daripada dia sendiri. Kalau sampai beliau minum sampai mabuk, jangankan tabib keliling, dewa sekalipun nggak bisa nolong!”
[BERSAMBUNG]