Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Pagi itu, udara masih terasa lembap setelah semalaman hujan rintik membasahi tanah. Embun menempel di dedaunan, menetes pelan seiring tiupan angin. Jalan tanah di kampung kecil itu basah, meninggalkan jejak kaki siapa saja yang melintas.
Galuh melangkah dengan wajah sedikit murung. Sejak subuh tadi, hatinya sudah kesal karena Nini Ika, neneknya, melarangnya untuk pergi ke pangkalan ojek.
Alasannya sederhana namun berat di telinga Galuh: “Kamu sebentar lagi menikah, Galuh. Tidak pantas lagi perempuan calon istri berkeliaran narik ojek. Mulai sekarang, belajar jadi marwah seorang istri.”
Kata-kata itu terngiang di kepalanya, membuatnya gusar. Seakan-akan semua kebebasan yang selama ini dia miliki harus direnggut begitu saja hanya karena status baru yang akan disandangnya. Padahal, bagi Galuh, naik motor RX King kesayangannya adalah simbol kemandirian.
Galuh menoleh sebentar ke rumah, melihat motor hitam legam itu terparkir rapi di halaman. Hatinya mencelos, tetapi langkah kakinya tidak dia hentikan.
Di ujung jalan, Bagja yang sedang berolahraga lari pagi melihatnya. Kaos oblong warna hitan sudah basah karena keringat, napas terengah, namun sorot matanya berbinar penuh tanya.
“Hei, Galuh! Kenapa jalan kaki?” teriak Bagja sambil melambaikan tangan.
Galuh mendengus. “Karena lagi ingin jalan kaki,” jawabnya ketus.
Bagja mendekat dengan langkah besar. “Mau aku antar?” tanyanya dengan nada sok perhatian.
“Enggak. Kamu belum mandi,” jawab Galuh malas, sambil terus melangkah.
Bagja menyeringai, tak kehabisan akal. “Walau aku belum mandi, tapi tubuh aku enggak bau. Nih, coba kamu cium!” Ia mendekat, membuka sedikit lengannya seolah menantang.
“Enggak mau! Ketek kamu bau asem!” sergah Galuh, buru-buru menutup hidung.
Bagja tertawa keras, lalu mendekat lagi dan memiting kepala Galuh, memaksanya menempel ke ketiaknya. “Apa kamu bilang?! Nih, cium! Enggak ada bau-baunya!”
“Bau, Bagja, bau!” teriak Galuh setengah kesal, setengah geli.
Padahal, jauh di lubuk hatinya, dia tahu Bagja tidak pernah berbau. Lelaki itu justru dikenal rajin menjaga kebersihan dan penampilan. Akan tetapi bagi Galuh, menggoda Bagja dengan kata-kata pedas selalu memberi rasa puas tersendiri.
“Sudahlah! Aku sedang enggak ingin diganggu,” kata Galuh sambil melepaskan diri, lalu mempercepat langkah menuju sekolah.
Bagja tahu apa yang membuat Galuh badmood. Dia juga akan melakukan apa yang dilakukan oleh Nini Ika.
Di tepi jalan, Bu RT terlihat sedang menyapu bahu jalan dengan sapu lidi panjang. Rambutnya yang sebagian sudah memutih diikat seadanya. Melihat Galuh lewat, dia berhenti sejenak.
“Teh Galuh, tumben jalan kaki?” tanya Bu RT heran.
Galuh tersenyum ramah, mencoba menyembunyikan keresahan di hatinya. “Iya, Bu. Lagi ingin jalan kaki,” jawabnya singkat.
Sepanjang jalan, Galuh melihat banyak anak-anak berseragam sekolah berjalan berkelompok. Mereka bercanda, berlari-lari kecil, bahkan ada yang saling kejar-kejaran sambil tertawa lepas. Melihat itu, sedikit demi sedikit hati Galuh yang tadinya kesal mulai luluh. Suasana ramai dan ceria itu membuatnya merasa ringan.
“Beginilah seharusnya masa anak-anak,” batin Galuh. Tidak perlu terbebani pikiran orang dewasa, cukup sekolah, bermain, dan tertawa.
Sampai di dekat sekolah, beberapa murid yang mengenalnya langsung menyalami satu per satu. “Bu Galuh, tumben jalan kaki?” tanya salah seorang dengan nada heran.
Galuh terkekeh. “Sekalian mengawasi kalian. Siapa tahu ada yang malas pergi sekolah.”
Seketika anak-anak itu ribut sendiri, menuding teman-teman mereka yang sering bolos.
“Bu, Andi sudah dua hari enggak sekolah. Dia bantu kerja kuli angkat batu bata,” ucap Anita, gadis kecil yang rumahnya bertetangga dengan Galuh.
Galuh mengernyit. “Apa orang tuanya tidak menegur?”
“Ya, enggaklah, Bu. Justru mereka senang karena Andi dapat uang,” jawab murid lain.
Galuh menghela napas panjang, lalu memijat keningnya. Inilah salah satu hal yang paling membuatnya resah. Kesadaran warga kampung tentang pentingnya pendidikan masih sangat rendah.
Bukan hanya Andi, ternyata ada lima anak lain yang memilih membantu orang tua mereka sebagai buruh kuli daripada datang ke sekolah. Alasannya sama, mencari uang untuk makan hari itu.
Siang harinya, saat jam istirahat, Galuh berkumpul di perpustakaan bersama Dewa dan Ryan. Ketiganya duduk mengelilingi meja kayu tua yang dipenuhi buku-buku sumbangan.
“Bagaimana, ya, aku harus bilangnya? Karena pada kenyataannya, masih banyak warga di kampung kita ini hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka kerja hari ini untuk bisa makan hari ini. Kalau enggak kerja, ya enggak bisa makan,” ujar Dewa, sambil menatap buku yang terbuka, tetapi tak dia baca.
Ryan menambahkan dengan nada serius, “Kebanyakan warga di sini kerja serabutan. Yang enak-enak, kerja di instansi pemerintah, hampir semua bukan orang asli kampung ini. Kita seperti ditinggalkan.”
Galuh hanya bisa mengangguk. Hatinya terasa berat. Dia tahu betul, tamat SMP saja sudah dianggap tinggi di kampung ini. Banyak anak yang setelah itu merantau ke kota dengan harapan bisa mengirim uang. Sayangnya, hampir tak ada yang benar-benar menepati janji itu.
“Kadang aku kepikiran, apa aku harus minta tambahan dana lagi sama bapakku buat biaya makan murid-muridku,” gumam Galuh lirih.
“Janganlah!” sergah Ryan cepat. “Kamu dan bapakmu sudah banyak membantu. Bahkan biaya pendidikan buat murid-murid yang enggak mampu saja sudah sangat besar. Kalau semua ditanggung terus, nanti jadi beban. Dan mereka malah keenakan.”
Dewa mengangguk setuju. “Iya, benar. Kalau terus-terusan dimanjakan, mereka enggak akan berusaha memperbaiki nasib sendiri.”
Galuh terdiam, menatap ke luar jendela perpustakaan. Angin siang itu berembus, menggoyangkan daun jendela yang catnya sudah mengelupas.
“Apa memang hanya ini batas yang bisa aku lakukan?” pikirnya. Padahal aku ingin mereka punya masa depan. Aku tidak ingin murid-muridku jadi orang bodoh yang tidak paham apa-apa.
Galuh mengingat kembali tatapan mata polos murid-muridnya, yang masih begitu belia namun sudah dipaksa mengerti kerasnya hidup. Hatinya perih.
Sesaat, pikiran Galuh melayang pada Bagja. “Bagja punya anak asuh enggak, ya?” tanya gadis itu dalam hati. Karena dia dan elaki itu jarang sekali membicarakan hal-hal seperti ini.
Galuh tahu, di balik sikap jahilnya, Bagja sebenarnya peduli. Akan tetapi entah kenapa, topik tentang pendidikan dan masa depan anak-anak kampung jarang mereka bahas.
Galuh menggigit bibir bawahnya. Ada keinginan kuat untuk menanyakan hal itu langsung pada Bagja. Mungkin saja, pria itu bisa jadi partnernya memperjuangkan pendidikan anak-anak kampung.
Namun, bayangan Nini Ika dan larangan-larangannya kembali muncul. “Harus pintar menjaga marwah seorang istri.” Kalimat itu bergema di kepala Galuh. Membuatnya bimbang, antara memilih jalan yang dia cintai atau mengikuti tradisi yang mengekangnya.
❤❤❤❤😍😙😗
teeharu...
❤❤❤😍😙😙😭😭😘
semoga yg baca semakin banyak....