NovelToon NovelToon
TRANSMIGRASI KE ERA KOLONIAL

TRANSMIGRASI KE ERA KOLONIAL

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Dokter Genius / Romansa / Fantasi Wanita / Transmigrasi / Era Kolonial
Popularitas:6.5k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.

Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.

Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 22. SAKIT

Senja di Batavia selalu jatuh dengan warna yang tidak pernah sama. Kali ini langit tampak bagai permadani keemasan yang digoreskan kuas seniman langit. Namun di kediaman gubernur, suasana gemilang itu sirna, digantikan kepanikan yang menggelegak.

Aruna, gadis yang selama ini memancarkan keberanian dan kejernihan hati, tiba-tiba ambruk begitu saja di hadapan para babu. Tubuhnya lunglai, seolah kehilangan segala daya untuk berdiri. Matanya yang bening tertutup rapat, wajahnya pucat laksana bulan yang diselimuti kabut tipis.

"Ndoro Aruna! Ndoro Aruna!" seru Mbok Sarni dengan suara yang pecah penuh panik. Ia bergegas menubruk tubuh Aruna, meraih pundaknya yang ringan, seakan takut hembusan angin saja bisa memecahkannya.

Suara gaduh segera menggema. Para babu lain datang berlarian. Ada yang menjerit lirih, ada pula yang berusaha menenangkan. Namun satu hal sama: semua mata membulat oleh kengerian. Seorang perempuan muda, yang biasanya tabah menghadapi hujatan maupun tatapan asing, kini terbujur lemah tanpa daya.

Kabar itu secepat kilat sampai ke telinga Van der Capellen. Gubernur yang biasanya tenang dan anggun dalam sikap resmi, malam itu seakan kehilangan pijakan. Ia berlari dengan langkah tergesa, jantungnya berdegup kencang, dadanya seakan dihantam gelombang rasa bersalah.

Saat memasuki kamar, ia menemukan Aruna telah dibaringkan di atas ranjang, rambut panjangnya yang hitam kusut menempel pada kening yang berkeringat. Nafasnya berat, tak beraturan, seakan tubuhnya sedang berperang melawan musuh tak kasat mata.

"Tabib! Panggil tabib secepatnya!" suara Van der meninggi, menusuk udara yang penuh kecemasan.

Seorang pengawal segera berlari menjemput tabib kota, sementara Van der menghampiri ranjang. Tangannya, yang biasa menggenggam pena untuk menandatangani keputusan besar, kini ragu ketika hendak menyentuh tangan Aruna. Jemarinya bergetar, takut bahwa sentuhan kecil saja akan membuatnya semakin rapuh.

"Aruna ..." bisiknya, begitu lirih, nyaris tak terdengar.

Tabib yang ditunggu akhirnya datang. Lelaki tua dengan janggut memutih itu membawa kotak kayu berisi ramuan dan peralatan sederhana. Ia menunduk hormat kepada gubernur, lalu segera memeriksa Aruna yang masih tak sadarkan diri.

Dengan tenang, ia meraba nadi Aruna, menempelkan telapak tangannya ke dahi sang gadis, kemudian mengamati tarikan napas yang tersengal. Waktu berjalan lambat. Suara detak jam dinding terdengar jelas, berpacu dengan jantung Van der yang gelisah.

Akhirnya tabib menegakkan tubuh, wajahnya penuh kebijaksanaan namun juga keprihatinan.

"Ndoro Gubernur," katanya pelan, "tidak ada penyakit berat yang menggerogoti tubuh Nona Aruna. Tubuhnya lemah karena beban batin yang tak pernah ia lepaskan. Dia menahan terlalu banyak rasa cemas, terlalu lama memendam ketakutan. Semua itu menumpuk, menyesakkan jiwa, hingga raganya tak lagi mampu menopang."

Ucapan itu menampar Van der. Pandangan matanya jatuh ke wajah pucat Aruna. Dadanya terasa sesak, seperti terikat rantai tak kasat mata.

"Jadi semua ini karena ... karena tekanan yang dia simpan sendiri?" suara Van der parau, nyaris tak bisa dipercaya bahwa gadis yang selalu tampak kuat ternyata menyimpan luka tak terlihat.

Tabib mengangguk. "Manusia sekuat apa pun, tetaplah rapuh bila batinnya tak pernah diberi ruang bernapas."

Van der terdiam. Dalam kepalanya bergaung pertanyaan yang mengiris nurani:

Apakah aku penyebabnya? Apakah keputusanku yang membawa Aruna ke Batavia, menjadikannya bagian dari hidupku, adalah belenggu yang menjeratnya?

Ia menatap gadis itu lagi, mengingat hari-hari pertama ketika Aruna masih berani menentangnya, menatapnya dengan mata yang nyala oleh keberanian. Tetapi kini, yang tersisa hanyalah tubuh ringkih yang terbaring tanpa daya.

Setelah tabib pergi dengan pesan agar Aruna dijaga dengan tenang dan diberi ramuan penenang, Van der duduk di kursi kayu dekat ranjang. Ia menatap tak beranjak, seakan takut jika memalingkan wajah, Aruna akan menghilang dari dunia.

Pikiran-pikiran berkecamuk. Ia tahu, Aruna bukan perempuan biasa. Ia cerdas, keras kepala, berani menantang bahkan penguasa sekalipun. Tapi pada akhirnya, Aruna tetaplah seorang perempuan muda yang kehilangan kebebasan, terpaksa menjalani hidup di bawah atap yang bukan pilihannya sendiri.

Benarkah aku sudah mencabut kebebasan itu darinya? Benarkah aku terlalu egois dengan keinginanku sendiri? gumam Van der dalam hati.

Hatinya perih. Ia ingin percaya bahwa kebersamaan mereka bisa membawa kebaikan, namun kenyataan malam ini menunjukkan hal sebaliknya.

Keesokan harinya, Van der memanggil para babu. Mereka berkumpul dengan wajah khawatir, saling bertukar pandang seolah takut berbicara.

"Aku ingin tahu," suara Van der berat, namun terdengar seperti ayunan palu yang dipenuhi beban. "Apakah ada di antara kalian yang pernah mendengar Aruna mengeluh? Pernahkah ia bercerita tentang kesulitannya? Tentang apa yang ia rasakan di rumah ini?"

Hening. Para babu menunduk, tidak ada yang segera menjawab. Hingga akhirnya Mbok Sarni melangkah maju, wajahnya penuh kerendahan hati, namun matanya menyiratkan keberanian.

"Ndoro Gubernur," ucapnya lirih, "Ndoro Aruna tidak pernah mengeluh. Dia perempuan yang sabar, penuh perhatian pada orang-orang di sekitarnya. Bahkan kepada kami, para babu, ia selalu ramah dan ringan tangan. Tapi ...." suara Mbok Sarni terhenti sejenak, ada getar yang ditahan di tenggorokan.

"Tapi apa?" desak Van der, matanya menajam, khawatir sekaligus penasaran.

Mbok Sarni menelan ludah. "Beberapa malam terakhir, saya mendapat laporan dari babu yang berjaga, bahkan saya sendiri pernah mendengarnya. Saat tidur, Ndoro Aruna suka mengigau, menangis pelan, dan berulang kali mengucapkan "Aku ingin pulang ... aku ingin pulang'."

Kata-kata itu jatuh bagai petir ke dada Van der. Jantungnya serasa diremas. Ia menoleh ke arah kamar Aruna yang masih terpejam, lalu kembali menunduk.

Aruna merindukan rumahnya ... ia merindukan kebebasannya. Dan aku, akulah yang merenggutnya, batin Van der.

Demam akhirnya menyerang tubuh Aruna. Wajahnya semakin pucat, keringat dingin membasahi leher dan dahi. Van der hampir tak pernah beranjak dari sisinya. Malam demi malam ia lalui di kursi kayu, menatap gadis itu dengan mata yang merah karena kurang tidur.

Sesekali ia membasuh kening Aruna dengan kain basah, sesekali ia menggenggam tangan dinginnya, berbisik lirih walau ia tahu gadis itu tak mendengar.

"Maafkan aku, Aruna," katanya, suaranya pecah. "Andaikan aku bisa memutar waktu, aku ingin membiarkanmu tetap bebas, tetap berlari ke mana pun engkau mau. Aku hanya ingin kau tetap ada di sini, bersamaku ... tapi tidak dengan cara ini. Tidak dengan membuatmu menderita."

Malam menyelubungi Batavia dengan sunyi yang asing. Angin menyusup melalui celah jendela, menambah dingin yang merambati ruangan Aruna. Lilin-lilin di meja kecil berkelip redup, seolah turut merasakan kegelisahan yang menggantung di udara.

Van der duduk di kursi yang sama, punggungnya tegang, matanya tak pernah lepas dari wajah pucat Aruna. Sesekali ia berdiri, berjalan mondar-mandir, lalu kembali duduk. Waktu berjalan, tapi baginya, detik-detik itu seolah beku, mengikatnya dalam lingkaran rasa bersalah.

Setiap hembusan napas Aruna yang terengah membuat hatinya berguncang. Van der, seorang gubernur yang disegani, yang biasa menghadapi perang, keputusan politik, dan ancaman dari segala arah, kini tak berdaya di hadapan seorang perempuan muda yang hanya terbaring sakit.

Ketika fajar mulai mengintip di ufuk timur, suara burung-burung yang berkicau terdengar sayup. Namun tak ada suka cita di dalam kamar itu. Para babu silih berganti menjaga Aruna, membawa air rebusan jahe, ramuan daun yang diracik sesuai petunjuk tabib, dan kain basah untuk menurunkan panas.

Mbok Sarni, yang paling dekat dengan Aruna, tak berhenti berdoa dalam hati. Ia berkali-kali menyeka air mata yang tak tertahan. Di matanya, Aruna bukan sekadar nyonya yang harus ia layani, tetapi bagai putri yang patut dilindungi.

"Ndoro gubernur," kata Mbok Sarni pelan suatu malam, saat Van der masih terjaga di kursinya. "Ndoro jangan salahkan diri terus-terusan. Kadang takdir memang membawa kita pada jalan yang tak kita kehendaki. Ndoro Aruna pasti akan baik-baik saja."

Van der mengangkat wajahnya, matanya merah karena kurang tidur. "Bagaimana aku bisa tidak menyalahkan diriku? Bila Aruna mengigau ingin pulang, itu artinya hatinya tidak pernah ada di sini. Dan siapa lagi yang merenggutnya dari rumah, kalau bukan aku?"

Mbok Sarni menunduk, tak bisa membantah. Ia tahu gubernur itu memang benar. Tapi ia juga tahu, di balik sikap dinginnya, Van der menyimpan rasa yang tulus untuk Aruna.

Hari berganti, namun panas di tubuh Aruna masih tinggi. Napasnya terkadang terdengar berat, terkadang lirih seolah akan menghilang kapan saja. Van der nyaris tak pernah keluar dari kamar, hanya sesekali menerima laporan penting di ruang kerja lalu kembali lagi, seakan takut kehilangan momen jika Aruna membuka mata.

Para babu saling berbisik. Mereka jarang sekali melihat gubernur setegar itu menunjukkan sisi rapuhnya. Seringkali mereka melihat Van der menunduk, memegang kening dengan kedua tangan, atau berdiri di dekat jendela dengan tatapan kosong, seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

Pada suatu malam, Van der tak lagi mampu menahan perasaan yang berkecamuk. Ia mendekat ke sisi ranjang, meraih tangan Aruna yang lemah

"Andaikan kau bisa mendengar, Aruna, bangunlah. Aku akan berikan apa pun yang kau inginkan. Buka matamu," pinta Van der yang lirih bagai doa.

Suara itu bergetar, patah di ujung kalimat. Penuh harap kalau perempuan yang selalu menemani waktunya, mendengarkan setiap keluhan, dan menjadi temannya mengobrol tentang hal yang tidak dapat orang lain sandingkan, agar segera sembuh.

Hari berikutnya, keadaan tak kunjung membaik. Tabib kembali datang, kali ini membawa ramuan yang lebih kuat. Ia menasihati agar Aruna dibiarkan beristirahat total, tanpa tekanan, tanpa kegaduhan.

"Bila dia terus terjebak dalam rasa takut, tubuhnya akan semakin rapuh. Yang dia butuhkan bukan hanya ramuan, tetapi juga ketenangan dan rasa aman," ujar tabib itu.

Kata-kata itu kembali menancap di hati Van der. Rasa aman. Kata sederhana, tapi begitu menyakitkan. Bagaimana Aruna bisa merasa aman, bila setiap malam ia menangis ingin pulang? Bila rumah yang ia tinggali bukanlah rumah pilihannya, melainkan paksaan?

Van der menutup wajahnya dengan tangan, menahan gejolak yang meledak dalam dada. Ia merasa seperti berdiri di tepi jurang, di antara cintanya pada Aruna dan rasa bersalah yang semakin menggerogoti.

Malam kembali turun. Hujan deras mengguyur Batavia, petir sesekali membelah langit. Suara gemuruh itu seakan menjadi latar dari gejolak batin Van der. Ia masih terjaga di samping Aruna, menatap wajah pucat yang belum juga menunjukkan tanda-tanda kesadaran.

Tangan Van der menggenggam jemari Aruna lebih erat, seakan berusaha menyalurkan kehangatan dari tubuhnya.

"Aruna, aku bersumpah, bila kau membuka mata, aku akan mendengarkanmu. Aku akan mendengar keinginanmu, bukan hanya keinginanku. Kau ingin pulang? Kau ingin bebas? Maka aku akan mengantarmu sendiri. Asal jangan tinggalkan aku selamanya," ucap Van der dalam rasa putus asa, takut kalau mata wanita yang terbaring di depannya ini tidak akan terbuka lagi.

Suara hujan menelan kata-katanya. Namun ia berharap, entah bagaimana, Aruna bisa mendengarnya di dalam alam bawah sadar.

1
Jelita S
Kita yg ngontrak ini diam z lh,,,
Archiemorarty: Jomblo gigit jari aja pokoknya mah 🤣
total 1 replies
Jelita S
aku jdi senyum2 sendiri 😍😍
Jelita S
ada jga kompeni yg baik seperti Gubernur satu ini,,,pantesan sampe skg msih banyak orang kita yg menikah sama Belanda kompeni penjajah😄😄😄
Archiemorarty: Van der Capellen aslinya di dunia nyata memang baik, sayang sma pribumi, sampe buatin sekolah khusus buat pribumi agar lebih maju. Sampe dikatain sma pejabat Belanda zaman itu kalau Van der terlalu lemah untuk seorang pemimpin hindia belanda /Grimace/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
cie cie yang mau MP jadi senyum" sendiri 🤣🤭😄
Archiemorarty: Hahahaha.... astaga /Facepalm/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
menjadi melow deh dan jadi baper sama perkataan nya Van Der 😍😭❤❤
Archiemorarty: waktunya romance dulu kita...abis itu panik...abis itu melow...abis itu...ehh..apa lagi ya /Slight/
total 1 replies
Jelita S
gantung z si Concon itu
Archiemorarty: Astaga 🤣
total 1 replies
Jelita S
adakah ramuan pencabut nyawa yg Aruna buat biar tak kasihkan sama si Concon gila itu😂
Archiemorarty: Tinggal cekokin gerusan aer gerusan biji apel aja, sianida alami itu /Slight/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
Van Der lucu banget
Archiemorarty: Hahaha /Facepalm/
total 3 replies
gaby
Tukang Fitnah niat mempermalukan tabib, harus di hukum yg mempermalukan jg. Dalam perang sekalipun, Dokter atau tenaga medis tdk boleh di serang.
Archiemorarty: Benar itu, aturan dari zaman dulu banget itu kalau tenaga medis nggak boleh diserang. emang dasar si buntelan itu aja yang dengki /Smug/
total 1 replies
Wulan Sari
semoga membela si Neng yah 🙂
Archiemorarty: Pastinya /Proud/
total 1 replies
gaby
Jeng jeng jeng, Kang Van der siap melawan badai demi membela Neng Aruna/Kiss//Kiss/
Archiemorarty: Sudah siap sedia /Chuckle/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
Akhirnya sang pujaan hati datang plisss selamat Aruna 😭😭😭😭
gaby
Aduuh Kang Van der kmanain?? Neng geulisnya di fitnah abis2an ko diem aja, kalo di tinggal kabur Aruna tau rasa kamu jomblo lg. Maria & suaminya mana neh, mreka kan berhutang nyawa sm Aruna, mana gratis lg alias ga dipungut bayaran. Sbg org belanda yg berpendidikan harus tau bakas budi. Jadilah saksi hidup kebaikan Aruna. Kalo ga ada Aruna km dah jadi Duda & kamu Maria pasti skrg dah jadi kunti kolonial/Grin//Grin/
Archiemorarty: Hahaha...sabar sabar /Facepalm/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
plisss up yang banyak
Archiemorarty: Hahaha...jari othor keriting nanti /Facepalm/
total 1 replies
Jelita S
dasar si bandot tua,,,tak kempesin perutnya baru tau rasa kamu kompeni Belanda
Archiemorarty: Hahaha...kempesin aja, rusuh dia soalnya /Facepalm/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
aduh bagaimana Aruna menangani fitnah tersebut
Archiemorarty: Hihihi...ditunggu besok ya /Chuckle/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
seru bangettt, ternyata Van deer romantis juga yaa kan jadi baperrr 😍😍😭😭😭
Archiemorarty: Bapak Gubernur kita diem diem bucin atuh /Chuckle/
total 1 replies
gaby
" Jangan panggil aq lagi dgn sebutan Tuan, tp panggilah dgn sebutan Akang". Asseeek/Facepalm//Facepalm/
Archiemorarty: Asyekkk
total 1 replies
gaby
Akhirnya rasà penasaranku terbayarkan. Smoga Maria & suaminya menyebarluaskan kehebatan & kebaikan Aruna, agar Aruna makin di hormati. Kalo Aruna dah pny alat medis, dia bisa jd dokter terkaya di Batavia, ga ada saingannya kalo urusan bedah. Kalo dah kaya Aruna bisa membeli para budak utk dia latih atau pekerjakan dgn upah layak. Ga sia2 Van der membujang sampe puluhan tahun, ternyata nunggu jodohnya lahir/Grin//Grin/
Archiemorarty: Hahaha...membujang demi doi dateng ya/Proud/
total 1 replies
gaby
Babnya lompat atau gmn thor?? Kayanya kmrn babnya tentang Aruna yg menolong wanita belanda yg namanya Maria, apa kabarnya Maria?? Bagaimana reaksi publik ketika melihat Aruna menyelamatkan pasien sesak napas di tengah2 keramaian pasar. Dan bagaimana respon warga kolonial ketika mendengar kesaksian dr suami Maria yg jd saksi kehebatan Aruna. Ko seolah2 bab kmrn terpotong
Archiemorarty: owalah iya, salah update aku...astaga. maapkan othor... update lagi ngantuk ini. ku ubah ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!