Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malaikat Baik Hati
Di dalam kamar, Mulia melempar tasnya ke atas ranjang. Ia duduk di sana, memandang pantulan dirinya di cermin. Wajahnya terlihat lelah, matanya bengkak. Ia meraba pipinya yang masih terasa perih, bekas tamparan Bu Hanim dan Soraya. Air matanya kembali mengalir.
Ia ingat semua hal yang terjadi. Kata-kata kasar Ratih, bisik-bisik karyawan lain, dan tatapan penuh kebencian dari istri dan ibu direktur. Dan yang paling menyakitkan, ia harus meninggalkan perusahaan yang sudah ia cintai. Impiannya hancur. Mulia tidak sanggup. Ia tidak sanggup mengatakan semua ini kepada ibunya. Ibunya terlalu baik, terlalu lembut, untuk menanggung beban sebesar ini.
Setelah mandi, Mulia keluar dari kamar dengan wajah yang lebih segar, meskipun masih ada bayangan kesedihan di matanya. Ia duduk di meja makan bersama ibunya.
"Bagaimana presentasimu kemarin, Nak?" tanya Dewi. "Kamu berhasil?"
"Berhasil, Bu. Proposalnya diterima," jawab Mulia, mencoba tersenyum. "Bapak Wibowo suka sekali."
Dewi tersenyum lebar. "Syukurlah. Ibu bangga padamu, Nak. Kerja kerasmu terbayar."
Mulia mengangguk, mencoba menahan air mata yang ingin keluar. Ia merasa bersalah. Ia berbohong kepada ibunya.
"Lalu, kenapa kamu terlihat tidak bahagia?" tanya Dewi, matanya menatap Mulia lekat.
"Tidak, Bu. Aku bahagia," jawab Mulia. "Aku hanya... sedikit khawatir dengan proyek baruku ini. Proyeknya besar sekali."
"Kamu jangan khawatir. Ibu percaya padamu. Kamu pasti bisa melaluinya," kata Dewi, mengusap punggung Mulia. "Kamu sudah besar sekarang, Mulia. Kamu sudah bisa mengambil keputusan sendiri. Apapun yang terjadi, Ibu akan selalu mendukungmu."
Mulia tidak bisa menahan dirinya lagi. Ia memeluk ibunya erat. "Terima kasih, Bu. Terima kasih sudah percaya padaku."
Dewi membalas pelukan putrinya. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya tahu, Mulia membutuhkan kekuatannya. Mulia menangis dalam pelukan ibunya. Ia menangis karena ia merasa hancur. Ia menangis karena ia merasa bersalah. Dan ia menangis karena ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya.
Malam itu, Mulia tidak bisa tidur. Pikirannya melayang ke mana-mana. Ia memikirkan masa depan. Bagaimana ia akan mendapatkan pekerjaan baru? Bagaimana ia akan menjelaskan apa yang terjadi? Bagaimana ia akan bangkit dari semua ini?
Di dalam kegelapan, Mulia bersumpah pada dirinya sendiri. Ia tidak akan membiarkan semua ini menghancurkannya. Ia akan bangkit, ia akan berjuang, dan ia akan membuktikan pada semua orang yang merendahkannya, bahwa mereka salah. Ia akan menjadi Mulia Anggraeni yang baru. Mulia yang lebih kuat, lebih tangguh, dan lebih berani.
****
Pagi itu, Mulia Anggraeni bangun dengan hati yang berat. Malam tanpa tidur membuatnya merasa lelah. Namun, ia tidak punya pilihan. Ia harus bangkit dan mencari pekerjaan baru. Saat ia sedang bersiap-siap, ia mendengar suara batuk yang keras dari kamar ibunya. Mulia bergegas ke sana.
"Ibu, kenapa?" tanyanya cemas.
Dewi memegang dadanya. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya. "Sesak, Mulia. Ibu... sesak," suaranya parau.
Mulia panik. Ia tahu, penyakit jantung ibunya kambuh. Tanpa membuang waktu, Mulia menggendong ibunya, lalu membawanya ke mobil. Ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan Jakarta yang masih sepi. Jantungnya berdebar kencang, takut terjadi sesuatu pada ibunya.
Setibanya di rumah sakit, Mulia langsung membawa ibunya ke ruang gawat darurat. Dokter dan perawat langsung sigap menangani Dewi. Mulia duduk di ruang tunggu, tangannya gemetar.
Setelah beberapa saat, seorang perawat menghampirinya. "Keluarga Ibu Dewi?"
Mulia berdiri. "Ya, saya anaknya."
"Ibu Dewi harus segera mendapatkan perawatan intensif, Nona. Ada beberapa tes yang harus dilakukan, dan biayanya lumayan besar."
Mulia mengangguk. Ia tahu, penyakit ibunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ia mengeluarkan kartu asuransi ibunya. "Ini, Sus. Kami pakai asuransi ini."
Perawat itu memasukkan kartu asuransi itu ke mesin. Tiba-tiba, lampu merah berkedip. "Maaf, Nona. Asuransi ini tidak bisa digunakan. Statusnya sudah dibekukan."
Mulia terkejut. "Dibekukan? Bagaimana bisa? Setiap bulan kami selalu membayar."
"Mungkin ada masalah dengan pembayaran, Nona. Anda bisa menghubungi pihak asuransi untuk menanyakan masalah ini," jelas perawat itu.
Mulia kebingungan. Pikirannya kosong. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Di saat seperti ini, ia tidak punya uang sebanyak itu. Mulia merogoh tasnya, mencari-cari, berharap ada uang yang tersisa. Tapi nihil. Ia tidak punya apa-apa.
Air mata Mulia menetes. Ia merasa begitu tidak berdaya. Ia merasa, ia sudah gagal. Gagal menjaga ibunya. Gagal memberikan yang terbaik untuk ibunya.
Di tengah kebingungan itu, sebuah suara menyapa. "Mulia?"
****
Mulia mendongak. Di sana, berdiri seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah. Wanita itu adalah Kartika, teman lama ibunya.
"Tante Kartika?" Mulia mengucap, terkejut. "Tante sedang apa di sini?"
"Tante sedang menjenguk teman, Nak," jawab Kartika. "Kenapa kamu di sini? Dan kenapa kamu menangis?"
Mulia menceritakan semua yang terjadi. Tentang penyakit ibunya, tentang asuransi yang dibekukan, dan tentang uang yang tidak ia miliki.
Kartika mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia memeluk Mulia. "Tidak apa-apa, Nak. Tante akan membantumu. Berapa biayanya?"
Mulia menatap Kartika. "Tapi, Tante..."
"Jangan menolak," kata Kartika. "Ibu Dewi itu sudah seperti saudaraku sendiri. Aku tidak akan membiarkannya kenapa-kenapa. Berapa biayanya?"
Mulia terharu. Ia mengatakan biaya yang harus dibayarkan. Kartika langsung mengurus semuanya, berbicara dengan perawat dan menggesekkan kartu kreditnya. Mulia hanya bisa melihat dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak bisa berkata apa-apa.
Setelah semuanya selesai, Kartika kembali ke sisi Mulia. "Sudah selesai. Sekarang kamu bisa tenang. Ibumu akan baik-baik saja."
"Tante... aku tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan Tante," ucap Mulia, suaranya bergetar.
Kartika tersenyum. "Tidak perlu dibalas, Nak. Anggap saja ini sebagai pinjaman. Nanti kalau kamu sudah punya uang, kamu bisa membayarnya. Yang terpenting sekarang, kamu fokus pada kesehatan ibumu."
Mulia memeluk Kartika erat. "Terima kasih banyak, Tante. Terima kasih."
Mulia merasa sedikit lega. Setidaknya, ibunya sudah ditangani. Namun, ia tahu, masalahnya belum selesai. Ia harus mencari tahu mengapa asuransi ibunya dibekukan. Ia juga harus mencari pekerjaan. Ia tidak bisa terus-menerus bergantung pada orang lain. Mulia berjanji pada dirinya sendiri, ia akan bangkit, ia akan berjuang, dan ia akan membalas semua kebaikan orang-orang yang telah membantunya.
****
Kantin rumah sakit sore itu terasa begitu hening, berbeda dengan kebisingan yang biasa Mulia Anggraeni rasakan di kantor. Ia duduk di salah satu bangku, ditemani Kartika, teman ibunya yang baru saja menolongnya. Aroma kopi dan roti panggang yang biasanya menenangkan, kini terasa hambar di lidah Mulia. Operasi Dewi, ibunya, berjalan lancar. Tapi beban lain di pundak Mulia tak kunjung hilang.
"Kamu jangan terlalu banyak pikiran, Nak," kata Kartika lembut, mengusap punggung Mulia. "Ibumu sudah baik-baik saja. Sekarang giliran kamu yang harus kuat."
Mulia menghela napas. "Terima kasih banyak, Tante Kartika. Saya tidak tahu harus bagaimana kalau Tante tidak ada."
"Tidak apa-apa, Nak. Itu sudah kewajiban tante sebagai teman ibumu," jawab Kartika, tersenyum. "Tapi... tante juga ingin tahu. Kenapa asuransi ibumu bisa dibekukan? Apa yang sebenarnya terjadi di kantormu?"
Mulia terdiam sejenak. Ia tidak ingin menceritakan semuanya, tapi ia juga merasa tidak adil jika Kartika hanya tahu separuh cerita. Dengan suara pelan, Mulia menceritakan semua yang terjadi. Mulai dari presentasinya, niat kotor Pak Wibowo, hingga fitnah yang dilontarkan Bu Hanim dan Soraya yang berujung pada pemecatannya.
Kartika mendengarkan dengan serius. Wajahnya yang semula ramah, kini berubah tegang. "Jadi... kamu dipecat karena difitnah?"