sebuah cerita sederhana seorang melati wanita sebatang kara yang memilih menjadi janda ketimbang mempertahankan rumah tangga.
jangan lupa like dan komentar
salam autor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jm 15
Teriakan Ibu Mega di luar rumah terus melengking.
Badannya lelah gara-gara Melati.
Melati tidak ada, akhirnya ia dan Arga yang membersihkan rumah Risma: menyapu lantai, menggulung karpet, membersihkan sampah bekas berkat dan makanan ringan, serta merapikan kembali kursi.
Kartika hanya diam saja. Indera malah asyik mengobrol dengan Anton, suami Risma.
Pinggang Ibu Mega terasa patah demi menghindari amarah Risma. Untung saja Risma memberi uang cukup banyak, sehingga sedikit menghibur.
Namun, kemarahan belum reda.
Melati adalah sosok yang harus disalahkan. Karena Melati miskin dan berpendidikan rendah.
“Melati!” teriaknya kembali menggema.
Arga memegang pundak ibunya.
“Berisik, Bu. Sudah malam.”
Arga mengambil kunci cadangan yang disembunyikan di bawah pot bunga. Ia memang punya kunci cadangan karena akhir-akhir ini sering pulang malam—bukan untuk lembur kerja, melainkan untuk berselingkuh dengan Mawar, cinta masa lalunya yang kini sudah menjadi janda.
Ceklek!
Pintu terbuka.
Ibu Mega masuk dengan napas sesak.
“Melati!” teriaknya, sedangkan ruang tamu masih gelap.
Arga menyalakan lampu. Amarah Ibu Mega semakin memuncak.
Begitu lampu menyala, terlihat Melati sedang duduk di sofa, menyilangkan kaki dan bersedekap.
“Melati!” teriak Ibu Mega.
Tak ada jawaban dari Melati. Hal itu membuat amarah Ibu Mega semakin menjadi. Ia melayangkan tamparan ke arah Melati.
Namun, tangannya ditahan Melati.
“Ayah dan ibuku tidak pernah menamparku. Jangan coba-coba melakukan itu, atau kupatahkan tangan rapuh ini.” Nadanya dingin.
Suasana mendadak hening.
“Melati!” bentak Arga.
Melati menoleh sekilas, lalu menghempaskan tangan Ibu Mega.
“Kenapa kamu?” tanya Arga heran.
“Masih tanya kenapa? Tentu saja aku mau cerai.”
Mata Arga membulat. Kesal, marah, dan bingung bercampur jadi satu.
Tiba-tiba Kartika tertawa terbahak-bahak.
“Kamu mau cerai sama Arga?” ucapnya sinis. “Bisa apa kamu tanpa Arga? Orang tuamu sudah meninggal, kamu hanya lulusan SMP.”
“Diamlah.” Sela Melati, dingin.
Ibu Mega memegang pinggangnya yang nyeri, dadanya masih sesak.
“Baguslah, memang itu yang kuharapkan. Selama ini kamu hanya bikin malu keluarga saja. Mulai hari ini statusmu bukan istri Arga, tapi pembantu di rumah ini!”
Ibu Mega memegangi tangannya yang masih terasa sakit sehabis dicengkeram Melati.
Melati menghela napas berat. “Aku tidak bertanya padamu,” nadanya dingin, tenang, dan tak lagi peduli pada sopan santun terhadap ibu mertuanya.
“Kurang ajar kamu!” bentak Ibu Mega. “Memang begini kalau orang tidak sekolah tinggi. Tidak punya adab!”
Melati tidak menggubris ucapan Ibu Mega. Pandangannya tertuju pada Arga.
“Ceraikan aku sekarang.”
“Melati, bahkan Mawar bersedia dipoligami. Kenapa kamu malah mau bercerai?”
“Aku bukan Mawar, aku Melati. Aku tidak bisa berbagi suami.”
“Nah, begini kalau orang tidak sekolah. Mana tahu kalau poligami itu dibolehkan, bahkan dianjurkan,” Kartika kembali mencari celah untuk menghina Melati.
“Kenapa kamu berisik sekali? Aku bertanya pada Arga,” ucap Melati dingin.
Kartika mengepalkan tangan, ingin sekali marah, tapi ia harus menjaga wibawa di depan Arga.
“Melati, cerai itu dibenci Tuhan,” kata Arga mencoba menahan.
Melati menatapnya tajam. “Kamu pikir wanita yang bukan istrimu, yang kamu mesrai, tidak membuat Tuhan benci? Kamu pikir Tuhan tidak benci saat istri sah diperlakukan seperti pembantu? Kamu pikir Tuhan tidak marah ketika kamu berpoligami tanpa seizin istri sah? Kamu pikir Tuhan tidak benci pada pengkhianatan?”
Suara Melati lantang, penuh luka, namun juga penuh tekad. Malam itu, ia berdiri tegak dari duduknya.
Malam ini hanya ada satu hal yang ia inginkan: bercerai.
“Ceraikan dia, Arga!” perintah Ibu Mega lantang.
Arga terdiam. Baginya, Melati adalah sosok istri yang sempurna. Tidak pernah mengeluh, mau melewati masa sulit bersamanya, melayani dengan sepenuh hati, bahkan rela memakaikan dan membuka sepatu setiap kali ia pulang. Hanya satu yang dianggap kurang: Melati miskin dan tidak bersekolah tinggi. Selain itu, ia cantik, rajin, dan tidak pernah meninggalkan salat.
“Melati, aku janji akan adil... aku masih mencintaimu,” ucap Arga. Kata aku mencintaimu lolos begitu saja tanpa ia sadari, membuat Ibu Mega dan Kartika tertegun.
“Arga... Arga! Pantas saja hidupmu tidak pernah maju. Masih saja mempertahankan istri yang cuma bikin malu!” Indra ikut menyindir sinis.
Melati menghela napas panjang. Wajahnya tegas, sorot matanya tajam.
“Sudahlah, Arga. Selama ini kamu juga tidak adil. Kamu tidak pernah membelaku saat aku dihina, tidak pernah mendengarkan pendapatku, bahkan menafkahiku dengan sisa uangmu. Aku bertahan karena kupikir kamu setia. Tapi kali ini? Tidak! Aku tidak bisa lanjut.” Suaranya bergetar, tapi mantap. “Ceraikan aku, Arga!”
“Ceraikan dia segera, Arga! Tenang saja, aku tidak akan mengusir Melati. Dia masih bisa tinggal di rumah ini... tapi jadi pembantu, bukan istri!” Ibu Mega menambahkan, seolah itu keputusan terbaik.
Melati berdiri. Napasnya berat, hatinya penuh luka tapi juga kekuatan baru.
“Aku juga akan pergi dari sini. Tidak usah repot-repot mempertahankanku di rumah ini. Aku hanya menunggu satu kata darimu, Arga: cerai.”
“Enak saja kamu mau pergi begitu saja. Setahun kamu tinggal di rumah ini, makan dan tidur di sini. Kamu harus membayarnya dengan jadi pembantu. Tenang saja, aku akan memberi kamu gaji tiga ratus ribu sebulan, makan dua kali sehari!” ucap Ibu Mega, benci tapi puas. Dalam hatinya, ia tahu pekerjaan Melati tak pernah mengecewakan: rumah selalu tertata rapi. Hanya satu yang membuatnya malu—Melati tidak sekolah tinggi, berbeda dengan menantu lain di kompleks perumahan polisi yang kebanyakan sarjana.
Melati berdiri, wajahnya pucat tapi sorot matanya tajam. Bibirnya menyungging senyum getir.
“Kalau begitu, aku menuntut pembayaran atas keperawananku. Aku menuntut pembayaran setiap kali Arga meniduriku. Aku masih muda, sekali tidur tarifku sepuluh juta.”
“Dasar pelacur!” bentak Ibu Mega. Kata-kata itu menghantam dada Melati, membuat hatinya hancur.
Namun, Melati tak mau kalah. Dengan suara dingin ia membalas,
“Pelacur lebih mulia daripada mulut kotor sepertimu. Ibu sok alim, tapi berhati busuk, mempermainkan agama!”
“Melati!” suara Arga akhirnya menggema, sarat kemarahan. Tangannya terangkat, hendak menampar istrinya.
Namun secepat kilat Melati meraih gagang sapu di dekat sofa dan menahannya. Benturan keras terdengar.
“Kurang ajar kamu!” geram Arga. Tangannya terasa ngilu akibat benturan.
Mata Melati nyalang, penuh amarah dan tekad. Sapu masih tergenggam erat.
“Ceraikan aku. Sekarang!”
Arga menatap nyalang pada Melati. Ia menghembuskan napas berat, hatinya membara. Ia paling tidak terima ketika ibunya direndahkan.
“Baiklah... aku ceraikan kamu.”
Tidak ada tangisan, tidak ada kegelisahan. Melati justru tersenyum tipis, senyum yang membuat hati Arga terasa ngilu. Kenangan-kenangan indah tiba-tiba menyeruak—ulang tahun pernikahan pertama mereka di kontrakan sederhana, hanya ditemani sebatang lilin dan sepotong bolu kecil.
“Aku tidak mendengarnya,” ucap Melati datar.
“Aku ceraikan kamu.”
“Maaf, aku tidak dengar.”
“Aku ceraikan kamu! Dan pergi sekarang juga!” suara Arga meninggi, penuh amarah sekaligus luka.
“Bagus. Kamu sudah menceraikan aku tiga kali. Jadi jangan pernah berharap rujuk denganku lagi,” jawab Melati tegas.
Ia meraih koper lusuhnya, menyeretnya menuju pintu. Sebelum pergi, Melati menatap Arga sekilas—tatapan terakhir yang dingin, tanpa air mata. Lalu ia melangkah pergi begitu saja, meninggalkan ruang tamu yang mendadak terasa sunyi