Malam itu menjadi malam terburuk bagi Ranum. Sang kekasih tiba-tiba saja secara sepihak memutus jalinan asmara di saat ia tengah mengandung benih cintanya, diusir oleh sang ayah karena menanggung sebuah aib keluarga, dan juga diberhentikan dari tempatnya bekerja.
Ranum memilih untuk pergi dari kota kelahirannya. Ia bertemu dengan salah seorang pemilik warung remang-remang yang mana menjadi awal ia membenamkan diri masuk ke dalam kubangan nista dengan menjadi seorang pramuria. Sampai pada suatu masa, Ranum berjumpa dengan lelaki sholeh yang siapa sangka lelaki itu jatuh hati kepadanya.
Pantaskah seorang pramuria mendapatkan cinta suci dari seorang lelaki sholeh yang begitu sempurna? Lantas, apakah Ranum akan menerima lelaki sholeh itu di saat ia menyadari bahwa dirinya menyimpan jejak dosa dan nista? Dan bagaimana jadinya jika lelaki di masa lalu Ranum tiba-tiba hadir kembali untuk memperbaiki kesalahan yang pernah ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Jasmin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Terusir
PoV Ranum
Lelah menyusuri jalanan kota tanpa arah tujuan yang pasti memanduku untuk pulang ke rumah lagi. Sejauh apapun aku mencoba untuk menghindar, pada akhirnya kenyataan itu harus tetap aku hadapi. Aku harus pulang dan mencoba jujur mengakui di hadapan keluargaku akan apa yang telah terjadi.
Derai air mata itu masih terus mengalir menyusuri tiap sudut pipi. Memang benar apa kata orang jika penyesalan pasti datangnya belakangan dan penyesalan itu kali ini aku rasakan. Andai saja aku nurut apa kata bapak bahwa pacaran hanya akan membawa keburukan, andai saja aku bisa menolak rayuan Varen untuk melakukan hubungan badan sebelum menikah, andai saja aku tidak terperdaya akan ucapan manis mulut lelaki itu, ini semua pasti tidak akan terjadi. Ahhh.. Semakin sering aku berandai-andai maka hanya rasa sesal yang semakin merajai pikiran juga hati.
Aku menghela napas panjang dan aku buang dengan kasar sebelum memasuki halaman rumah. Kali ini benar-benar sudah aku persiapkan segala kemungkinan yang terjadi, termasuk kemungkinan paling buruk sekalipun. Jelas kemungkinan paling buruk yang akan aku dapatkan karena apa yang sudah aku lakukan adalah satu hal yang begitu nista. Mana ada satu hal yang nista berakhir dengan terhormat?
Aku menghentikan laju motorku di halaman rumah. Kulepas helm yang masih bertengger di kepala dan samar ku dengar...
"Dasar wanita jalang! Mati saja kamu daripada bikin malu keluarga!"
Aku berbalik badan. Kulihat bapak setengah berlari dari dalam rumah sembari membawa sebilah parang. Tubuhku terperanjat dengan mulut yang menganga lebar melihat wajah bapak yang sudah merah padam dipenuhi oleh api amarah.
Tubuhku seperti membeku tak tahu harus melakukan apa namun dengan cepat aku kembali berbalik badan dan ahhhhh.... aku berteriak kencang sesaat setelah kurasakan perih di bagian punggung mulai menjalar ke seluruh badan. Seketika tubuhku terhuyung dan tersungkur di atas tanah. Setelah itu pandanganku mulai gelap gulita dan tak tahu lagi apa yang tengah terjadi.
***
Aku mengerjapkan mata berupaya meraih kesadaran yang kupunya. Pandanganku mengedar ke sekeliling ruangan mencoba memahami di mana keberadaanku saat ini. Kulihat aku terbaring di atas ranjang yang tak biasa dengan tirai putih yang mengelilingi.
Kulihat ada cairan infus yang menggantung. Cairan itu menetes dan mengalir pelan melalui selang kecil yang terhubung langsung ke lengan tangan. Aku baru paham jika saat ini aku tengah terbaring di salah satu bangsal rumah sakit.
Aku melihat ke arah lengan tangan. Kulihat ibu tengah tertidur lelap di sana dengan menggenggam sebelah tanganku. Aku gerakkan jemariku untuk memberikan sinyal bahwa aku sudah terbangun.
"Ibu...," ucapku lirih.
Meski lirih namun sepertinya berhasil membuat ibu terbangun. Tubuh wanita yang melahirkanku ini menggeliat dan tak berselang lama, ia tersadar dari istirahatnya.
"Ranum..., Nak, kamu sudah sadar?" ucap Ibu sembari membenahi posisi duduknya.
"Ibu... Maaf.."
Tak ada kata yang pantas untuk aku ucapkan selain kata maaf. Mungkin seribu kali aku ucapkan tak akan sanggup menghapus rasa kecewa yang sudah aku torehkan di dasar jiwa kedua orang tuaku. Mereka yang sudah menggantungkan sebuah harap di atas pundak, dengan tega aku khianati itu. Dan sekarang yang tersisa hanya keping-keping kecewa yang berserak di dalam dada mereka.
"Nak, punggungmu apa masih sakit? Masih perih?"
Sedari tadi tak lagi aku pedulikan rasa perih akibat parang yang diayunkan oleh bapak yang berhasil menggores punggung. Rasa perih ini aku yakin tidak sebanding dengan kecewa yang orang tuaku rasakan. Bahkan mungkin sampai aku meregang nyawa pun tak akan mampu menghapus semua kecewa yang mereka rasa.
Aku menggeleng pelan. "Bu, aku minta maaf. Aku sudah mengecewakan Ibu, bapak dan juga Ranes. Aku sudah gagal menjaga amanah dari kalian."
Kulihat ibuku menggeleng pelan sembari mengusap air mataku yang kian deras mengalir membasahi wajah.
"Ibu sudah memaafkanmu Nak. Seburuk dan sefatal apapun kesalahanmu, akan selalu ada ruang maaf untukmu. Dan akan selalu ada rumah untukmu pulang."
"Tapi kesalahan dan dosaku terlampau besar, Bu. Aku tidak pantas untuk mendapatkan maaf itu."
"Ssstttt.. Sudah Nak, tak perlu lagi kamu bahas itu. Saat ini fokus pada kesembuhanmu. Pasti punggung kamu sakit sekali. Maafkan bapak ya Nak."
Aku tersenyum tipis. "Tidak Bu, ini pantas untuk aku dapatkan. Bahkan kalau bisa aku meregang nyawa di tangan bapak untuk menebus semua kesalahan dan dosaku."
"Sudah Nak, cukup. Saat ini kamu fokus pada kesembuhanmu dan setelah ini kita sama-sama perbaiki semua. Allah masih memberikan kesempatan kepadamu untuk hidup, itu artinya kamu masih punya kesempatan untuk memperbaiki hidupmu juga."
Ucapan ibu terdengar begitu menenangkan namun entah mengapa bagiku lebih baik mati daripada harus melihat bapak ibuku menanggung malu seumur hidup akibat ulahku sendiri yang membuatku hamil di luar nikah.
Aku menatap langit-langit bangsal ini dengan tatapan menerawang. Apakah mungkin bapak bisa memaafkan kesalahanku, mengingat kesalahan yang telah aku perbuat begitu besar? Siluet wajah bapak semalam yang dipenuhi oleh api amarah itu masih bermain-main di benakku. Rasa-rasanya tidak semudah itu beliau akan memaafkan.
***
Pov author
Erlangga mengeluarkan semua pakaian Ranum dari dalam almari. Tanpa membuang banyak waktu, lelaki paruh baya itu memasukkan semua pakaian sang anak ke dalam sebuah tas besar. Entah apa maksud dari itu semua.
"Bapak, kenapa Bapak memasukkan pakaian mbak Ranum ke dalam tas? Mau Bapak apakan baju-baju itu?"
Ranes yang kebetulan melintas di depan kamar Ranum begitu terkejut melihat sang bapak yang terlihat sibuk sendiri dengan baju-baju sang kakak. Gadis itu seakan memiliki firasat yang tidak baik.
"Bapak akan membuang baju-baju ini sekaligus orangnya. Bapak tidak sudi membiarkan orang kotor seperti anak itu berada di rumah ini!"
Ranes terhenyak. "M-maksud Bapak apa? Bukankah Bapak seharusnya ikut lega karena hari ini mbak Ranum boleh pulang. Kondisinya sudah pulih, Pak!"
"Justru dia sudah pulih jadi bisa segera pergi dari rumah ini. Bapak tidak sudi rumah ini ditinggali oleh wanita jalang seperti dia!"
"Pak? Apa Bapak tidak kasihan kepada mbak Ranum? Dia baru saja pulang dari rumah sakit Pak!" ucap Ranes berupaya menyadarkan sang bapak.
"Justru Bapak lebih kasihan sama kamu dan semua yang tinggal di rumah ini. Tidak akan ada keberkahan dan kebaikan untuk orang-orang di rumah ini jika masih ada seorang pendosa yang tinggal di sini."
"Tapi mbak Ranum masih berhak untuk bertaubat dan berbenah diri Pak. Dia masih punya kesempatan," ucap Ranes.
"Urusan taubat biar menjadi urusan orang itu sendiri. Yang pasti, dia sudah melempari Bapak dengan kotoran. Dan sampai kapanpun kotoran itu tidak akan pernah bisa terhapus," ucap Erlangga dengan menggebu-gebu seperti meluapkan emosinya.
"Tapi Pak...."
"Assalamualaikum..."
Perkataan Ranes terhenti ketika ia dengar suara seseorang mengucap salam. Ia yakin betul jika sang ibu dengan sang kakak sudah tiba di rumah.
Erlangga menoleh ke arah sumber suara. Senyum seringai muncul di bibirnya. Bergegas ia menenteng tas besar itu dan keluar dari kamar Ranum.
"Lekas pergi dari rumah ini dan jangan sekalipun kamu menampakkan wajahmu di hadapanku!" gertak Erlangga sembari melempar tas besar itu ke arah Ranum yang masih berdiri di depan teras.
.
.
.