Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Seseorang berlari ke dalam rumah dengan tergesa-gesa. Wulan melirik, kemudian mengambil tempat duduk di samping bapaknya yang masih pucat. Inilah yang dia tunggu-tunggu.
"Pertunjukan menarik akan segera dimulai," gumam Wulan seraya membentang sebuah kipas dan melambaikannya.
"Ada apa?" tanya Patma dengan cemas.
Asep beranjak perlahan untuk duduk sempurna dibantu Sari yang tengah mencemaskan dirinya.
"Itu ... anu ...." Pelayan laki-laki itu hendak menjawab, tapi ragu.
"Anu apa? Cepat katakan!" bentak Patma yang tak sabar untuk menunggu. Matanya melotot, tapi terlihat cemas.
"Ada rombongan tetua adat datang ke rumah ini, Den. Itu sekarang sudah masuk ke halaman," jawab pelayan laki-laki itu penuh dengan kebingungan.
Tetua adat turun gunung artinya ada masalah yang tidak sederhana terjadi di desa Munding. Termasuk fenomena uang khusus yang dibawa seorang penduduk ke hadapan sang tetua. Asep meringis saat mendengar suara derap langkah yang memasuki rumah.
Sesosok laki-laki tua berjanggut putih, mengenakan pakaian serba putih dan ikat kepala putih pula memasuki rumah Asep. Diiringi beberapa orang yang mengenakan pakaian serupa. Lalu, para penduduk yang melihat iring-iringan itu pun pada akhirnya memadati ruman panggung Asep.
"Salam, Nyai!" sapa sang tetua adat kepada Wulan yang duduk di kursinya.
Wulan berdiri dan berucap, "Salam, Ki!" Ia balas menyapa dengan sedikit membungkukkan tubuhnya.
Tetua itu duduk tanpa dipersilahkan, sementara sisanya berdiri berbaris sejajar. Asep menengadah, menatap semua orang tak percaya. Rumahnya kini dipadati oleh setengah penduduk dari desa Munding.
"Aki Barjah, a-ada apa ini, Ki?" tanya Asep terbata-bata sembari memegangi dadanya yang masih terasa sakit.
Wulan melirik, kemudian kembali duduk di kursinya menunggu pertunjukan.
"Kang Asep, saya tidak akan sembarangan mengambil keputusan. Saya hanya ingin bertanya kepada kamu mengenai uang khusus ini yang dibelanjakan oleh istri dan anakmu. Apa benar ini uang kamu? Atau kamu mencurinya dari orang lain?" tanya sang tetua adat sembari menunjukkan lima lembar uang kertas bernilai sepuluh ribu rupiah.
Tubuh Asep bergetar, keringat dingin bercucuran membasahi wajahnya. Lalu, berjatuhan ke seluruh tubuh. Habis sudah hidupnya. Ia tak tahu jika uang itu telah dibelanjakan dan sampai di tangan sang tetua adat.
"Sa-saya tidak tahu, Ki. Tanya istri saya saja," ujar Asep menunjuk Patma yang menundukkan kepala dalam-dalam.
Wanita itu tersentak, menoleh tak percaya pada suaminya. Tetua memalingkan wajah pada Patma, bertanya tanpa harus mengulangi pertanyaan.
"Sa-saya ... sa-saya dapat dari Sari, Ki," jawab Patma spontan menunjuk anaknya..
"Ibu!" Sari menjerit, tak percaya akan menjadi target ibunya.
"Sudahlah. Kamu bisa bilang itu dari teman kamu," bisik Patma tak ingin disalahkan.
Mata sang tetua berpindah menatap Sari yang gemetaran. Semua orang bisa melihat dengan jelas tangannya yang menyentuh lantai berkeringat dan bergetar.
"Wulan! Saya dapat dari Wulan. Tanya dia!" teriak Sari spontan menunjuk Wulan.
Bodoh!
Hampir semua orang mengumpat di dalam hati mendengar reaksi cepat dari Sari.
Prok-prok-prok!
"Wah, wah! Sungguh satu keluarga yang kompak dan harmonis. Kalian dengan mudahnya mencuci tangan setelah apa yang kalian lakukan. Saya sendiri tidak tahu dari mana saya mendapatkan uang sebanyak itu. Selama ini saya tinggal di gunung dan tidak mengenal rupiah sama sekali. Lalu, tiba-tiba memberikan uang kepada kalian dengan jumlah yang banyak. Bukankah ini lelucon? Kecuali ...." Wulan menjeda ucapannya, menghela napas dan menatap ke depan.
"Lanjutkan, Nyai!" pinta sang tetua adat menunggu kata selanjutnya dari Wulan.
"Maafkan saya, Ki. Di catatan hadiah yang dikirim juragan ada sejumlah uang dengan pecahan sepuluh ribu rupiah yang tidak dimiliki oleh semua orang. Sekarang uang itu hilang bersama barang-barang yang lainnya. Ini ...."
Wulan menunjukkan perhiasan yang baru saja ia rampas dari tubuh Patma dan Sari.
"Ini adalah sebagian hadiah dari juragan yang tertulis di dalam daftar dan ditemukan di tubuh mereka. Saya tidak tahu kapan hilangnya barang ini, ketika saya memeriksa tadi pagi beberapa barang telah hilang," ungkap Wulan membuat ketiga manusia serakah itu semakin tak memiliki tulang.
"Wulan, aku ini Bapakmu! Kenapa kamu tega sekali?" protes Asep melotot marah pada Wulan.
"Mana ada bapak yang membuang anaknya ke gunung saat kecil? Semua orang tahu, bapak itu seharusnya menjadi pelindung bagi anak-anaknya terutama anak perempuan. Apa yang saya ucapkan benar, 'kan, Ki?" Wulan tersenyum lembut pada Ki Barjah.
Laki-laki tua berjanggut itu manggut-manggut membenarkan. Ia menelisik uang di tangannya, dan menghela napas dalam-dalam.
"Uang ini diserahkan juragan kepada saya sebelum diberikan kepada Nyai Wulan. Apakah Nyai Wulan yang memberikannya kepada mereka?" tanya Ki Barjah disambut anggukan kepala oleh Sari dan Patma, padahal Ki Barjah tidak melihat mereka sama sekali.
"Maafkan saya, Ki. Uang ini saya belum melihatnya dan belum memastikan berapa jumlahnya. Bi Sumi dan kang Sumar yang tahu, dan lagi saya tidak memberikan uang itu kepada mereka. Saya pikir saya tidak punya uang, hanya tahu hadiah-hadiah yang diberikan juragan dan sebagiannya telah hilang," tutur Wulan membuat keributan di antara penduduk desa yang ikut menyaksikan.
"Jadi mereka mencurinya!"
"Panjang tangan!"
Umpatan demi umpatan terdengar dari mulut para penduduk yang ada di sana. Ketiga orang itu semakin ketakutan.
"Benar begitu, Kang Asep? Kamu membiarkan istri dan anak kamu mencuri milik orang lain?" ketus Ki Barjah menatap jengah pada Asep.
"Ampun, Ki! Ampuni saya karena tidak becus mendidik anak dan istri saya. Ampuni saya, Ki!" ucap Asep memohon.
"Tapi sebagai tetua adat saya harus memutuskan dengan adil," ujar laki-laki tua itu bijaksana.
"Ampun! Ampuni kami, Wulan! Kami tahu kami salah!"
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa