Enam bulan pernikahan Anindia, badai besar datang menerpa biduk rumah tangganya. Kakak sang suami meninggalkan wasiat sebelum meninggal. Wasiat untuk menjaga anak dan juga istrinya dengan baik. Karena istri dari kakak sang suami adalah menantu kesayangan keluarga suaminya, wasiat itu mereka artikan dengan cara untuk menikahkan suami Nindi dengan si kakak ipar.
Apa yang akan terjadi dengan rumah tangga Nindi karena wasiat ini? Akankah Nindi rela membiarkan suaminya menikah lagi karena wasiat tersebut? Atau, malah memilih untuk melepaskan si suami? Ayok! Ikuti kisah Nindi di sini. Di, Wasiat yang Menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#22
"Aku anak tunggal di keluargaku, Nin. Semua tanggung jawab perusahaan, orang tuaku limpahkan dipundak ku."
"Aku tidak tertarik dengan bisnis keluarga, karena aku merasa, berbisnis itu membosankan."
"Aku lebih suka dengan perkebunan. Tamanan yang tumbuh dengan baik secara perlahan adalah hal yang paling membahagiakan buat aku. Setiap pertumbuhan dari tanaman itu membawa kebahagiaan tersendiri bagi hatiku. Tapi sayangnya, karena aku anak satu-satunya, aku tidak bisa bebas untuk menikmati apa yang aku suka. Aku merasa, aku seperti tidak punya kuasa dalam menentukan kebahagiaan untuk hidupku sendiri, Anindia."
Setelah Sadan menoleh usai bicara, Nindi pun langsung menggelengkan kepala sambil tersenyum. Senyuman yang sangat manis bagi Sadan. Yang cukup mampu meringankan beban berat yang ada dalam hatinya.
"Sadan, siapa bilang kamu tidak punya kuasa untuk menentukan kebahagiaan? Kamu punya kok kuasa untuk membuat dirimu bahagia."
"Caranya?" Sadan berucap dengan wajah serius sambil terus memperhatikan wajah indah milik Nindi yang seolah tidak ingin hilang sedikitpun dari pandangan matanya.
"Caranya adalah ... dengan kamu harus bisa berdamai dengan tanggung jawab yang sedang kamu emban."
"Maksudnya? Sungguh, aku masih kurang memahami apa yang baru saja kamu sampaikan." Sadan berucap dengan wajah polos. Tetap saja, pandangannya tidak sedikitpun teralihkan dari wajah Nindi.
Nindi kembali tersenyum. Kali ini, senyum yang lebih lebar dari yang sebelumnya. Sedikit terbuka sampai gigi-gigi putih yang ia miliki bisa Sadan lihat. Lalu, hati Sadan pun semakin tercuri oleh senyum manis yang matanya lihat.
'Ya Tuhan. Indah sekali." Sadan berucap dalam hati. Penjelasan yang Nindi katakan pun langsung lenyap karena fokusnya malah sepenuhnya teralihkan pada senyum manis milik Nindi.
Walau senyum itu terkesan singkat, tapi sangat mampu membuat pikiran Sadan melayang jauh ke atas awan. Lalu, terjatuh ke lautan bunga yang sangat harum dan menyegarkan.
"Sadan." Nindi berucap sambil mengibaskan tangan di depan Sadan.
Sayangnya, yang dipanggil malah masih tetap asik dengan lamunan indah karena senyuman manis milik Nindi. Sadan masih terhanyut dalam lamunan walau Nindi sudah bicara panjang lebar sebelumnya.
"Sadan!"
"Sadan Huda!"
"Mas Sadan Huda! Sadarlah!"
"Ah, iya. Ma-- maaf. Aku ... sedang mendengarkan apa yang kamu katakan."
"Mendengarkan? Kamu yakin?"
"Iy-- iya. Tentu saja. Tentu aku .... " Sadan pun langsung nyengir kuda. Senyum tidak enak karena dia baru sadar dengan apa yang baru saja ia lakukan. "He ... aku, maaf. Aku sibuk dengan pikiran ku sendiri. Jadinya, aku, tidak tahu apa yang baru saja kamu katakan."
Dengan wajah bersalah dan juga penuh harap, Sadan pun memohon untuk Nindi mengulang sekali lagi apa yang sudah dia katakan sebelumnya. Tentu saja Nindi langsung menolak permohonan itu. Tak lupa, wajah kesal dia perlihatkan.
"Nona. Tolonglah, maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja. Tolong, ulangi satu kali saja lagi. Ku mohon, nona Anindia."
"Tidak. Aku sudah susah payah bicara, kamu malah melamun. Jadi, itu adalah kesalahan dirimu sendiri. Aku tidak akan mengulangi lagi apa yang sebelumnya aku katakan."
Sadan semakin berulah. Sikap kekanak-kanakannya langsung muncul. Dia memohon dengan sangat lucu. Tak ubah anak kecil yang meminta dibelikan apa yang dia inginkan pada kedua orang tuanya.
"Nona. Ku mohon. Ucapkan lagi."
"Tidak."
"Ayolah! Ku mohon."
"Gak."
"Ibu guru. Katakanlah. Ajari aku. Ku mohon."
"Eh ... kamu bercanda?"
"Tentu saja tidak. Aku akan terus memohon sampai kamu mengatakan apa yang harus aku lakukan. Jika tidak, aku akan tetap di sini hingga sore nanti."
"Hah? Ya ... terserah kamu kalo gitu. Aku gak akan mempermasalahkan apapun yang ingin kamu lakukan."
"Lho? Kamu kok tega sama aku. Nindi, kok gitu sih? Aku sedih ini lho .... "
"Ya ... terserah kamu."
"Anin-- "
Dering ponsel milik Sadan mengalihkan perhatian mereka berdua. Sadan yang sudah tahu siapa yang sedang menghubungi dirinya, mengeluarkan ponsel miliknya dengan malas.
Benar saja. Nama sang mama tertera di layar ponsel tersebut. Dengan malas, pria itu menjawab panggilan dari mamanya.
"Iya, M-- "
"Sadan! Di mana kamu? Kok masih belum tiba di kantor? Papa kamu sudah menghubungi mama, dia mengatakan kalau kamu masih belum tiba. Kamu mau bohongin mama, Sadan?"
"Aku tidak bohong. Sedang dalam perjalanan, Ma. Sebentar lagi tiba. Ya sudah, aku akhiri panggilannya. Mama tidak perlu cemas," ucapnya dengan malas.
Tanpa basa-basi lagi, tanpa pula menunggu sang mama menjawab apa yang ia katakan, Sadan Huda langsung memutuskan sambungan telepon dari mamanya. Hembusan napas berat langsung dia lepaskan.
"Heh .... "
Pria itu lalu menoleh ke arah samping, di mana Nindi masih berdiri tegap dengan mata yang menatap lekat padanya. "Aku harus pergi. Jika ada waktu, kita bicara lagi ya."
Sadan beranjak setelah melepas senyum manis yang menawan. Menampakkan dua gigi ginsul miliknya yang indah.
"Kamu berutang ulangan kata padaku. Nanti, akan aku tagih utang itu secepatnya. Sampai jumpa lagi, Nona."
"Pak Roslan. Aku pergi dulu." Dia sempatkan diri berpamitan pada ayah Nindi walau sambil berjalan menjauh.
Setelah kepergian Sadan, Nindi beranjak mendekati ayahnya yang masih sibuk dengan tanaman hias. Nindi menatap ayahnya sesaat, setelah itu, barulah dia berucap.
"Ayah. Apakah pria itu sifatnya memang agak aneh begitu?"
Mendapat pertanyaan dari putrinya, Pak Roslan langsung menoleh. Dia alihkan pandangannya dari tanaman hias yang ada di depan matanya.
"Aneh? Maksudnya?"
"Ya ... ya aneh. Bersikap ceria, kekanak-kanakan, juga, gimana gitu ya? Pokoknya, gak kek pria dewasa pada umumnya lah gitu, Yah."
Pak Roslan tersenyum. "Hm. Iya. Nak Sadan memang begitu adanya, Anin. Beberapa bulan ayah kenal dia, anak itu cukup asik. Cukup baik pula dengan sikap apa adanya itu. Dia pria yang ingin jadi dirinya sendiri. Yah ... walau terkadang, dia lebih terlihat konyol karena tingkahnya yang seperti anak-anak. Tapi ayah lebih suka sikap yang seperti itu jika berhubungan dengan orang. Karena yang seperti ini lebih menyenangkan dari pada yang berpura-pura asik padahal kenyataannya tidak sama sekali. Terlihat baik hanya pencitraan saja. Padahal aslinya, malah busuk tak tertolong."
Nindi terdiam. Ucapan ayahnya seolah tertuju pada seseorang. Meskipun orang tua itu tidak mengatakan secara langsung sedang membicarakan orang tersebut, tapi Nindi bisa memahami ke mana arah tujuan dari pembicaraan itu.
Ayahnya memang tidak pernah suka dengan Afi. Bukan karena fisik, tapi lebih ke tingkah Afi yang berusaha agar di terima oleh orang tua tersebut. Afi berusaha memperlihatkan kebaikannya pada ayah Nindi. Tapi, kebaikan itu terlihat tidak cukup tulus bagi orang tua ini. Maklum, jika sudah tidak suka. Maka akan ada banyak celah untuk terlihat tidak baik. Begitu pula sebaliknya.
anak selingkuhan desy..
kmu pasti bisa melewatix ,ad x
dukungan ayah mu nin...
sdh gk layak dipertahan kan rmh tangga mu nin...
tinggalkan afi .sdh gk ad yg pantas
pertahan kan ,jangan paksakan untuk
melewati kerikil2 itu ...
semoga pd menyesal ntt x setelah pisah sma nindi...biar tau rasa
itu karma mu.desi enak kan, dah rahim rusak gk bisa punya anak pelakor lagi. iuhh amit amit.
mnikah diatas derita wanita lain kok mau bhgia, nyadar lah kau itu pelakor.