Hari yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan Eireen justru berubah menjadi neraka. Dipelaminan, di depan semua mata, ia dicampakkan oleh pria yang selama ini ia dukung seorang jaksa yang dulu ia temani berjuang dari nol. Pengkhianatan itu datang bersama perempuan yang ia anggap kakak sendiri.
Eireen tidak hanya kehilangan cinta, tapi juga harga diri. Namun, dari kehancuran itu lahirlah tekad baru: ia akan membalas semua luka, dengan cara yang paling kejam dan elegan.
Takdir membawanya pada Xavion Leonard Alistair, pewaris keluarga mafia paling disegani.
Pria itu tidak percaya pada cinta, namun di balik tatapan tajamnya, ia melihat api balas dendam yang sama seperti milik Eireen.
Eireen mendekatinya dengan satu tujuan membuktikan bahwa dirinya tidak hanya bisa bangkit, tetapi juga dimahkotai lebih tinggi dari siapa pun yang pernah merendahkannya.
Namun semakin dalam ia terjerat, semakin sulit ia membedakan antara balas dendam, ambisi dan cinta.
Mampukah Eireen melewati ini semua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eireyynezkim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anak Buangan
'Sial, kenapa pula aku merasa bersalah begini? Harusnya kan enak, tenang kalau dia diam?' batin Xav kesal kepada dirinya sendiri.
Ia biarkan suasana itu. Namun, saat sudah tidak tahan lagi, ia marah. "Makan... kalau tidak buang saja keluar!"
Eireen diam, hanya memegangi kotak bentonya. Xav yang mengomal dalam hati. 'Jangan-jangan, dia sengaja membuatku merasa bersalah untuk memancingku, biar terlihat peduli padanya begitu? Percaya diri sekali dia, kelaparan pun bukan urusanku!'
Sayang, bagaimanapun ia mencoba menipu diri, tidak mempan sama sekali. Ia tetap peduli.
Saat ia putuskan akan menyuruh Eireen makan lagi, tiba-tiba saja suara gadis itu terdengar. "Kau tahu?"
Xav pun tidak jadi bicara, menunggu, mendengarkan seksama dengan telinga, walau ekspresinya tampak datar saja, pun tidak menoleh juga.
"Dari kecil, orang-orang selalu menghinaku sebagai anak buangan. Dan aku selalu marah, marah besar, sampai memukul siapapun yang mengatakan itu kepadaku. Pernah, seorang guru menggunjingku begitu juga dulu. Tapi, aku tidak pernah pandang bulu. Kulampiaskan kemarahanku padanya juga, sampai-sampai aku dipindah sekolah oleh Paman Savero, sebelum pihak sekolah mengeluarkanku."
Xav tetap diam, mendengarkan. Ia tidak terlalu mengerti, rasanya jadi Eireen. Dari dulu, ia hidup dengan ayah dan ibu lengkap, dengan kakek nenek dan saudara juga.
Ia tidak pernah dihina secara terang-terangan, kecuali oleh musuh dan beberapa kenalan, yang memang tidak bisa akur dengannya saja.
"Kau tahu? Sebenarnya, aku bukan marah karena hinaan mereka. Tapi, aku marah karena jauh di dalam lubuk hatiku, aku tidak bisa menyangkalnya. Nyatanya, orang tuaku, memang membuangku, seperti sampah tidak berguna, dihanyutkan begitu saja."
Perlahan, rasa frustasi dari nada suara Eireen mulai bisa laki-laki itu rasakan.
Ia pun akhirnya teringat dengan perkataannya tadi, yang marah dan mau membuang Eireen ke jalanan, karena tidak suka, gadis itu melakukan hal yang mengingatkannya kepada Aleysha si Pengkhianat.
Ia pun sadar, kemudian berceletuk, "Pembohong. Mana? Kau tidak memukulku sejak tadi?!"
Eireen tersenyum tipis. Ia senang, Xav bisa mengoreksi dirinya sendiri, dalam arti, apa yang ia katakan didengarkan, bahkan dipikirkan, bukan seperti kelihatannya, yang seolah tidak dipedulikan.
"Kau sepertinya punya alasan, kenapa sampai semarah tadi, mungkin trauma atau semacamnya. Lagipula, kau sudah menyelamatkanku, dua kali lagi, anggaplah, tidak kupukul, sebagai ganti satu penyelamatan itu," kata Eireen.
"Dua kali?" Xav keceplosan bertanya.
Eireen jadi semakin senang. "Ehm, kau menyelamatkanku dua kali. Satu di resepsi itu, dua di kapal tadi. Ah, bagimu mungkin tidak penting sandiwara di resepsi itu. Tapi, bagiku itu penyelamatan harga diri dan tanpamu, aku tidak akan bisa melakukan itu. Jujur saja, caramu membelaku di acara itu, adalah awal, aku mulai tertarik padamu."
"CK!" Xav berdecak kesal. 'Mulai lagi dia, menggombal!'
Seolah tahu apa yang dibatin laki-laki itu, Eireen berkata, "Tidak. Aku tidak sedang menggombal!"
Xav terkejut, menoleh ke arahnya, menatap penuh tanya. 'Bagaimana dia bisa tahu?'
"Apa lihat-lihat? Aku itu mau curhat, bisa tidak jangan terpesona dulu kepadaku?"
"Heh." Xav seketika mengalihkan pandangan. 'Siapa juga yang terpesona? Dengan gadis gila pula?'
Eireen tersenyum tipis melihat ekspresinya. Tangannya, memainkan sumpit, menatap bento di pangkuannya. "Tapi tetap saja, setiap kata membuangku terdengar, ada rasa marah seolah terpantik dalam diri, dan harus kurendam setengah mati. Makanya aku diam tadi."
"Kau tahu? Sejak kecil aku bertekad, agar tidak ada siapa-siapa yang akan membuangku lagi, seperti orang tuaku. Tapi, sialnya aku bertemu laki-laki kurang ajar itu. Sekarang... bodohnya aku jadi semakin ragu dan keras kepala bersamaan juga. Bisakah, aku bertemu orang yang tidak akan membuangku, entah sesulit apapun hidup denganku?"
Xav terus mendengarkan, walau tidak satu kata pun ia keluarkan dari bibirnya untuk memberi sahutan.
"Aku benci keraguan, makanya, satu sisi aku keras kepala juga. Bagiku, apapun dan bagaimanapun caranya, aku akan menemukan orang yang tidak akan pernah membuangku itu!" ucap Eireen kemudian terdiam sejenak, tangannya pun tidak memainkan umpat lagi.
Tatapan matanya agak kosong, seperti sedang membayangkan atau berangan-angan akan sesuatu.
Xav menimbang-nimbang, entah ia terpikir untuk memberi semangat. Tapi takut, jika gadis itu salah sangka, dan menjadikannya bahkan gombalan lagi, seperti biasanya. Ia diamkan sejenak, sambil berpikir. Merasa kasihan, mulutnya sudah terbuka, mau mengatakan sesuatu. Tapi, Eireen justru mengejutkannya dengan mengayunkan sumpit, dan membenturkannya tiba-tiba ke wadah bento di pangkuannya, hingga menimbulkan bunyi.
TEK!
"Tidak. Jangan mellow begini, tidak keren sama sekali!" ucapnya entah kepada siapa.
Alia Xav sampai mengernyit, meliriknya sekilas, dengan sorot mata penuh tanya.
Lantas, tiba-tiba, gadis itu mengarahkan sumpit ke wajahnya. "Kau... Ya. Kau... yang akan kujadikan orang itu. Pasti!"
"Maksud?"
"Ya kau... yang akan kujadikan orang yang tidak akan pernah membuangku itu!"
"Heh. Gadis gila, siapa pula yang mau denganmu, hah?!" Xav geleng-geleng kepala, benar-benar tidak habis pikir sama sekali.
Eireen mau menyahut, tapi perutnya bunyi lagi. KRUCUK KRUCUK!
"Astaga, kau benar-benar mempermalukanku, ya?" lirihnya, memarahi perutnya sendiri.
Xav melirik sekilas, Eireen melotot. "Apa lihat-lihat? Tidak pernah lihat orang kelaparan, hah?"
Laki-laki dingin itu tidak menjawab, justru mengalihkan pandangan sambil menggelengkan kepala. 'Memang gila. Lama-lama aku bisa gila, kalau terlalu lama dengannya!'
Eireen mulai makan, sambil-sambil terus bicara. "Aku sudah cerita panjang lebar dari tadi. Sekarang giliranmu!"
"Aku tidak pernah tanya!" ketus Xav, tanpa sadar, mulai bisa menanggapi Eireen dengan semestinya.
"Ya aku yang tanya kalau begitu. Kenapa tadi marah sebegitunya? Bahkan aku pegang tanganmu saja, kau masih bisa menahan marahmu, kan? Atau... kau pernah dikhianati orang yang menyuapimu sepertiku tadi?"
Xav menoleh seketika. Entah bagaimana gadis gila ini bisa tahu. 'Asal tebak, atau dia tahu sesuatu?'
Melihat ekspresi Xav, Eireen segera menyelesaikan kunyahannya.
Mulutnya sudah kosong, ia melirik tengil ke arah Xav. "Ah... benar ternyata? Astaga, kau yang setampan dan sekeran ini, dikhianati? Siapa? Bodoh perempuan itu, hmm?"
"Bukan urusanmu!" ketus Xav. Jangankan Eireen, ia sendiri saja masih belum tahu, kenapa perempuan yang sudah mau ia lamar untuk dinikahi itu justru mengkhianatinya.
"Hmm. Iya sih. Tunggu, jangan-jangan, kau menggila seperti sekarang, karena dia?" Lagi-lagi tebakan Eireen benar, Xav reflek lagi melirik sekilas.
"Astaga... benar? Eh, tunggu. Berarti, kalau kau mau ke tempat itu, untuk mencari tahu tentang pengkhianat itu, apa.. jangan-jangan, dia ada hubungannya denganku, begitu?"
"Heh. Kau bertanya seolah tidak tahu saja!"
"Ish, serius aku tidak tahu. Kalau aku tahu akan bertemu dengan saingan mendapatkan hatimu, ya aku jelas dandan tadi. Ck. Kau sih, tidak memberitahuku!" Eireen berusaha bergurau.
Mengingat, ia sendiri pun takut, kalau-kalau, memang masa lalunya, ada hubungannya dengan pengkhianat yang Xav cari.
Xav tidak menyahut. Ia saja belum tahu akan bagaimana, kalau sampai bertemu dengan perempuan itu lagi, setelah kejadian pilu yang hampir merenggut nyawanya sendiri.
Melihat ekspresi Xav, Eireen pun berkata, "Baiklah. Aku tidak akan membahasnya lagi. Lihat, aku peka, kan? Cocok denganmu yang tidak peka!"
Ia berusaha menghibur, sayang, laki-laki itu hanya diam.
"Setelah aku makan, tepikan mobilnya, biar aku yang mengemudi. Gantian, kau yang makan. Kau kan tidak mau disuapi?"
Xav tetap diam.
"CK. Dingin sekali. Ya sudahlah, pokoknya aku sudah bilang ya. Makan itu penting, biar tenaga ada. Jadi, entah kau mau membalas atau apa, kau bisa melakukannya dengan kekuatan penuh. Lagipula, kau kan masih punya keluarga. Beda denganku, yang mati kapan pun tidak masalah. Apapun itu, setidaknya, kau harus selamat demi mereka."
Xav jadi teringat perkataan ayahnya. "Berisik!" ketusnya, padahal ia senang, karena seperti sedang bersama ayahnya, karena perkataan Eireen tadi.
"Aku itu sedang berusaha menghiburmu tahu. Lagipula, makan enak begini itu bisa membuat bahagia. Makanya, kalau aku sedang senang, aku akan selalu makan banyak."
"Siapa?"
"Ak..."
"Yang tanya!" sela Xav mulai bisa bergurau, walau nadanya ketus.
Eireen tidak tahu gurauan laki-laki itu. Jadi, ia hanya melirik sinis. "Aku itu sedang mengenalkanmu, dengan semua hal tentangku. Biar terbiasa. Kau kan pendiam, mana tahu? Nanti kau susah, kalau mau merayuku, saat sudah cinta!"
"Heh. Sudah gila, terlalu percaya diri pula!"
Eireen terkekeh. "Harus itu. Kalau mau mengejar cinta orang sepertimu, aku memang harus gila dan percaya diri tingkat dewa. Kalau tidak ya, mana bisa?"
Xav terus mendengarkan semua perkataan Eireen yang tidak ada habisnya sepanjang perjalanan. Sampai gadis itu lelah sendiri. Bahkan, waktu pun sudah menunjukkan tengah malam tepat. Perjalanan mereka masih cukup lama, karena letak tempatnya cukup jauh, besok siang mungkin baru sampai.
Xav melirik ke samping, karena sunyi, sepi. Ternyata, gadis di sampingnya sudah tertidur pulas. Benar saja, setelah makan, Eireen memang hobi tidur.
Xav melihat jam di layar digital dekat kemudi. Ia perkirakan, kalau tetap mengemudikan mobil, maka mereka akan sampai dalam keadaan masih terang.
Xav berencana menyergap saat malam. Biar tidak terduga, karena lebih dari estimasi waktu, jika mereka akan menuju sana.
Akhirnya, laki-laki itu memilih jalanan hutan.
Ia sengaja mencari tempat sepi untuk menghentikan mobilnya, istirahat sejenak.
Ia mengambil kotak bento dan minuman miliknya, membawanya keluar, makan di atas jok depan mobilnya, sambil melihat langit penuh bintang di atas sana.
Suasana sangat sepi di sana, hanya suara hewan malam yang sesekali terdengar, bersama dengan angin sepoi-sepoi yang menerpa dahan.
Ia makan dengan tenang, sambil berpikir ini itu. 'Aneh, tumben Ayah tidak langsung menemukanku? Apa terjadi sesuatu?' batinnya risau.
Bahkan terakhir kali, Ayahnya selalu selangkah di belakangnya, sampai ia kewalahan menghilangkan jejak.
Xav terpikir banyak kemungkinan. Sampai, saat suapan terakhirnya, ia mendengar suara ranting terinjak.
Mata Xav sudah melirik ke arah kanan belakang, dimana sumber suara berasal. 'Siapa? Apa akhirnya ayah menemukanku?' batinnya sambil masih waspada.
Baginya, lebih mungkin ayahnya, yang bisa mengikutinya sampai tempat itu.
Xav pura-pura tidak tahu, menenggak minumannya, sambil menajamkan fungsi pendengarannya.
Namun, suara justru terdengar semakin menjauh. 'Tidak mungkin ayah, kalau begini. Siapa? Bagaimana bisa mengikuti sampai sini?'