Adaptasi dari kisah nyata sorang wanita yang begitu mencintai pasangannya. Menutupi segala keburukan pasangan dengan kebohongan. Dan tidak mau mendengar nasehat untuk kebaikan dirinya. Hingga cinta itu membuatnya buta. Menjerumuskan diri dan ketiga anak-anaknya dalam kehidupan yang menyengsarakan mereka.
Bersumber, dari salah satu sahabat yang memberi ijin dan menceritakan masalah kehidupannya sehingga novel ini tercipta untuk pembelajaran hidup bagi kaum wanita.
Simak kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Diskusi
Bab 14. Diskusi
POV Lola
Saat ini, aku dan Jemin sedang berada di rumahku. Hanya kami berdua disini. Setelah Airin pulang tadi, Jemin mengajak ku pergi. Ternyata, dia mengajak pulang ke rumah ini.
"Kamu benar hamil La?" Tanya Jemin memastikan.
Padahal dia tadi sudah jelas mendengar penjelasan Airin kok masih nanya.
"Iya." Jawabku singkat.
"Haaah!"
Jemin mendesah kasar sambil berkacak pinggang dan sebelah tangannya lagi menutup wajahnya. Ia kelihatan nggak senang dengan kehamilan ku ini.
"Kan sudah aku bilang hati-hati! Selama ini kamu nggak minum obat yang aku sarankan?!" Katanya lagi dengan sedikit penekanan.
"Aku minum. Tapi kemarin-kemarin aku lupa."
"Nggak mungkin kamu lupa baru kemarin saja! Pasti sejak bulan lalu kamu sudah nggak mau lagi dengerin omongan ku!"
Aku terdiam. Sebenarnya aku ingat tentang meminum obat yang dapat mencegah kehamilan. Tapi karena aku menyepelekan dengan nanti saja, dan akhirnya aku pun lupa meminumnya.
"Aku belum siap La. Aku kemarin dapat teguran karena telat. Aku sudah nggak betah kerja di hotel itu lagi." Keluh Jemin.
"Tapi aku udah hamil loh Yang... siap nggak siap, kamu harus siap."
"Gugurkan saja gimana?"
Apa?!
"Nggak! Kamu gila ya?! Aku nggak mau Yang. Pokoknya nggak mau?!"
"Kamu lihat! Ekonomi kita ini masih nggak cukup untuk diri kita sendiri. Gimana nanti ada anak?!"
Sampai kapan pun aku nggak akan gugurkan anak ini!
"Kata orang anak itu bawa rezeki. Aku nggak mau nambah dosa." Kataku mencoba memberi pencerahan pada Jemin.
"Halah! Percaya kamu yang begitu itu?!"
"Pasti ada jalan. Kita cari uang sama-sama buat besarkan anak kita." Ujar ku membujuknya.
"Dan menikahi mu berarti aku harus pindah agama?!"
"Iya. Tapi aku nggak menuntut kamu memperdalam agama ku kok."
"Jadi maksudnya hanya status di KTP?"
"Iya. Tetapi tetap, kamu harus mualaf dulu."
Ada beberapa yang seperti itu kan? Aku tahu ini tetap salah. Tapi dari pada nikah beda keyakinan, apalagi aku yang harus pindah agama, lebih baik begini kan?
Jemin tampak berpikir.
"Aku mau berhenti bekerja dari hotel. Kalau aku nggak dapat kerja, jual saja motor mu untuk modal usaha nanti. Kan masih ada motor ku."
"Mau usaha apa Yang?"
"Jualan nasi kek, bubur kek, kamu bisa masak kan?"
Meski kurang yakin bumbu yang enak, aku coba saja. Nanti bisa tanya-tanya sama Umi.
"Bisa. Tapi cari kerja dulu Yang, usaha nanti kalau sudah mentok. Kan perlu beli hantaran buat nikah. Uang dapur juga."
Jemin tampak berpikir lagi.
"Pasti perlu modal yang besar." Gumam Jemin.
Aku pun ikut berpikir.
"Terus gimana? Nggak mungkin dong di tunda-tunda. Pasti perutku semakin membesar nanti."
"Mau gimana lagi. Kamu tahu sendiri, kehidupan keluarga ku seperti apa? Pas-pasan. Mana bisa Mama membiayai pernikahan kita. Sekolah Lily saja dibantu biayanya sama Suly."
Benar. Kehidupan keluar Jemin juga sulit. Terus gimana?
"Bagaimana kalau sertifikat rumah ini di gadai saja. Uangnya bisa buat nikah dan modal usaha kita nanti. Jadi kita nggak perlu jual motor kamu. Dan aku juga nggak perlu repot-repot mencari kerja di lain."
"Tapi terbayar nggak Yang?"
"Terbayar dong. Pokoknya penghasilan dari jualan harus di sisihkan untuk bayar cicilan pinjaman. Anggap saja kita kredit rumah ulang."
Benar juga. Itu sudah menjadi solusi terbaik untuk saat ini. Ya, lebih baik begini saja. Yang penting aku nikah sama Jemin.
"Terus gadai kemana Yang?"
"Nanti biar aku yang cari."
Untung saja ada sertifikat rumah ini. Seenggaknya, kami nggak pusing lagi soal biaya pernikahan. Walau pun rumah ini nggak besar dan biasa saja, tapi kurasa masih bisa kalau meminjam sampai 50 juta. Nikah acara sederhana saja. Cari gedung yang murah dan dekor serta katering yang murah. Nggak usah pakai vendor segala deh. Yang penting acara dan sah, itu aja.
"Tadi aku ke rumah Bayu cari kamu Yang. Kamu nggak ada. Hotel juga nggak ada. Kemana?"
"Nggak kepo sama urusan aku. Kita sudah ketemu kan? Jadi ya sudah."
"Jadi karena kamu di tegur di hotel kemarin makanya hari ini kamu malas masuk kerja?"
"Iya lah. Capek kerja di sana!"
Semua pekerjaan capek sih sebenernya. Tapi, ya sudah lah.
"Terus setelah ini gimana?"
"Gimana apa lagi? Ya nunggu uang cair lah, gadai rumah. Baru aku bisa kerja lagi. Tapi kali ini usaha sendiri."
"Lama nggak prosesnya? Kalau lama, keburu perut ku makin besar Yang."
"Aargh! Perut lagi perut lagi. Itu mulu yang kamu bicarakan dari tadi! Makanya hati-hati!"
"Tapi kan karena kamu juga Yang."
"Halah! Alasan terus kamu! Sudah, kamu pulang saja. Cepat aku antar!"
Padahal aku masih rindu. Tapi sepertinya emosi Jemin sedang nggak bagus. Mau bujuk dengan uang pun, uangku lagi sekarat.
Padahal kemarin mau pinjam sama Airin. Jadi nggak jadi. Mereka sudah membayarkan biaya klinik ku. Kalau minjam lagi rasanya, hmm.
Akhirnya aku pulang di antar Jemin ke rumah Airin. Kunci rumahku di pegang sama Jemin. Katanya dia lebih betah pulang ke rumah ku dari pada rumahnya. Biarlah nggak apa. Toh sebentar lagi kami akan menjadi suami istri yang sah secara agama.
"Yang, kapan kamu mau pindah kepercayaan?"
"Ck! Nanti lah. Masih lama."
Aku kembali diam selama dalam perjalanan. Pikiran ku melayang memikirkan masa depan.
Membayangkan bagaimana kami membesarkan anak bersama. Anak kami tumbuh dan mulai berjalan. Usaha yang maju dan hidup bahagia walau sederhana. Rasanya hati ini berdebar-debar, nggak sabar untuk mencapai masa depan.
Tiba di rumah Airin aku di interogasi oleh sepupuku itu. Ada Umi juga yang mendengarkan pembicaraan kami. Sedangkan Bang Herlan, sudah kembali lagi ke kantornya.
Aku menceritakan kalau Jemin bersedia mengikuti kepercayaan kami. Dan mau menerima buah hati kami. Tapi nggak aku ceritakan soal rumah yang ingin di gadaikan. Bisa-bisa Umi mati berdiri. Karena ku tahu, mereka pasti nggak akan setuju.
"Kapan kalian akan menikah? Jangan lupa La, Jemin dan keluarganya harus melamar kamu terlebih dahulu. Umi akan mengabarkan berita ini ke keluarga sebelah Ayahmu di kampung. Ada paman mu yang bisa jadi wali nikah mu nanti. Jadi Umi akan pergi selama seminggu, untuk bertemu mereka. Kamu sementara disini saja dulu. Kalau santai kan, kamu bisa bantu jagain Ragil. Itung-itung kamu belajar cara mengasuh anak." Kata Umi.
"Kok lama Mi?" Tanya Airin.
"Kampung Mas Cahyo itu jauh. Sehari semalam menggunakan perahu kapal. Hanya untuk perjalanan bolak balik saja bisa dua hari dua malam. Jadi sisanya Umi bisa beristirahat dulu sebelum pulang. Kalau bisa, Jemin dan keluarganya melamar tunggu keluarga Ayahmu sudah di kota ini saja La."
"Ohh, iya Mi."
"Nanti kalau ada waktu santai, kalian bersihkan rumah Lola. Kalau keluarga sebelah Ayahnya datang, bisa menginap di rumah Lola."
Mati aku! Jemin kan sementara ini mau tinggal di rumahku. Marah nggak ya dia nanti kalau di suruh pulang dulu tinggal lagi di rumah Mamanya?
Bersambung...
Jangan lupa dukung Author dengan like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
mayan buat iklan biar gk sepaneng kebawa pikiran yg lg ruwet🤭🤣