NovelToon NovelToon
Bukan Sekedar Takdir

Bukan Sekedar Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:784
Nilai: 5
Nama Author: xzava

Aku tak pernah percaya pada cinta pandangan pertama, apalagi dari arah yang tidak kusadari.
Tapi ketika seseorang berjuang mendekatiku dengan cara yang tidak biasa, dunia mulai berubah.
Tatapan yang dulu tak kuingat, kini hadir dalam bentuk perjuangan yang nyaris mustahil untuk diabaikan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xzava, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

"Pesan makan dong, gue laper tapi mager masak," keluh Febi sambil menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua siang.

"Lo mau masak juga gak ada apa-apa di kulkas. Gue belum sempat belanja," sahut Yura, yang sedang senderan di sofa sambil ngemil keripik.

"Eh, lo udah gak marah?" tanya Hana tiba-tiba, melirik snack yang sedang dimakan Yura.

"Marah?" Yura balik bertanya dengan ekspresi polos.

"Itu kan snack dibeliin Ardhan," goda Hana sambil menahan tawa.

"Oh," ucap Yura singkat, sangat singkat, bahkan terlalu singkat sampai berhasil membuat Hana kesal.

"Heh!? Gak asik banget respon lo," Hana memonyongkan bibirnya lalu memalingkan wajah.

"Gue laper," rintih Febi sambil memeluk bantal, mengalihkan topik.

"Pesan online aja, Feb. Atau gak, nitip ke cowok berdua itu tuh," saran Hana sambil menunjuk ke arah jendela, seolah dua makhluk bernama Rizki dan Aldin sedang terlihat di kejauhan.

"Nunggu mereka mah bisa meninggal duluan karena kelaparan. Mereka kalau udah futsal bisa gak pulang sehari semalam," keluh Febi sambil membuka aplikasi pesan makanan di ponselnya. "Kalian mau nitip gak?"

"Gue lalapan, lauknya ayam goreng, sambalnya jangan banyak ya," ucap Hana cepat-cepat, seolah takut kehabisan jatah.

"Ih, boleh tuh. Gue juga. Tambahin tempe goreng ya," sahut Yura sambil masih mengunyah.

"Ya ampun, cepet kali kalian milihnya," eluh Febi, pura-pura kesal sambil membuat pesanan mereka.

"Kalau soal makan mah, otak langsung kerja maksimal," cibir Hana sambil tertawa.

Yura tersenyum tipis. Meski banyak hal belum selesai di kepalanya, setidaknya siang itu mereka masih bisa tertawa bersama.

...****************...

Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, namun Aldin dan Rizki belum juga menampakkan batang hidung mereka.

“Mereka belum ada niatan balik kah?” tanya Yura sambil melirik jam dinding.

“Masih asik main futsal, katanya,” jawab Febi setelah membaca pesan terbaru di grup. Aldin bilang mereka mau lanjut satu match lagi.

“Biarkan sajalah,” ucap Hana santai, dan yang lain hanya mengangguk, tidak begitu peduli.

“Gue mau belanja bulanan, ada yang mau ikut?” tanya Yura sambil berdiri dan mulai bersiap.

Hana dan Febi hanya diam, seperti sedang mempertimbangkan.

“Kalau mager, gak usah maksa. Di rumah aja,” kata Yura lagi sambil meraih totebag belanja.

“Tau aja lo,” sahut Febi, malas bergerak.

“Liat posisi lo aja udah setengah sadar. Hahaha.”

Tawa Yura yang meledak ikut membuat Febi terkekeh, meski malasnya belum juga hilang.

“Gue juga di rumah aja deh. Ngantuk habis makan,” ucap Hana sembari menarik selimut ke dadanya.

“Oke. Gue berangkat dulu,” pamit Yura sambil melangkah keluar rumah.

Saat Yura sudah menutup pagar, dan berjalan menuju mobil, ia mendengar ada seseorang yang menutup pintu mobil.

Dan benar saja seseorang sudah lebih dulu duduk di kursi kemudi. Dengan tenang. Dengan wajah yang tak asing.

Ardhan.

Senyumnya mengembang saat melihat Yura, namun dibalas tatapan sinis dari gadis itu.

“Masuk, saya antar,” ucap Ardhan santai.

“Turun!” hardik Yura kesal, berusaha membuka pintu kemudi. Tapi Ardhan lebih cepat menguncinya.

Ia hanya memberi isyarat dengan mata agar Yura masuk.

Dalam hati, Yura bergulat, mungkin ini saatnya. Saat untuk meluruskan semuanya. Atau setidaknya mengusir dia dari pikiran.

Yura masuk ke dalam mobil, tapi duduk di kursi belakang, tepat di belakang Ardhan.

“Kenapa di situ?” tanya Ardhan sambil menoleh.

Yura mendekatkan wajahnya ke arah wajah Ardhan. “Kalau gak suka, mending lo turun aja,” ucapnya ketus.

Ardhan tertawa kecil, lalu langsung menyalakan mobil.

“Ke supermarket,” ujar Yura datar, menyebutkan tujuannya.

Tak ada jawaban. Ardhan tetap memandang lurus ke depan, fokus menyetir.

Yura enggan mengulanginya. Kalau dia dengar, ya bagus. Kalau enggak, ya sudah.

Namun saat mendekati supermarket, bukannya melambat, laju mobil justru makin cepat.

“Lo mau bawa gue ke mana?” tanya Yura curiga.

“Kita perlu tempat buat beresin semua kesalahpahaman,” jawab Ardhan datar.

Yura menarik napas panjang. Ia tahu, memaksa pun tidak akan membuat Ardhan berhenti. Pria itu terlalu keras kepala untuk dibantah.

Beberapa saat kemudian, mereka sampai di sebuah danau kecil yang sunyi. Dikelilingi pepohonan. Indah, tapi asing bagi Yura.

“Waah…” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Tapi rasa kagum itu lenyap begitu Ardhan membuka pintu mobil.

“Turun,” pinta Ardhan, setelah membuka pintu disamping kursi Yura.

“Gak! Ngomong di sini aja!” Yura menolak keras.

“Yura…” Nada suara Ardhan melunak. “Kamu kenapa? Saya salah apa?”

“Lo kemana malam itu?” tanya Yura tajam, menatap lurus pada Ardhan.

Ardhan terdiam. Mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar.

“Jelasin semuanya. Siapa perempuan itu? Dan kenapa lo tega ninggalin gue pas udah janji?” tanya Yura lagi, nadanya datar, tapi matanya bergetar.

“Hah!? Lo tau dari mana?” tanya Ardhan, jelas terkejut.

“Istri lo? Terus gue siapa? Selingkuhan lo?” tuduh Yura dengan nada yang makin dingin.

Ardhan bukannya menjawab. Ia justru tertawa kecil, seperti tak percaya dengan apa yang ia dengar.

Yura geram. Ia mendorong tubuh Ardhan dan berjalan ke depan, berniat mengambil alih kemudi.

Namun sebelum sempat pindah, Ardhan menahan pergelangan tangannya.

“Apa sih! Gue mau balik!” bentak Yura.

“Saya gak punya istri. Saya belum nikah,” kata Ardhan, akhirnya menjawab.

Yura menyipitkan mata. “Terus? Hamilin anak orang di luar nikah?” sindirnya sinis.

“Maksud kamu apa?”

“Lo ke rumah sakit malam itu kan? Ke Dokter kandungan kan? Ayolah... dewasa sedikitlah. Lo sebentar lagi jadi bapak!”

Ardhan membeku. Wajahnya berubah drastis.

“Lo ngomong apa?” suaranya meninggi. “Siapa yang bilang?”

Yura hanya menatapnya lelah, marah, dan terluka. Air matanya jatuh pelan saat Ardhan membentaknya.

Seketika Ardhan terdiam. Napasnya tercekat.

“Maaf...” lirihnya. Ia lalu memeluk Yura tanpa berpikir. Refleks.

Dan Yura tak menolak.

Tangisnya justru pecah di pelukan itu, di tengah keindahan danau yang tak lagi terasa indah.

Yura menangis sangat lama. Tapi Ardhan tak sedikit pun melepas pelukannya. Ia tetap memeluk Yura erat, menenangkan dengan usapan lembut di kepalanya, seolah ingin berkata bahwa ia ada di sana, bahwa ia tak akan pergi.

Tak ada kata-kata, hanya hening yang penuh makna. Bahkan saat tangis Yura mulai reda, pelukan Ardhan tetap hangat, dan tangan itu masih setia mengusap rambutnya dengan pelan.

Di dalam hatinya, Yura dilanda konflik. Ia ingin marah, ingin menjauh. Ardhan telah menyakitinya, telah membuat luka yang tak ringan. Tapi di sisi lain, hatinya menolak untuk benar-benar membenci. Ada bagian dari dirinya yang masih ingin bertahan, yang masih ingin percaya.

"Maaf, Yura..." bisik Ardhan nyaris tak terdengar.

Ia tahu, ia telah mengingkari janjinya, janji untuk melindungi, untuk menjaga, dan untuk membuat Yura bahagia. Tapi justru dia lah yang menjadi sumber luka itu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!