"HABIS MANIS SEPAH DI BUANG" itu lah kata yang cocok untuk Rama yang kini menjadi menantu di pandang sebelah mata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 Mantu Rahasia
Rama baru bicara sebentar, Pak Sidik langsung naik emosi.
“Dasar Bajingan! Apa maksudmu barusan? Itu ancaman? Kalau tidak punya kemampuan, mana pantas mendapatkan Ayu dari keluarga kami?”
Pak Sidik mengepalkan tangannya, terlihat siap melayangkan pukulan kapan saja.
Tapi Rama hanya tersenyum santai, tidak menggubris mertuanya sama sekali. Ia langsung melangkah masuk ke dalam rumah.
“Ayu, lihat dia. Gayanya seperti itu… Apakah dia pikir cuma karena sedang mengerjakan proyek lain, dia bisa berbuat sesuka hati di rumah ini? Ingatkan dia bahwa dia hanyalah menantu di keluarga ini. Jangan sampai merasa dirinya penting,” ujar Pak Sidik ketus.
Mendengar itu, Ayu hanya terdiam. Tanpa berkata apa pun, ia mengikuti masuk ke dalam rumah.
Dia sendiri bingung harus bagaimana menghadapi sikap orang tuanya.
Begitu melihat Rama duduk di dalam, Ayu mencoba mengajaknya bicara ringan, hanya untuk mencairkan suasana. Ia khawatir Rama masih kesal.
Padahal sebelumnya, Ayu yang dulu takkan pernah bersikap seperti ini.
“Aku akan cari cara soal uang itu,” kata Rama.
“Kamu nggak sungguh-sungguh mau pinjam ke Keluarga Hartono, kan? Jangan ke sana… bisa bikin kita kelihatan buruk,” kata Ayu sambil tersenyum lemah.
“Aku nggak akan pergi ke sana,” Rama menjawab tenang. “Tenang saja, aku akan pikirkan cara lain.”
“Cara lain apa maksudmu? Kamu…”
Ucapan Ayu terputus. Ia tiba-tiba teringat sosok kakek tua yang sempat muncul di rumah sakit waktu itu.
Rama pernah bilang akan menemui Kakek Adi keesokan harinya. Apa mungkin Rama berencana meminjam uang dari orang itu?
Pikiran itu membuat Ayu semakin gelisah.
“Rama, kamu bebas mencari jalan apa pun. Tapi kalau berniat meminjam dari Kakek Adi, tolong batalkan. Itu sama sekali bukan pilihan,” kata Ayu serius.
“Kenapa begitu?” Rama tampak bingung.
“Kamu tidak tahu masa lalu Beliau,” ucap Ayu. “Beliau juga punya pengaruh besar di Kota Dakarta. Kalau sampai kamu gagal mengembalikan uangnya, akibatnya bisa sangat berbahaya… bahkan bisa mengancam nyawa.”
“Aku mengerti. Tapi tenang saja, aku tahu apa yang kulakukan,” Rama mencoba menenangkan.
“Baiklah. Kalau memang tidak bisa pinjam uang, kita cari cara lain. Soal ayah dan ibu, aku akan bicara sendiri. Jangan terlalu memikirkan semuanya sendirian,” ujar Ayu lembut.
“Istriku, dulu kamu tidak pernah bersikap sebaik ini padaku. Sekarang aku benar-benar menyukai perasaan ini.”
“Kalau bukan karena kamu, aku tidak akan berani ambil risiko. Dan kalau aku tidak bersikap baik padamu… mungkin aku tidak akan pernah menemukan laki-laki lain sebaik dirimu, bahkan kalau kucari pakai senter,” kata Ayu sambil tersenyum manis.
“Kamu luar biasa,” kata Rama, lalu meraih dan memeluk Ayu.
Ayu tidak menolak. Ia malah bersandar di pelukan Rama seperti kucing manja, dan perlahan memejamkan matanya.
Rama hanya bisa memeluknya dalam diam.
Bisa berada dalam pelukan seperti ini saja… sudah seperti mimpi yang tak pernah berani ia harapkan.
**
Keesokan paginya, saat hari baru menyapa, Rama dibangunkan lebih awal oleh Ayu.
“Mas, ada yang mencarimu.”
Begitu Rama membuka mata, Ayu langsung menambahkan dengan suara pelan, “Katanya orang suruhan dari Kakek Adi. Sepertinya mereka datang untuk menjemputmu. Cepat bangun ya, jangan bikin mereka menunggu.”
Ayu menarik selimut Rama, tapi karena saat itu masih pagi dan Rama adalah pria muda dengan kondisi fisik yang... prima, pemandangan yang muncul justru membuat wajah Ayu langsung merona.
“Hmm…”
Seketika wajah Ayu memerah. Dia cepat-cepat membalikkan badan dan tergagap, “Kamu... dasar kurang ajar! Cepat bangun dan keluar dari sini!”
Tanpa menunggu jawaban, Ayu langsung kabur dari kamar sambil menutupi wajahnya, campur antara malu dan kesal.
Rama cuma tersenyum kecil, lalu bangkit dan bersiap-siap.
Sesampainya di ruang tamu, dia mendengar suara Bu Heni sedang bicara dengan seorang pria berjas rapi.
“Tuan, Rama ini meskipun secara status adalah menantu kami, sebenarnya itu cuma formalitas saja. Kalau sampai Rama menyinggung perasaan Pak Adi, mohon sampaikan bahwa itu sama sekali bukan urusan keluarga kami.”
Bu Heni berbicara cepat, penuh kekhawatiran. Seakan ingin segera menjauhkan diri dari Rama.
Pria berjas itu hanya mengernyit sejenak, tapi tak menjawab sepatah kata pun.
“Bu, sebenarnya Ibu bicara apa sih?”
Ayu berdiri di samping, terlihat tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya.
“Jangan ikut campur.”
Bu Heni melirik tajam ke arah Ayu, matanya penuh penilaian dan sinis.
Di saat itu, Rama sudah berjalan mendekat. Ia menatap pria berjas itu dan berkata datar, “Ayo, kita berangkat.”
Begitu melihat Rama, pria berjas itu langsung berdiri dan menunduk sedikit dengan sopan, “Silakan, Tuan Rama.”
Rama hanya mengangguk singkat, lalu melangkah keluar. Pria berjas itu mengikuti dari belakang dengan penuh hormat.
Bu Heni dan suaminya hanya bisa melongo, tak paham sama sekali apa yang sedang terjadi.
“Itu... maksudnya apa?” Bu Heni melirik ke arah putrinya.
“Aku juga nggak ngerti,” jawab Ayu kesal.
“Yu, masa kamu benar-benar nggak tahu? Jelaskan, sejak kapan Rama punya hubungan dengan keluarga Hartono?”
Pak Sidik akhirnya angkat bicara, tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
Ayu menghela napas dan menggeleng. “Aku juga nggak tahu. Nanti aku akan tanya langsung ke Rama. Tapi memang, sejak dia sadar dari koma, rasanya dia berubah total… Seperti orang yang berbeda.”
“Heh, jangan-jangan dia kerasukan jin waktu tidur? Atau mungkin dia dibisikin jin dalam mimpi, terus otaknya di-upgrade?” Yuni menyindir dengan nada sinis, tak bisa menyembunyikan rasa iri dan kesal.
“Yuni, kamu itu adik perempuanku, dan aku nggak pernah punya niat bersaing atau menjatuhkan kamu dalam hal apa pun. Aku cuma ingin kamu belajar untuk menghormati kakak iparmu. Kalau suatu hari nanti kamu sampai membuat dia benar-benar marah dan dia bertindak… aku mungkin nggak bisa melindungi kamu,” ucap Ayu dengan tenang namun tegas.
Setelah berkata begitu, ia mengambil tasnya dan bersiap pergi kerja.
…
Sementara itu, di tempat lain, Rama sedang duduk di dalam sebuah Mercedes hitam mewah.
Begitu duduk, matanya langsung tertuju pada seorang wanita muda yang duduk di dalam, mengenakan kacamata hitam besar. Rambut panjangnya tergerai indah di bahu, dan ia mengenakan rok mini hitam serta sepatu hak tinggi. Penampilannya benar-benar elegan dan mencolok.
“Halo, namaku Tasya Hartono,” ucap wanita itu, sambil mengulurkan tangan.
“Cucunya Pak Adi?” Rama bertanya sambil tersenyum, lalu menyambut uluran tangannya.
“Ya.” Tasya mengangguk santai. “Kakekku menyuruhku menjemput seorang Tabib Sakti untuk mengobatinya. Tapi aku tidak menyangka Tabib Sakti itu ternyata masih sangat muda.”
“Jadi kamu nggak percaya padaku, Nona?”
“Bukan cuma nggak percaya,” kata Tasya datar, “Aku malah curiga kamu penipu.”
Rama tertawa kecil. “Pak Adi itu orang bijak dan pengalamannya luar biasa. Kalau aku benar-benar penipu, kamu pikir dia nggak akan tahu? Kalau dia nggak yakin, mana mungkin dia kirim seseorang buat menjemputku?”
“Itu belum tentu,” jawab Tasya sinis. “Aku tetap tidak akan percaya sebelum kamu membuktikan langsung di depan mata. Kalau tidak, aku nggak akan bawa kamu ke rumah.”
“Kalau begitu, aku juga nggak akan pergi,” balas Rama sambil bersandar santai.
“Kamu nggak bisa seenaknya nolak sekarang,” ucap Tasya, lalu melirik tajam. “Cari tempat kosong. Kita adu. Kalau kamu bisa kalahin aku, baru aku percaya.”
Rama menatap Tasya dan tersenyum tipis.
“Tidak perlu repot-repot. Nona, semalam kamu minum terlalu banyak, kan? Hari ini perutmu pasti nggak nyaman, bahkan nyaris mengalami pendarahan lambung. Kau juga berlatih ilmu bela diri yang sama dengan kakekmu, jadi energi tubuhmu ikut terganggu, walau belum parah. Tapi kalau kamu terus memaksa, kamu bisa berakhir seperti kakekmu.”
Tasya memucat seketika.
Perkataannya memang tepat semua.
Tapi dia masih menolak percaya begitu saja. Rahangnya mengeras, dan dia menjawab sambil menggertakkan gigi, “Kamu hanya mengarang. Semua itu bisa saja kamu cari tahu dari orang lain. Kalau memang hebat, buktikan di arena.”
Sopir di depan hanya diam, tetap menjalankan mobil tanpa ikut campur.
Rama mengernyit kecil. Gadis ini memang keras kepala.
“Baiklah, aku setuju. Tapi kalau kalah, kamu harus bayar. Aku nggak punya waktu buang-buang energi.”
“Kalau kamu bisa mengalahkanku,” Tasya tersenyum penuh tantangan, “Kamu boleh melakukan apa saja yang kamu mau.”