Langit di seluruh dunia kini hanyalah kanvas retakan. Malam tanpa bintang. Dua puluh tahun yang lalu, peradaban manusia berubah selamanya. Sebuah lubang dari retakan dimensi yang menganga seperti luka di angkasa, memuntahkan makhluk-makhluk dari mimpi buruk.
Mereka datang dari dunia lain, tanpa nama dan tanpa belas kasihan. Mereka menghancurkan gedung pencakar langit, meratakan jalan, dan menyebarkan kepanikan di mana-mana. Separuh populasi musnah, dan peradaban manusia berada di ambang kehancuran total.
Namun, di tengah-tengah keputusasaan itu, harapan muncul. Beberapa manusia, entah bagaimana, mulai bangkit dengan kekuatan luar biasa.Mereka menjadi Pemburu. Dengan kekuatan yang setara dewa, mereka berjuang, jatuh, dan bangkit kembali.
Namun, di balik layar, rumor mulai beredar. Retakan-retakan kecil yang seharusnya stabil mulai menunjukkan tanda-tanda kegelisahan. Seolah-olah mereka adalah mata-mata dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang sedang menunggu di sisi lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FA Moghago, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Aliansi Terkuat di Afrika
Tiga hari kemudian, seluruh pasukan pemburu terkuat di dunia tiba di Afrika. Langit yang kelabu dan penuh asap kini dipenuhi aura energi yang bergejolak. Mereka mendarat di area yang menjadi garis depan pertempuran, di mana kehancuran terlihat di mana-mana.
Valerius Thorne, pemimpin Organisasi Pemburu Blood Sword of Heaven, berdiri di depan pasukannya. Ia mengenakan armor merah pekat dan sebilah pedang berwarna merah darah tergantung di pinggangnya. Di belakangnya, delapan Pemburu kualifikasi SS dan dua puluh Pemburu kualifikasi S bersiap.
Di sisi Valerius, Kaelen Reed, pemimpin Organisasi Pemburu Sky Cloud Spear, tampak gagah dengan armor kuning cerah dan sebuah tombak petir kuning yang memancarkan energi. Ia didampingi oleh delapan Pemburu kualifikasi SS dan lima belas Pemburu kualifikasi S.
Tidak jauh dari mereka, Ethan Blackwood, pemimpin Organisasi Pemburu Impregnable Fortress, mengenakan armor biru tua. Palu besar berbentuk segi enam yang ia pegang memancarkan garis-garis biru, siap untuk digunakan. Ia memimpin lima belas Pemburu kualifikasi SS dan delapan belas Pemburu kualifikasi S.
Di antara mereka, Saintess Amara, pemimpin Organisasi Pemburu Eternal Holy Light, tampil anggun dengan armor putih yang ditutupi gaun putih cantiknya. Di tangannya, ia memegang sebuah bola kristal putih bercahaya. Di belakangnya, enam Pemburu kualifikasi SS dan sepuluh Pemburu kualifikasi S menunggu perintah.
Selain empat organisasi terkuat di dunia ini, enam organisasi pemburu terkuat di benua juga ikut serta, berjaga di bagian belakang medan tempur. Mereka adalah Kucing Hitam, Banteng Emas, Kobra Perak, Singa Merah, Badai Salju, dan Elang Besi.
Berita tentang aliansi besar ini telah menyebar ke seluruh dunia dan disiarkan secara langsung di televisi serta media internet. Seluruh warga dunia menonton dengan napas tertahan, menaruh semua harapan mereka pada para pemburu terkuat ini.
Seluruh pemburu mulai bergerak maju, melangkah menuju medan pertempuran yang dipenuhi puluhan ribu monster. Pertempuran pun dimulai.
Penyerangan diawali oleh seorang Arcmage kualifikasi SS dari Eternal Holy Light. Ia merapal mantra, menciptakan bola api raksasa yang meledak di tengah kerumunan monster. Ledakan dahsyat itu menyapu ratusan monster dalam sekejap, membuka jalan bagi para pemburu lainnya.
Di barisan terdepan, terlihat Pemimpin Kesatria Eternal Holy Light, Alaric Sterling, bertarung dengan semangat membara, menunjukkan segenap kemampuannya di depan Saintess Amara.
"Lihatlah, Kakak, si kesatria otak kaku itu," gumam seorang perempuan, Seraphina, sambil memegang pisau dagger kembarnya. "Dia bersemangat sekali jika di depan Saintess."
Kakaknya, Anya, juga memegang dagger yang sama, tersenyum sinis. "Kita juga jangan kalah, Adik. Di sini, kita dilihat langsung oleh Saintess."
Suara pertempuran terus menggelegar, memenuhi langit kelabu yang penuh kekacauan di Afrika.
°°°
Di sisi lain dimensi, Arka dan Amethys akhirnya tiba di Kuil Bintang, pusat dari dunia kristal kaca. Kuil itu sepenuhnya terbuat dari kristal, memancarkan aura ilahi yang begitu kuat. Arka terkesima oleh keindahan dan keagungan bangunan tersebut. Dekorasi di kuil itu berupa ukiran-ukiran rasi bintang yang belum pernah ia lihat, seakan-akan kuil ini adalah pusat dari segala pusat di seluruh alam semesta.
Arka melangkah masuk, menuju bagian tengah kuil. Di sana, di lantai, terlihat sebuah ukiran garis yang sangat rumit. Amethys mengisyaratkan Arka untuk berdiri di tengah ukiran itu. Tanpa berkata apa-apa, Arka menurut.
Begitu kakinya menginjak pusat ukiran, kuil itu mulai bergetar. Atap kuil terbuka, dan kesadaran Arka ditarik keluar dari tubuhnya, melesat ke atas. Dalam perjalanannya, ia melihat kilasan gambaran-gambaran aneh: penciptaan alam semesta, kehancuran alam semesta, dan banyak siluet dewa yang tidak dikenal.
Kesadarannya terus melayang hingga akhirnya tiba di sebuah tanah putih yang kosong. Ia kini berada di alam lain, terpisah dari tubuhnya sendiri.
Arka menatap sekelilingnya yang kosong, napasnya tertahan saat gerbang besar dengan ukiran bintang rumit tiba-tiba muncul. Pintu gerbang itu terbuka perlahan, seolah menyambutnya ke dalam takdir. Arka melangkah masuk dengan hati-hati. Di dalamnya, ia disambut oleh sebuah ruangan dengan lantai marmer, pilar-pilar kuno, dan dua sosok penjaga raksasa yang berlutut di samping kursi singgasana kosong.
Saat Arka masuk lebih dalam, kedua sosok itu bangkit dengan gerakan mekanis yang menakutkan. Mata mereka bersinar merah tajam, memancarkan aura yang begitu berat hingga Arka merasa dadanya terhimpit. Rasanya seperti ditatap oleh seorang dewa, namun perasaan itu tidak sehebat tatapan dari balik bintang-bintang sebelumnya.
Tanpa peringatan, kedua sosok itu melesat, bergerak dengan kecepatan kilat. Mereka melayangkan pukulan serentak yang menghantam dada Arka dengan kekuatan dahsyat. Arka terpental jauh, menabrak pintu gerbang dan kembali terlempar keluar. Ia merasakan rasa sakit yang luar biasa. Pukulan itu bukan hanya melukai, tapi juga meremukkan. Arka terbatuk, memuntahkan darah kental yang panas. Organ dalamnya terasa hancur.
Ia menarik napas dalam, memfokuskan energi ke seluruh tubuhnya untuk memulihkan diri. Matanya menyala, semangat bertarungnya kembali terpicu. "Baiklah, kalau begitu, ini ujianku," gumamnya, menyeka darah dari sudut bibirnya.
Arka kembali melesat masuk, melayangkan pukulan aura apinya ke salah satu penjaga hingga sosok itu terbanting ke lantai, memicu getaran di seluruh ruangan. Penjaga kedua membalas, menghantamnya hingga terpental. Arka bangkit dengan cepat, menerjang lagi. Pukulan penjaga itu hampir mengenainya, namun ia berhasil menghindar di udara, lalu memukul kepala penjaga itu hingga berguling-guling.
Pertarungan sengit terjadi. Pukulan Arka beradu dengan tinju kristal para penjaga, menciptakan ledakan energi yang menggelegar di seluruh ruangan. Arka bertarung habis-habisan, memukul dan menghindar hingga akhirnya kedua sosok penjaga itu tumbang. Namun, Arka juga ikut tumbang, tubuhnya penuh luka parah. Dengan susah payah, ia menyeret dirinya ke kursi singgasana kosong itu dan duduk di sana.
Seketika, kesadarannya ditarik kembali ke tubuhnya di kuil. Ia langsung terbatuk keras, memuntahkan lebih banyak darah kental. Amethys menghampirinya, menjulurkan tangannya dan memberikan aura penyembuhan. "Sepertinya ujiannya sudah selesai, Tuan," bisik Amethys, suaranya tenang.
Arka mengambil napas terengah-engah, suaranya serak. "Lalu... apa sekarang? Apa aku bisa keluar?"
Amethys tidak menjawab, hanya menatap sekeliling. "Seharusnya ada jalan keluar," gumamnya. "Tapi..."
Tidak ada apa-apa. Arka juga tidak merasakan aura retakan dimensi. Terbaring lemas, rasa lelah dan sakit yang luar biasa menguasai dirinya. Ia menatap langit-langit kuil kristal, menyadari bahwa setelah semua pertarungan dan ujian yang ia lewati, ia masih terjebak. "Sepertinya... aku akan terjebak di sini... untuk waktu yang sangat lama," gumamnya, pasrah.
Kuil itu kembali bergetar, dan atapnya perlahan tertutup, menyembunyikan langit penuh bintang. Arka, yang tadinya terbaring lemas, bangkit berdiri. Meskipun fisiknya masih terasa lelah, tekad di matanya kembali menyala.
"Ayo, Amethys," ucapnya. "Kita cari jalan lain."
"Baik, Tuan," balas Amethys, suaranya yang tenang bergema di benak Arka saat ia mengikuti dari belakang.
Arka mulai berjalan santai, menyusuri kembali alam kristal kaca yang luas dan indah namun terasa seperti penjara. Ia memejamkan mata, memfokuskan seluruh indranya, berharap bisa merasakan dan menemukan retakan dimensi lain yang akan membawanya keluar dari alam itu.
Perjalanan mereka kembali dimulai, kali ini dengan tekad yang lebih kuat dan tujuan yang lebih jelas. Arka tahu, ia harus kembali.
jangan dikasih kendor thor😁🔥