Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 — Setelah Puncak Ketegangan
SASHA dan Elisa duduk di kafe lantai dua yang menghadap atrium besar. Interiornya terasa hangat. Dindingnya dihiasi mural berwarna pastel, dengan sofa empuk berwarna abu-abu dan meja kayu kecil. Di luar, suara musik mall seperti meredam riuh langkah para pengunjung. Aroma kopi dan waffle manis dari meja sebelah memenuhi udara di sekitar mereka.
Keduanya tampak santai. Sasha mengenakan blouse putih longgar dengan celana jeans high waist dan sneakers putih bersih. Rambut panjangnya diikat setengah ke belakang. Sedangkan Elisa memakai dress midi berwarna sage green dengan cardigan tipis krem, sepatu flat, dan tote bag kain di samping tubuhnya.
Sasha sengaja mencari tempat yang nyaman untuk memantau grup. Mau tidak mau acara shopping-nya bersama Elisa terganggu gara-gara ketegangan yang terjadi di kolam renang. Dia tak bisa mengabaikan hal itu.
Dia tak habis pikir kenapa ketiga temannya nekat ke kolam itu. Padahal jelas ada beberapa nyawa melayang sia-sia di sana, dan ada anak laki-kali yang hilang sampai sekarang. Tapi mereka tetap saja nekat ke kolam itu. Gara-gara gagasan konyol Rayan? Atau justru inisiatif Davin? Hhh, keduanya memang sama-sama keras kepala dan nekat.
Namun Sasha sekaligus merasa kesal pada Davin. Dia sekarang sudah terang-terangan menunjukkan atensinya pada cowok itu. Tak ada lagi rahasia. Tak ada lagi kesan ambigu. Tapi pilihannya pada Davin justru membuat dia merasa sebal.
Ponselnya tergeletak di atas meja. Dia menatap ikon chat WA—pesan yang dia kirim ke Davin masih menunggu dua centang biru yang tak kunjung muncul.
Sasha menghela napas. “Dia benar-benar nyebelin... kayak nggak bawa HP sama sekali. Padahal jelas-jelas online.”
Elisa mengaduk iced caramel macchiato-nya. Lapisan karamelnya tampak menetes di dinding gelas. “Coba kirim ke Tari atau Rayan, suruh mereka omongin ke Davin langsung,” sarannya.
“Udah. Nih, tadi aku bilang—”Suruh Davin baca WA aku. ASAP.” Tapi tetep aja… nol respons,” gerutu Sasha sambil meraih gelas matcha latte dinginnya.
Di layar ponselnya, dan di layar ponsel Elisa, grup chat mereka terlihat seperti peta intel mini. Tari terus mengirim foto dan video pendek kolam renang angker dari jarak jauh—tanpa menjawab permintaan Sasha.
Sedangkan Rayan membalas dengan emoji cengiran lebar dan komentar singkat tentang “Prof D lagi full konsens.” Dia tak merasa terganggu dengan sikap Sasha pada Davin—seakan-akan dia menerima “nasib buruk”-nya dengan lapang dada.
“Aku nggak bisa ngebayangin gimana sebelnya kalau jadi pacar dia,” gumam Sasha sambil menyeruput minuman dinginnya. “Kalau dia lagi asyik sama laptopnya, jangan-jangan WA-ku besok baru dibacanya.”
“Masih mending besok,” timpal Elisa ringan. “Jangan-jangan minggu depan baru dibuka. Baru SMA udah kayak gitu. Apalagi pas kuliah nanti. Stereotip ilmuwan sejati.”
“Sok tahu, ah.”
“Gue bebas aja ngeledekin dia. Dia bukan tipe gue, kok.”
“Hhh, kamu nggak bikin perasaanku adem. Tapi malah bikin runyam.”
“Salah lo sendiri naksir cowok-cowok aneh. Dengar, Sha, Rayan bahkan lebih jelek dari Davin. Dia impulsif banget. Nggak mikirin risiko. Gue nggak heran kalau lo diajak kencan di kuburan. Liat vlog-nya dead men can’t talk. Dia bisa makan nasi bungkus di kamar mayat!”
Sasha mendengus sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. “Ya ampun, Lis… aku lagi butuh dukungan moral, bukan daftar kekurangan gebetanku.”
Elisa meneguk iced caramel macchiato-nya dengan santai. “Support itu bentuknya macam-macam. Ini namanya shock therapy biar lo cepat move on.”
“Move on dari apa?” protes Sasha. “Aku aja belum jadian.”
“Justru itu. Anggap aja ini pencegahan. Ini lebih baik ketimbang pengobatan, kan? Nanti gue juga yang repot kalau lo ada masalah.”
Sasha memutar bola matanya, lalu melirik ponselnya lagi. Dua tanda centang masih kelabu. Dia mengetik cepat ke Tari. Dia penasaran—dan dia tak akan berhenti sebelum keinginannya terkabul.
“Tari, bilangin Davin WA aku. Penting.”
Balasan Tari muncul beberapa detik kemudian: “Udah. Dia cuma bilang “sebentar.” Di sini ada anomali.”
Sasha menatap layar sejenak, lalu menghela napas panjang. “Kalau dia bilang “sebentar,” itu artinya sejam lagi.”
Elisa mencondongkan badan. “Sha, kayaknya lo nggak sadar kalau lo tuh udah masuk ke zona girlfriend problem—padahal statusnya masih di level acquaintance problem.”
Sasha menjitak pelan lengan sahabatnya. “Diam, ah. Aku lagi nggak mau denger teori sarkas kamu.”
Mereka tertawa kecil. Tapi tawa mereka mereda ketika ada notifikasi baru muncul di grup.
Ternyata kiriman setengah lusin foto dari Naya. Di layar terlihat wajah-wajah ceria: Naya tersenyum lebar, kedua orang tua dan adiknya ikut berpose di samping tempat tidur rumah sakit, dan Ayu yang tampak lelah namun bahagia menggendong bayinya.
Foto-foto di grup terus tumpang-tindih dengan kontras yang mencolok. Foto kiriman Tari tampak suram dan berkesan angker. Diwarnai dengan selfie Elisa dan Sasha di kafe mall—tersenyum santai, dengan latar kafe yang ramai. Dan sekarang dilengkapi dengan ekspresi bahagia Naya menyambut kehadiran anggota baru dalam keluarga besarnya.
--
--
Di Bandung, di ruang bersalin rumah sakit, Naya masih berdiri di samping tempat tidur pasien. Dia mengenakan tunik biru muda dengan celana kain krem, jilbab putih yang sederhana, dan sneakers abu-abu yang membuatnya tampak santai tapi tetap rapi—sengaja mengimbangi penampilan Yuli yang ke mana-mana selalu mengenakan busana muslimah. Lampu neon putih menyinari dinding yang serbakrem—sementara suara langkah perawat dan roda troli obat sesekali lewat di lorong.
Naya terus menatap keponakan pertamanya seperti hendak memastikan makhluk mungil itu nyata. Ayu menawarinya untuk menggendong sang bayi. Tapi dia tak berani.
Dia hanya nyengir ketika ditertawakan tantenya. Takut salah katanya.
Dia tak sepenuhnya berada di situ. Sebagian pikirannya melayang jauh ke kolam renang angker gara-gara foto dan video terakhir Tari. Berbeda dengan Sasha, dia sama sekali tak heran dengan tindakan ketiga sahabatnya yang kembali ke sana. Dia sudah hafal bahwa cerita-cerita horor dan tragedi berdarah tak akan menghalangi langkah mereka.
Namun dia merasa agak gelisah ketika menonton video Tari yang memperlihatkan seekor katak yang sedang sekarat di kolam utama. Suhu di sana juga katanya drop.
Hhh, apa di sana memang… sarang Umbral?
Dia berusaha tetap tenang dan santai, meskipun bunyi notifikasi sesekali terdengar dari ponselnya. Ketika perhatian semua keluarga tertuju pada Ayu dan bayi mungilnya, secara diam-diam dia menyelinap ke teras belakang untuk memelototi grup.
Dia membuka kiriman video Tari—dan dia tercengang. Seandainya tak ada penjelasan Tari tentang video itu, dia pasti langsung berpikir kalau Davin dan Rayan terlibat dalam perkelahian sengit.
Tari menulis: “Rayan halu. Kalau nggak dicegah Davin, dia pasti bakalan terjun bebas ke kolam.”
Naya membekap mulutnya dengan telapak tangan.
Ya Tuhan, apa Rayan halu... gara-gara Umbral?