PEDANG GENI. seorang pemuda yang bernama Ranu baya ingin membasmi iblis di muka bumi ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29
Pertarungan jarak dekat berlangsung dengan begitu sengit. Kemampuan mereka yang bisa dibilang seimbang membuat pertarungan tersebut menjadi begitu menegangkan.
"Aku adalah Panglima Serigala. Dan akan aku buktikan kalau jabatanku ini aku dapatkan dari kemampuanku!" teriak Rakuti di sela-sela pertarungannya.
"Mau panglima kadal kudisan pun aku tidak peduli!"
Suropati bergerak menyamping menghindari tendangan Rakuti yang mengarah ke ulu hatinya. Setelah itu dia memberikan serangan balik cepat untuk mematakan lutut lawannya.
Namun Rakuti bisa mengantisipasi serangan tersebut, dengan tangannya dia menangkis pukulan Suropati yang mengincar lututnya.
Rakuti mendengus kesal, selama menjadi salah satu panglima perang di kota Wentira, tidak sekalipun dia dihina orang lain. Bahkan oleh Panca sekalipun.
Kemampuannya yang tidak jauh beda dengan Panca itulah yang membuatnya bisa menduduki urutan ketiga dalam urutan panglima perang kota Wentira.
Rakuti sendiri sebenarnya bukan penduduk asli kota Wentira. Dia adalah murid Racun Utara satu-satunya dan dibawa lelaki tua itu untuk mengabdi di kota Wentira.
Dalam waktu relatif singkat, Pertarungan Suropati dan Rakuti sejauh ini sudah berjalan hingga ratusan kali bertukar serangan. Hal itu bisa dimaklumi, mengingat kecepatan mereka berdualah yang membuat pertarungan serasa singkat. Adu variasi serangan yang terjadi di antara mereka berdua membuat pertarungan itu begitu menegangkan.
Sementara itu, pertarungan Mahesa melawan Daniswara masih berlangsung dengan sengit.
Daniswara mencabut pedangnya. Dia merasa pertarungan tangan kosong malah membuat tangannya sakit karena sering membentur Perisai Giok Iblis yang diciptakan Mahesa.
Pedang bergagang merah itupun mengeluarkan aura merah senada dengan warna gagangnya.
"Ternyata kau sudah menyerah bertarung dengan tangan kosong? Baiklah, mari kita beradu keahlian memainkan pedang. Jarak dekat ataupun jauh, silakan ... aku akan dengan senang hati akan melayanimu!" cibir Mahesa.
Selepas berkata, cucu tunggal Empu Barada itupun mencabut pedang Giok Iblis miliknya. Aura hijau terang seketika muncul setelah pedang itu tercabut dari sarungnya.
Aura dingin juga tiba-tiba terasa setelah Mahesa mengalirkan energinya ke dalam bilah pedangnya.
Daniswara sedikit terkejut melihat pedang pusaka yang dipegang Mahesa. Sesaat kemudian senyum terkembang di bibirnya, "Pedangmu boleh juga anak muda. Setelah membunuhmu, Aku akan memiliki pedang itu, hahaha!"
Mahesa menggelengkan kepalanya pelan, "Tawamu tidak ada merdu-merdunya sama sekali. Bahkan lebih parah dari kentut sapi!" cibirnya.
Bajingan tengik...! Serahkan padaku pedang itu!"
Daniswara yang sudah terbakar emosinya melesat menyerang Mahesa dengan jurus jurus pedang terbaiknya.
"Ambillah kalau bisa, Monyet Impoten!"Mahesa bergerak tidak kalah cepat dari Daniswara.
Meskipun bukan terbuat dari logam, namun kekerasan pedang Giok Iblis yang terbuat dari inti batu giok tersebut tidak kalah dari logam terbaik sekalipun. Dan benturan dua pedang itupun menghasilkan suara yang nyaring selayaknya logam yang diadu.
Daniswara bisa merasakan jika pedang hijau lawannya adalah pusaka yang bagus. Dan hal itulah yang membuatnya begitu bernafsu untuk memilikinya.
Hawa dingin menyeruak keluar setiap kali Mahesa menyabetkan pedangnya. Namun hal itu bisa diantisipasi Daniswara dengan aura panas yang keluar dari bilah pedangnya.
Semakin lama, pertarungan mereka bukannya semakin menurun tensinya, namun semakin meninggi seiring dengan bertambahnya tenaga dalam yang mereka keluarkan.
"Pedang Peremuk Tulang!"Daniswara melepaskan serangan jarak jauh setelah serangan jarak dekatnya tidak juga mengenai sasaran.
Mahesa bergerak dengan cepat menghindari selarik sinar merah yang mengincar tubuhnya.
Naas bagi para prajurit yang terkena serangan nyasar Daniswara. Tulang mereka langsung remuk meski bagian luarnya tidak apa-apa. Sekejap kemudian para prajurit naas itupun menghembuskan napas terakhirnya.
Mahesa yang sempat melirik prajurit naas tersebut sedikit tersenyum lalu melepaskan serangan balasan.
"Badai Es Selatan!"
Puluhan pisau es berhamburan keluar dan melesat menyerang ke satu titik, tubuh Daniswara. Panglima perang kota Wentira urutan nomer tujuh itupun terkejut dan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Bukannya takut atau gentar, Daniswara malah semakin terobsesi untuk memiliki pedang pusaka berwarna hijau tersebut. Dengan gerakan cepatnya dia menangkis puluhan pisau es yang terus bergerak mengejarnya.
Pisau es tersebut langsung mencair seketika ketika beradu dengan pedang Daniswara yang mengeluarkan aura panas. Belasan hingga puluhan pisau es itu berhasil dia patahkan dengan sedikit kerepotan.
Di saat Daniswara sibuk mematahkan serangan pisau es miliknya, Mahesa mengumpulkan tenaga dalamnya yang mulai menipis. Dalam hitungan detik berikutnya, dia kembali melepaskan serangan kejut lainnya, "Pedang Penebas Embun!" teriaknya.
Daniswara yang sedikit banyak sudah mengetahui keistimewaan serangan jarak jauh tersebut langsung melompat tinggi untuk mengindarinya.Kembali, beberapa prajurit baik pasukan Raja Kolocokro maupun prajurit kota Wentira bernasib naas karena terkena serangan nyasar Mahesa. Tubuh Para prajurit naas tersebut terpotong menjadi dua, tanpa mereka ketahui penyebabnya. Bahkan sebuah pohon besar dan berdaun lebat yang berdiri tegak tidak jauh di belakang Daniswara pun ikut bernasib naas. Pohon tersebut roboh terpotong dengan rapi dan menimpa puluhan prajurit yang bertarung di dekatnya.
Mahesa menutup mulutnya karena tidak percaya kalau serangannya bahkan mengenai pasukannya sendiri.
Dia berpikir, dalam keadaan perang seperti saat ini, menggunakan kedua jurus jarak jauh tersebut berpotensi untuk membunuh siapapun, baik lawan ataupun kawan.
Daniswara semakin kagum dengan pedang hijau milik mahesa tersebut dan semakin ingin memilikinya.
"Dengan pedang itu, minimal aku akan bisa menjadi panglima ke empat," gumamnya dalam hati.
Daniswara melesat dan menyerang Mahesa dengan membabi buta. Akal sehatnya menjadi hilang karena ambisinya yang ingin menguasai pedang giok iblis.
Tanpa disadari Daniswara, akibat ambisinya tersebut, setiap serangan yang dilakukannya meninggalkan celah terbuka lebar.
Namun Mahesa tidak bisa semudah itu menerobos celah pertahanan Daniswara yang terbuka. Hal itu dikarenakan serangan Daniswara yang terus menyerangnya tanpa henti.
Dia hanya bergerak menghindar dan menangkis serangan sambil mencari kesempatan untuk melepaskan serangan.
Raja Condrokolo yang masih dalam keadaan melayang di angkasa bisa melihat dengan jelas keberadaan Raja Dharmacakra dan Racun utara yang berada jauh tepat di luar pusat kota Wentira. Namun dia belum ingin menyerang mereka berdua karena masih ingin melihat sejauh mana keadaan pasukannya.
Tepat di bawah Raja Condrokolo yang sedang mengudara,Wanandra juga sedang bertarung sengit melawan Raksa,Tidak jauh dari tempat Wanandra dan Raksa bertarung, Bisma sang panglima macan tutul sibuk meladeni serangan puluhan prajurit berkuping lebar.
Kemampuan Panglima keempat itu begitu mengagumkan. Meski dikeroyok belasan prajurit yang memiliki kemampuan tidak wajar selayaknya prajurit biasa, tapi Raksa begitu lihai menghindari setiap serangan yang mengincar tubuhnya.
Panglima perang yang mengandalkan tongkat hitam bergagang emas sebagai senjata andalannya itu bahkan tidak takut beradu dengan pedang besar yang digunakan prajurit berkuping lebar.
Ujung tongkatnya yang runcing juga sudah berhasil membuat Belasan prajurit berkuping lebar meregang nyawa dengan tubuh menghitam seperti terkena racun ganas.
Sementara itu Mahesa yang sudah merasa lelah karena terus terusan digempur Daniswara, akhrinya berinisiatif untuk melakukan serangan balik. Diam-diam dia menambahkan energi giok iblis untuk mempercepat gerak kaki dan tangannya.
"Sial ... dia semakin bertambah cepat!" umpat Daniswara dalam hati.
Tidak mau kalah, dia menambahkan kecepatannya untuk bisa mengimbangi kecepatan Mahesa, dan juga membalikkan situasi dari tertekan menjadi menekan. Tapi keadaan itu malah menjadi bumerang buatnya.