NovelToon NovelToon
INDIGO

INDIGO

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Lia Ap

Nadia ayu, seorang gadis yang bisa melihat 'mereka'

mereka yang biasa kalian sebut hantu, setan, jin, mahluk halus atau lain sebagai nya.


suara dari mereka, sentuhan bahkan hembusan nafas mereka, bisa di rasakan dengan jelas. Sejak mengalami kecelakaan itu, mengubah cara pandangannya terhadap dunia..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

22. Pengorbanan dan darah leluhur

Aku menatap kerang hitam kehijauan di tanganku. Rasanya berdenyut pelan, seperti ada nadi di dalamnya. Suara ketukan dan bisikan dari luar semakin keras, mendesak, membuat telingaku berdenging.

Ningsih mendekat, melayang tepat di hadapanku. “Putuskan, Nadia. Darah makhluk hidup… atau pagar ini runtuh, dan mereka akan mengambil jauh lebih banyak.”

Aku menarik napas panjang. Wajah Joan tegang menatapku, sementara Wita dan Gilang berpegangan tangan di sofa, bingung dengan apa yang terjadi. Aku tak bisa menjelaskan panjang lebar — kita tidak punya waktu.

Akhirnya, aku menatap Ningsih. “Burung di teras… cukup, kan?”

Dia menyeringai tipis. “Lebih dari cukup. Ambil cepat, sebelum pagar melemah.”

Aku berlari ke teras. Burung kenari kuning milik mamaku berkicau pelan di kandangnya, tak tahu apa yang akan terjadi. Tanganku gemetar saat membuka pintu kandang. Wita muncul di belakangku, berbisik panik.

“Nad… lo beneran mau…?”

Aku menatapnya, mata panas. “Kalau nggak, Wit… kita semua bisa mati. Aku nggak punya pilihan.”

Dengan hati-hati, aku mengambil burung itu, memeluknya erat sambil kembali ke ruang tengah. Di lantai, Ningsih sudah menggambar simbol lingkaran samar menggunakan ujung jarinya — darah kering entah dari mana menetes di lantai, membentuk pola aneh.

“Letakkan kerang di tengah lingkaran,” bisiknya. “Lalu teteskan darah di atasnya… biar mereka terikat dan puas.”

Tanganku gemetar, tapi aku menurut. Kuletakkan kerang itu di tengah lingkaran. Ningsih melayang lebih dekat, memandangku dengan mata merah menyala.

“Sekarang, sedikit luka di jari burung itu… biarkan darahnya menyentuh kerang.”

Aku menelan ludah. Dengan pisau kecil dari dapur, aku membuat sayatan kecil di kaki burung itu. Darahnya menetes ke permukaan kerang. Begitu darah menyentuhnya, kerang itu bergetar — lalu dari retakannya, asap tipis berwarna hijau keluar, berputar ke atas seperti spiral.

Dari luar rumah, suara makhluk-makhluk itu berhenti mendadak. Hening… lalu terdengar suara seperti bisikan lega, berlapis-lapis:

“Darah diterima… penanda kembali… ikatan putus…”

Angin dingin berhembus melewati rumah, jendela bergetar pelan, dan tiba-tiba… semua lampu kembali menyala normal. Bau anyir dan suara langkah di atap menghilang. Mereka pergi.

Aku berlutut, memeluk burung yang kini lemas di tanganku — masih hidup, tapi lemah karena darahnya keluar sedikit. Rasa bersalah menyesak di dada.

Joan mendekat, menatapku bingung. “Kamu… barusan ngapain? Kenapa semua ini tiba-tiba berhenti?”

Aku hanya menatap kerang yang kini retak dan mati, tak lagi berkilau. “Aku… cuma balikin sesuatu yang bukan milikku. Sekalian bayar… supaya mereka nggak ganggu kita lagi.”

Ningsih melayang di pojok ruangan, senyumnya tipis. “Untuk malam ini, kau aman, Nadia. Tapi ingat… kau sudah membuka sedikit warisan darahmu. Cepat atau lambat… yang lain juga akan mencium baunya.”

Dia menghilang begitu saja, meninggalkan udara yang masih dingin samar.

Wita memelukku erat. “Gue nggak ngerti semua yang barusan… tapi gue sumpah, gue nggak mau ke pantai itu lagi seumur hidup.”

Aku menatap retakan kerang di lantai, perasaan campur aduk menghantam dadaku. Meski gangguan itu berhenti, aku tahu ini belum benar-benar berakhir.

________

Malam itu sunyi. Wita masih tertidur pulas di sampingku, napasnya pelan, sesekali bergumam dalam mimpi. Aku sendiri terjaga, tidak bisa benar-benar tidur meski rumah akhirnya tenang setelah ritual.

Udara kamar mendadak mendingin, membuat bulu kudukku berdiri. Lampu meja berkedip sebentar, dan dari pojok kamar, Ningsih muncul. Tubuhnya melayang anggun, rambut panjang merah darahnya tergerai, matanya bersinar redup.

“Nadia…” suaranya pelan, tapi menggema di dalam kepalaku. “Bangun. Ada yang harus kau dengar.”

Aku duduk perlahan, memastikan Wita tidak terbangun. “Apa lagi sekarang, Ningsih? Bukannya semuanya sudah beres? Mereka sudah pergi, kan?”

Dia mendekat, melayang tanpa suara. Tatapannya tajam menembus mataku.

“Pergi? Untuk malam ini, iya. Tapi mulai sekarang… masalahmu baru benar-benar dimulai.”

Aku menelan ludah. “Kenapa? Karena aku punya darah ‘penjaga batas’ itu?”

Ningsih mengangguk perlahan, senyumnya samar. “Kau ingat asal darahmu? Bukan dari ibumu… tapi dari ayahmu. Garis Kraton Jawa yang sudah ratusan tahun membawa perjanjian dengan dunia kami.”

Aku terdiam. Aku memang tahu papahku keturunan Kraton, tapi kupikir itu cuma status budaya, bukan… hal mistis. “Aku nggak pernah mikirin sampai segitunya. Aku cuma manusia biasa, Ningsih.”

Dia menyeringai tipis, mendekat hingga wajahnya hanya sejengkal dari wajahku. Udara di sekitarnya berbau anyir samar, khas dirinya.

“Manusia biasa tidak mengeluarkan simbol pelindung dari telapak tangannya. Dan sekarang… darah itu sudah bangun di dalam tubuhmu. Akibatnya…”

Dia menatapku dari atas ke bawah, senyumnya melebar. “Tubuhmu jadi wangi di dunia kami. Wangi seperti daging persembahan. Semua makhluk akan mencium aromanya dari jauh. Hantu lapar, roh gentayangan, bahkan entitas yang tidur di perut bumi… mereka akan datang mencarimu. Bukan cuma untuk memangsa… tapi untuk memiliki.”

Jantungku berdegup cepat. “Memiliki…? Maksudmu… apa?”

Ningsih menyibakkan rambutnya, suaranya menurun jadi bisikan serak.

“Tubuh dengan darah seperti milikmu bisa dijadikan medium. Sukmamu bisa diperas, disimpan, dijual… atau dipersembahkan. Dan kalau para dukun hitam mencium aromamu? Mereka akan berlomba-lomba menculikmu. Tubuh ‘wangi’ sepertimu bisa dijadikan tumbal atau ritual… menambah kekuatan mereka berkali-kali lipat.”

Aku terdiam, meremas selimut. Pikiran tentang makhluk-makhluk gaib saja sudah menakutkan… sekarang aku harus memikirkan manusia yang mungkin sama berbahayanya.

“Jadi… aku sekarang buruan semua orang?”

Ningsih menunduk sedikit, menatapku dalam. “Belum semua tahu. Tapi cepat atau lambat… kabar ini akan menyebar. Dunia gaib punya cara berbisik satu sama lain. Dan manusia… terutama yang lapar kekuasaan… akan mendengarnya juga.”

Aku menatapnya, rasa takut bercampur marah. “Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku nggak bisa kabur selamanya.”

Dia tersenyum samar, matanya menyipit. “Kau harus belajar… mengunci aromamu, mengendalikan darahmu, dan menggunakan warisan itu sebelum mereka menggunakannya melawanmu. Besok… aku akan pertemukan kau dengan seseorang yang bisa mengajarimu. Seseorang yang… juga punya darah seperti milikmu.”

Udara di kamar perlahan menghangat lagi. Ningsih melayang mundur, tubuhnya mulai memudar. Sebelum lenyap, suaranya terdengar sekali lagi, dingin dan tajam:

“Ingat, Nadia… mulai sekarang, setiap langkahmu ada yang mengintai. Jangan pernah sendirian di tempat gelap. Dan jangan pernah percaya orang asing yang menawarkan bantuan… karena bisa saja, mereka cuma ingin tubuh wangi milikmu.”

Dia menghilang, meninggalkan keheningan mencekam. Aku menatap Wita yang masih tertidur, mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa semua ini nyata.

Dari luar jendela, suara angin membawa bisikan samar:

“Tumbal… wangi… tumbal… wangi…”

Aku menarik selimut hingga menutup kepalaku, menyadari malam ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar… dan lebih berbahaya.

Pagi itu terasa anehnya… terlalu normal.

Tidak ada suara ketukan, tidak ada bisikan, dan udara di rumah kembali hangat seperti biasa. Hanya suara rintik hujan di luar yang terdengar, lembut, menenangkan, seolah semalam tidak terjadi apa-apa.

Aku berdiri di depan cermin kamar, menyisir rambut. Wita yang masih sedikit mengantuk duduk di tepi ranjang, menguap panjang sambil memainkan ponselnya. “Lo yakin semua udah aman? Gue masih kebayang suara ‘kembalikan atau darah’ itu, Nad. Serem banget.”

Aku tersenyum tipis. “Udah aman. Percaya aja sama gue.” (Meskipun sebenarnya, kata-kata Ningsih soal tubuhku yang ‘wangi’ masih terus terngiang di kepala.)

Joan muncul di pintu kamar, sudah rapi dengan kemeja biru muda dan jas hitam. Rambutnya sedikit basah terkena gerimis saat dia keluar sebentar untuk mengecek mobil.

Dia tersenyum, suaranya rendah dan hangat. “Nad… kamu udah siap? Aku bikin teh hangat di bawah. Kayaknya cuaca dingin bakal nemenin kita sampai kantor.”

Aku menoleh, melihatnya berdiri di ambang pintu dengan tatapan yang selalu… menenangkan. “Bentar, aku ganti sepatu dulu. Kamu nggak kedinginan? Tadi hujan makin deras lho.”

Dia mendekat, langkahnya pelan. Saat berdiri tepat di hadapanku, tangannya terulur, menyelipkan anak rambutku ke belakang telinga. “Selama kamu di sini… aku nggak bakal kedinginan.”

Aku merasakan pipiku hangat, meski udara pagi terasa lembap dan dingin. Gerimis di luar terdengar lebih pelan, seperti musik latar yang menenangkan. Joan menunduk sedikit, suaranya hampir berbisik.

“Kamu nggak capek kan setelah semalam? Aku bisa izin cuti hari ini kalau kamu mau istirahat.”

Aku menggeleng pelan, menatap matanya. “Aku nggak apa-apa. Kita kerja aja. Lagian… kalau aku diem di rumah, aku malah kepikiran terus.”

Dia tersenyum, jemarinya menggenggam tanganku sebentar. “Oke. Tapi janji, kalau kamu ngerasa aneh atau nggak enak badan… bilang ke aku.”

Suasana terasa hening sejenak, hanya suara gerimis di luar dan detak pelan jam dinding yang terdengar. Joan mendekat, mencium keningku sebentar sebelum berbalik ke pintu.

“Ayo turun. Gilang udah nunggu di mobil, dan Wita… kelihatannya udah kelaparan.”

Aku terkekeh kecil, menutup resleting tasku. “Wita selalu lapar pagi-pagi.”

Kami turun ke lantai satu. Gilang sedang berdiri di dekat jendela, memperhatikan hujan, sementara Wita menuruni tangga sambil menguap lebar. Semua terasa… normal. Tapi dalam hatiku, aku tahu ini cuma ketenangan sebelum badai berikutnya.

1
Afiq Danial Mohamad Azmir
Wahhh!!
Alexander
Nggak kebayang ada kelanjutannya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!