NovelToon NovelToon
Cassanova - Dendam Gadis Buta

Cassanova - Dendam Gadis Buta

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Spiritual / Balas Dendam / Horror Thriller-Horror / Dendam Kesumat
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Wida_Ast Jcy

Casanova seorang gadis cantik. Namun sayang sekali dengan parasnya yang cantik ia memiliki kekurangan. Kedua matanya buta. Meski ia buta ia merupakan kembang desa. Karena kecantikannya yang luar biasa. Walaupun ia buta ia memiliki kepandaian mengaji. Dan ia pun memiliki cita cita ingin menjadi seorang Ustadzah. Namun sayang...cita cita itu hanya sebatas mimpi dimana malam itu semuanya telah menjadi neraka. Saat hujan turun lebat, Casanova pulang dari masjid dan ditengah perjalanan ia dihadang beberapa pemuda. Dan hujan menjadi saksi. Ia diperkosa secara bergantian setelah itu ia dicampakan layaknya binatang. Karena Casanova buta para pemuda ini berfikir ia tidak akan bisa mengenali maka mereka membiarkan ia hidup. Namun disinilah awal dendam itu dimulai. Karena sifat bejad mereka, mereka telah membangkitkan sesuatu yang telah lama hilang didesa itu.

"Mata dibayar mata. Nyawa dibayar nyawa. Karena kalian keluarga ku mati. Maka keluarga kalian juga harus mati.

Yuk...ikuti kisahnya!!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wida_Ast Jcy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22 KEDATANGAN RAMPOK

Di tengah keramaian tahlilan dan suara-suara tetangga yang sibuk membantu, Ustazah Laila mendekati dan menepuk pelan bahu Casanova.

“Nak, kami sekeluarga turut berduka. Jika ada apa-apa, jangan segan hubungi kami. Kau harus kuat, ya Casanova. "ujarnya.

Casanova mengangguk perlahan. Matanya tampak redup, seolah menolak menerima kenyataan pahit yang menimpa keluarganya. Ustazah Laila mengusap punggungnya dengan lembut, memahami benar betapa berat beban yang kini harus dipikul gadis itu.

“Ustadz Zaenal titip salam,” lanjutnya.

“Beliau benar-benar minta maaf karena baru tahu hari ini. Pagi tadi, beliau harus pergi ke kampung sebelah karena ibunya sakit parah. Beliau sempat kirim pesan agar tidak ada yang menunggunya di surau. Tapi…” Ustazah Laila terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca, tak sanggup melanjutkan karena membayangkan nasib malang Casanova malam itu.

“Hari ini, beliau belum bisa pulang untuk menjengukmu, Nak. Ibu mertua saya sedang sekarat. Kita sama-sama berdoa agar malam nanti, saat pengajian, Ustadz Zaenal bisa sempat pulang sebentar untuk memimpin tahlil,” ucapnya lirih, wajahnya dipenuhi rasa bersalah dan iba.

Meskipun apa yang terjadi pada Casanova bukanlah kesalahan mereka secara langsung, tetap saja rasa bersalah itu menusuk hati Ustazah Laila. Malam saat Casanova dilecehkan, seharusnya tidak ada kegiatan apapun di surau.

Sudah diumumkan bahwa malam itu libur karena Ustadz Zaenal sedang dilanda musibah ibunya jatuh sakit keras. Namun Casanova dengan niat baiknya, tetap datang untuk menyetor hafalan. Dan justru di malam sunyi itu, malapetaka terjadi.

Ustadz Zaenal yang mendengar kabar duka itu langsung meminta istrinya pulang lebih dulu ke kampung. Ia tak bisa ikut, karena harus mendampingi sang ibu yang semakin kritis. Ia berharap Laila bisa hadir untuk mendampingi keluarga Casanova yang sedang hancur. Setidaknya memberi pelukan, atau mungkin menjadi bahu untuk bersandar.

Casanova hanya mengangguk, tapi wajahnya kosong. Matanya sayu dan buram seperti langit mendung yang menahan hujan. Ucapan-ucapan penghiburan dari orang-orang seperti Ustazah Laila hanya terdengar samar di telinganya.

Perasaannya remuk, hatinya koyak. Dunia terasa gelap, seolah malam telah menetap di siang harinya. Setiap bayangan, setiap suara, setiap detik semuanya menakutkan. Luka itu belum kering, dan trauma terus menganga.

"Apa mungkin mereka yang melakukannya?" bisik batinnya lagi, bergemuruh seperti badai yang mengguncang dada.

Wajah-wajah keji para pemuda yang pernah melecehkannya kembali melintas dalam ingatan. Ia mencurigai mereka. Ada firasat, ada luka yang berbisik bahwa mereka bukan hanya pelaku malam itu, tapi juga mungkin bertanggung jawab atas kematian Kayano.

Namun, semuanya tak lebih dari dugaan. Tak ada bukti, tak ada saksi, hanya firasat dan ketakutan yang menari-nari dalam kepalanya.

Menjelang sore, selepas Asar, satu per satu tetangga mulai pulang. Hidangan tahlilan telah disiapkan, dan suasana rumah duka mulai lengang. Hanya tinggal Casanova, Bu Rahmi, dan beberapa tetangga dekat yang masih duduk di ruang depan.

Udara terasa berat. Keheningan menggantung seperti kabut yang menyesakkan dada. Mereka berbincang pelan, suara mereka tenggelam di tengah beban yang tak terlihat, tapi terasa sangat nyata.

“Saya pamit dulu ya, Bu Rahmi. Nanti Ba’da Isya saya kembali lagi,” ujar Ustazah Laila sambil berdiri, matanya menyapu wajah Casanova yang masih tampak kosong.

“Mudah-mudahan suami saya bisa pulang malam ini dan ikut pimpin tahlilan. Doakan saja, ya…Bu” ujarnya.

"Terima kasih banyak, Ustadzah. Tidak apa-apa. Kami dapat maklum. Ustad Zaenal juga sedang tertimpa musibah. Saya doakan semoga ibu segera diberikan kesembuhan," ucap Bu Rahmi lembut, doanya mengalir tulus dari hati yang penuh empati.

Adzan Magrib menggema, memecah keheningan senja. Bu Rahmi dan Casanova bersiap-siap menyambut para bapak bapak yang sebentar lagi akan datang untuk menghadiri tahlilan. Namun baru saja mereka hendak beranjak, suara keras menghentak dari arah pintu depan yang mengejutkan keduanya.

Terdengar gedoran keras di pintu, kasar dan penuh amarah, seakan ingin merobohkan seluruh rumah. Engsel pintu nyaris copot. Disusul pekikan dan seruan dari luar yang menambah kepanikan.

Tanpa peringatan, beberapa pria bertopeng menerobos masuk. Mereka menyerbu seperti badai menerjang ruang tamu, membalikkan perabotan, menghancurkan susunan tampan yang tertata rapi.

Piring-piring melayang dan pecah berserakan di lantai. Mangkuk-mangkuk hancur, dan nasi serta lauk-pauk yang telah disiapkan untuk tamu tahlilan tumpah tak bersisa. Semua berantakan.

“Siapa kalian?! Pergi! Keluar dari sini!” teriak Bu Rahmi dengan suara gemetar. Tubuhnya menggigil, matanya tak bisa menyembunyikan ketakutan yang begitu nyata.

Casanova, yang sedari tadi duduk di sudut ruangan, membeku. Trauma lama yang baru saja ia tekan, kini menyeruak dengan brutal. Ketakutan mencekam jiwanya hingga ia tak mampu bergerak.

Laki-laki asing itu terus mengacak-acak isi rumah. Mereka membongkar lemari, menggeledah laci, merobek bantal, mencari entah apa yang tidak diketahui oleh Bu Rahmi maupun Casanova.

Ketegangan menguasai ruangan. Tak satu pun dari mereka bisa bergerak, seolah waktu terhenti dalam rasa ngeri. Dengan suara parau dan air mata yang mengalir deras, Bu Rahmi akhirnya bersimpuh.

"Tolong… hentikan ini semua. Rumah saya… oh..rumah saya hancur..." isaknya lirih.

Tak ada lagi yang bisa ia lakukan kecuali memohon. Segala persiapan tahlilan yang sejak siang ia rancang kini lenyap tak bersisa berantakan seperti harapan yang direnggut paksa. Segala sesuatu semuanya tumpah ruah di lantai bukan hanya benda, tapi juga harapan dan ketenangan.

"Apa yang kalian cari? Saya ini hanya orang miskin! Tidak ada harta benda yang berharga di sini. "ujarnya.

"Tolonglah… Jangan ganggu pengajian hari ketujuh anak saya. Jangan hancurkan semuanya… Saya mohon tolong pergilah, tolong!" Suara Bu Rahmi pecah, dibungkus isak dan harap yang tulus.

Namun harapannya berakhir di udara, tak satu pun dari mereka menggubris. Para pria itu tetap brutal, tak bergeming. Setelah puas mengobrak-abrik ruang utama, mereka bergegas menuju kamar dalam.

Di sana, Casanova masih terduduk kaku, memeluk tubuhnya sendiri sambil menggenggam ujung kerudung dengan tangan gemetar. Nafasnya tak beraturan, tubuhnya nyaris lumpuh oleh rasa takut yang mencekam.

Salah satu dari pria bertopeng perlahan mendekat. Tubuh besar itu membayangi Casanova yang menyandar lemah di dinding. Tatapan matanya dingin, tak berperasaan. Casanova semakin meringkuk, berusaha menyatu dengan tembok di belakangnya.

“Kami tidak akan lama. Kami hanya mengambil apa yang perlu,” katanya, suaranya datar tapi menusuk.

Kemudian, ia merunduk sedikit, wajahnya nyaris sejajar dengan Casanova.

“Atau… kamu masih ingin merasakan ciuman sekali lagi, Sayang?” bisiknya penuh ancaman yang keji.

Tubuh Casanova membeku. Suara itu. Cara bicara itu. Ia mengenalnya. Ia mencoba membuka mulut untuk berbicara, untuk mengonfirmasi dugaannya.

“Su… suara itu…” kata Casanova dengan gemetar, namun belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, pria itu mencengkeram pipinya keras.

“Kau dan ibumu terlalu sombong!” bisiknya kembali, kini lebih tajam, lebih menyakitkan dari sebelumnya.

BERSAMBUNG...

1
Susi Santi
bgus
Susi Santi
up yg bnyak dong thor
Anyelir
hai kak aku mampir
mampir juga yuk kak ke karyaku
Wida_Ast Jcy: ok say. baiklah...tq ya sudah mampir dikaryaku. 🥰
total 1 replies
Susi Santi
plis lanjut thor
Wida_Ast Jcy: Hi... say. tq ya sudah mampir. Ok kita lanjuti ya harap sabar menunggu 🥰
total 1 replies
Wida_Ast Jcy
jangan lupa tinggal kan jejak nya yah cintaQ. TQ
Wida_Ast Jcy
Jangan lupa tinggal kan jejak nya disini ya cintaq. coment dan like
Wida_Ast Jcy: tq say.... atas komentar nya. yuk ikuti terus cerita nya. jgn lupa subscribe dan like yah. tq 😘
Nalira🌻: Aku suka gaya bahasanya... ❤
total 2 replies
Wida_Ast Jcy
Hi.... cintaQ mampir yuk dikarya terbaruku. Jangan lupa tinggal kan jejak kalian disini yah. tq
Wida_Ast Jcy
😘😘😘
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!