kisah seorang gadis desa yang dicintai sang mafia iblis..
berawal dari menolong seorang pria yang terluka parah.
hmm penasarankan kisahnya..ikutin terus ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Queenzya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Transaksi tengah malam...
Setelah piring-piring makan malam yang semula penuh kini tandas, dan tawa renyah Rara masih sedikit menggantung di udara ruang makan.
Axel beranjak dari kursinya. Sebuah hening tipis menyelimuti, seolah waktu tiba-tiba melambat menyadari ada sesuatu yang akan pecah.
Tatapan Axel beralih dari wajah Rara yang masih tersenyum lembut ke arah jendela yang menunjukkan gelapnya malam.
"Sayang," panggil Axel, suaranya lebih lembut dari biasanya, namun terselip nada serius yang tak terbantahkan.
Rara menoleh, senyumnya sedikit memudar, merasakan perubahan aura dari pria di hadapannya. "Maz jalan dulu ya, ingat, jangan tungguin Maz, tidur cepat." Ia menatap Rara lekat, tatapannya menyiratkan perintah yang tegas namun penuh perhatian, seolah setiap kata adalah janji dan peringatan.
Rara merasakan gelombang kekhawatiran merayap di dadanya. Ia tahu 'jalan dulu' Axel berarti lebih dari sekadar pergi sebentar. Ada sesuatu yang berbahaya di balik kalimat sederhana itu.
"Iya, Maz… hati-hati ya," jawabnya, suaranya sedikit bergetar. Ia ingin bertanya, ingin memohon agar Axel tak pergi, tapi ia tahu diri, memahami bahwa ada dunia lain yang tak bisa ia sentuh, sebuah dunia yang mengikat Axel dengan aturan dan risikonya sendiri.
Axel mengangguk, lalu pandangannya beralih pada sosok yang berdiri di ambang pintu, Maya, pengawal setia Rara. "May, kamu temani Rara sampai ia tertidur, baru kamu boleh pergi,"
perintah Axel, suaranya kembali ke intonasi yang lebih tajam dan dingin. Ia ingin memastikan Rara aman, bahkan saat dirinya tak ada.
"Baik, Tuan," jawab Maya sigap, tak ada keraguan sedikit pun dalam nada suaranya.
Kemudian, Axel menatap Vany dan Vanya, dua pengawal lainnya yang tampak siap siaga di belakang Maya. Matanya menyapu mereka berdua, menilai kesiapan.
"Dan kau Vany, Vanya, ikut aku," ucap Axel, suaranya kini mengeras, memancarkan otoritas penuh.
"Aku ingin mengetes kalian. Malam ini kalian akan mengawal transaksi kita."
Ada nada tantangan dan ketegasan dalam setiap suku kata, seolah ia ingin memastikan mereka benar-benar layak atas kepercayaan yang ia berikan. "Ini bukan hanya sekadar tugas, ini adalah pembuktian," tambahnya dalam hati.
"Siap, Tuan!" jawab mereka serempak, suara mereka menggelegar penuh semangat dan kesetiaan yang tak tergoyahkan.
B"Kami ambil perlengkapan dulu, Tuan," imbuh salah satu dari mereka, melangkah mundur dengan tergesa, diikuti yang lain.
Axel hanya mengangguk kecil, menatap mereka pergi. Pikirannya sudah melayang jauh, mempersiapkan diri untuk malam yang panjang dan penuh risiko. Ia tahu, transaksi ini bukan sekadar uang atau kekuasaan, ini adalah sebuah langkah penting yang akan menentukan banyak hal di masa depan mereka.
terutama masa depan Rara yang begitu ia jaga. Sebuah desahan keluar dari bibirnya. Malam ini, ia harus kembali menjadi Axel yang berbeda, Axel yang dingin dan tanpa cela, sang pemimpin yang tak kenal takut.
Tidak lama setelah Axel beranjak, Vany, Vanya, dan pengawal lainnya muncul kembali. Mereka telah selesai mengambil perlengkapan: rompi antipeluru yang rapi membalut tubuh, senjata yang terselip aman di sarungnya, dan aura keseriusan yang kini menggantikan suasana santai makan malam.
Cahaya lampu ruangan memantul pada kilau logam, menambah kesan tegang pada persiapan mereka.
Mata Mark, yang sedari tadi tak lepas dari Vanya, kini terpanah sepenuhnya. Vanya, dengan rambutnya yang kini terkuncir rapi dan seragam tugas yang pas di tubuhnya, memancarkan aura berbeda.
Ia tampak begitu tangguh, dewasa, dan entah mengapa, jauh lebih memikat dari biasanya. Sebuah kekaguman bercampur sedikit rasa terintimidasi merayap di benak Mark.
Ia menelan ludah, pandangannya tak berkedip.
"Kondisikan mata kamu, Mark!" Suara Rico memecah keheningan, diikuti bantal sofa yang melayang tepat mengenai wajah Mark.
Mark terkesiap, buru-buru menyeringai konyol, berusaha menyembunyikan pipinya yang sedikit merona.
"Kak Rico jangan genit sama Kak Vany, nanti ada yang cemburu," celetuk Rara dengan cekikikan renyah. Mata gadis itu melirik nakal ke arah Maya yang sedari tadi berdiri di dekatnya, ekspresinya tenang, namun bibirnya melengkung tipis membentuk senyum geli.
Maya, yang biasanya dingin dan serius, sedikit salah tingkah. Pipinya bersemu tipis, dan ia menggeser posisi, berusaha menyembunyikan reaksi tak terduganya. Rico tertawa kecil, menikmati momen itu sebelum kembali serius.
VSemua mata kini tertuju pada Axel yang baru saja kembali dari area garasi, aura dominannya mengisi ruangan.
"Mark, ikut transaksi, 'kan?" tanya Axel, nadanya datar namun penuh harapan, seolah ingin Mark merasakan tekanan dari misi ini.
Mark, yang masih sedikit cengengesan karena godaan Rara, segera memasang ekspresi serius.
"Boleh! Daripada gabut," jawabnya cepat, meskipun dalam hati ia tahu ini bukan sekadar 'gabut'. Ini adalah kesempatan untuk membuktikan dirinya, atau setidaknya, melihat lebih dekat dunia Axel yang penuh misteri.
Axel hanya mengangguk kecil, pandangannya tajam dan menghitung. "Baiklah. Siapkan dirimu."
Sementara itu, Maya melangkah mendekat pada Rara. Ia membelai lembut rambut Rara, tatapan matanya melembut. "Rara, kakak akan menemani Nona sampai tertidur." Ada kehangatan dan janji perlindungan dalam suaranya.
Rara memeluk Maya erat, menyalurkan sedikit kegelisahan yang ia rasakan. "Hati-hati ya, maz Axel... Kak Rico... dan Kak Vany, Vanya... serta Kak Mark," bisiknya, suaranya sedikit teredam di bahu Maya. Ia tahu, setiap kepergian mereka adalah risiko, dan ia hanya bisa berdoa dalam hati.
Maya membalas pelukan itu seerat mungkin, seolah ingin mentransfer semua kekuatan dan ketenangan pada Rara. "Pasti," jawabnya singkat namun penuh makna.
Perlahan, Rara melepaskan pelukannya, menatap satu per satu wajah para pengawal yang akan pergi. Ia melambaikan tangan dengan senyum tipis, berusaha tegar.
Vany vanya membalas lambaian Rara, lalu dengan langkah pelan dan penuh kewaspadaan, mereka berjalan mengikuti Axel,maya menemani Rara masuk ke kamar tidur.
Maya duduk disamping Rara, memastikan Rara benar-benar terlelap dalam tidurnya.
napasnya teratur dan tenang. Baru setelah itu, dengan langkah tak bersuara, Maya keluar dari kamar, menutup pintu perlahan.
Sebuah desahan lega bercampur sedikit kekhawatiran menguar dari bibirnya. Kini, bagiannya untuk menjaga Rara dari jauh telah usai, saatnya ia kembali ke garis depan.
Langkah kakinya yang ringan membawa ia menuju kamarnya sendiri untuk berganti pakaian tidur. Namun, sebelum itu, tangannya meraih ponsel.
Jari-jarinya menari di atas layar, mengetikkan sebuah pesan singkat yang ditujukan pada Rico. Hanya tiga kata, namun penuh makna: "Hati-hati, Kak Rico." Ada kekhawatiran yang tulus di balik pesan itu,.
sebuah bentuk perhatian yang jarang ia tunjukkan secara verbal. Ia berharap Rico akan menerima pesan itu sebagai pengingat, bukan beban.
Di sisi lain, tidak lama setelah mereka sampai di markas, suasana tegang mulai menyelimuti seiring persiapan akhir.
Markas itu, sebuah labirin lorong dan ruangan yang sunyi, kini mulai dipenuhi langkah kaki para pengawal yang bersiap.
Handphone Rico tiba-tiba bergetar di sakunya, mengeluarkan nada notifikasi yang sedikit memecah ketegangan.
Ia merogohnya, dan seulas senyum tipis, nyaris tak terlihat, merekah di bibirnya saat membaca nama pengirim: Maya.
Matanya menelusuri pesan singkat itu. Hatinya menghangat seketika. Sebuah gestur kecil dari Maya selalu berhasil menyentuh sisi lain dari Rico yang jarang ia perlihatkan.
Jari-jemarinya yang besar dan kekar membalas dengan cepat, "Siaaap, kesayangan Kakak!" Ia ingin membalas perhatian Maya dengan candaan yang selalu ia gunakan, sebuah cara untuk sedikit mencairkan suasana di antara mereka. Senyumnya melebar.
Namun, bukan Mark namanya kalau tidak jail dan iseng. Sejak tadi, Mark sudah mengintip dari balik tiang penyangga, mengikuti setiap gerak-ik Rico, matanya tak lepas dari ponsel di tangan Rico.
Ia melihat Rico tersenyum, lalu mengetik balasan. Dengan cekatan, ia mengendap-endap mendekat, mengintip layar ponsel Rico tepat saat pesan terkirim.
Begitu membaca isi pesan itu, Mark tidak bisa menahan diri. Sebuah ekspresi jijik yang dibuat-buat langsung terpancar di wajahnya.
"Siap, kesayangan Kakak!" ucapnya menirukan suara Rico dengan nada berlebihan, lalu ia sengaja memperagakan gestur seolah-olah hendak muntah, lengkap dengan suara "Huek!" yang keras, membuat Rico terkejut dan mendelik tajam padanya.
Ia tahu Mark hanya ingin mengganggu, tapi momen hangatnya dengan Maya jadi sedikit terusik.
Mark hanya tertawa terbahak-bahak, puas melihat reaksi Rico. Suasana tegang persiapan misi pun sedikit mencair oleh ulah Mark yang tak ada habisnya.
"Dasar bocah tengil!" gerutu Rico, wajahnya memerah antara kesal dan geli. Ia segera menyambar bantal sofa yang tadi digunakan Mark dan melayangkan tendangan ringan yang nyaris mengenai bokong Mark. Namun, Mark sudah lebih dulu mengantisipasi, melesat kabur dengan tawa mengejek yang menggema di lorong markas, berhasil lolos dari 'hukuman' Rico.
Axel, yang sedari tadi menyaksikan tingkah laku mereka dengan tenang, hanya bisa menggelengkan kepala. Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, tersungging di bibirnya.
Dinamika antara Rico dan Mark selalu berhasil mencairkan suasana tegang, bahkan di tengah persiapan misi penting sekalipun. "Kalian ini, benar-benar seperti Tom dan Jerry," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri, namun suaranya terdengar jelas di keheningan yang tersisa.
Tatapan Axel kemudian beralih pada Tomy, kepala logistik yang berdiri sigap di dekatnya. Aura kepemimpinan Axel kembali memancar, membuat suasana kembali serius.
"Tom, persiapan kita bagaimana?" tanyanya, nadanya datar namun sarat akan tuntutan akan kesempurnaan.
"Sudah beres semua, Bos," jawab Tomy dengan cepat dan yakin, tanpa sedikitpun keraguan. Ia tahu Axel tak suka jawaban bertele-tele.
"Tim intel sudah memetakan rute dan potensi risiko. Senjata dan perlengkapan komunikasi sudah dicek ulang. Mobil sudah disiapkan dan siap berangkat kapan saja."
Axel mengangguk puas. Lalu, pandangannya beralih lagi ke arah Mark, yang kini berdiri canggung setelah kembali dari "pelarian"nya.
"Tolong ambilkan jaket antipeluru untuk Mark," perintah Axel pada Tomy, suaranya tenang namun jelas.
Tomy sedikit terkejut. "Dokter Mark ikut, Tuan?" tanyanya balik, nada takjub bercampur sedikit kebingungan. Mark memang sering berada di markas, namun keterlibatannya dalam misi lapangan yang berbahaya seperti ini adalah hal yang sangat jarang, jika tidak bisa dibilang belum pernah.
Axel tidak menjawab secara verbal, melainkan hanya menganggukkan kepalanya dengan anggukan tegas. Itu sudah cukup sebagai penegasan.
Matanya kembali menatap Mark, seolah ingin memberikan pesan tanpa kata. "Mark, ambil senjatamu buat jaga-jaga," tambahnya, suaranya kini sedikit lebih lembut, namun tetap mengandung perintah. Ia tahu Mark punya keahlian medis yang tak tertandingi, tapi di dunia mereka, setiap orang harus bisa melindungi diri.
Rico, yang kini sudah berdiri di samping Mark, menyeringai jahil. "Kayaknya ada yang udah lupa cara pakai senjata, ya?" ejeknya, menyikut lengan Mark pelan. Ia tahu Mark lebih sering memegang stetoskop daripada pistol. "Jangan-jangan nanti malah salah pegang, terus senjata dijadiin alat bedah lagi!" tawanya.
Mark mendelik. "Enak saja! Mana ada! Aku cuma sedikit... lupa rasanya."
Rico hanya terkekeh.
",aku kasih hukuman mandiin lion! Dijamin langsung ingat lagi!" ancam Rico, nada suaranya dibuat-buat garang, namun matanya memancarkan kejahilan yang jelas. Ancaman itu merujuk pada salah satu hewan buas peliharaan Axel yang dijaga ketat di markas, sebuah lelucon internal yang selalu berhasil membuat Mark bergidik.
Mark spontan bergidik. "Amit-amit!" serunya, membuat Rico terbahak. Suasana tegang persiapan misi sekali lagi sedikit dicairkan oleh interaksi trio ini, sebelum mereka kembali fokus pada tugas berbahaya yang menanti di depan.
Tawa Rico masih menggema, dibalas cengiran jahil Mark yang tak mau kalah. Suasana yang tadinya tegang kini sedikit cair karena tingkah laku mereka.
Namun, Axel, yang sedari tadi hanya mengamati dengan sabar, mulai menunjukkan tanda-tanda jengah. Ada batasan antara candaan dan profesionalisme, apalagi saat mereka akan menjalankan misi berbahaya. Alisnya sedikit terangkat, dan nada suaranya berubah menjadi lebih tajam.
"Vany, Vanya, perlu senjata lagi atau tidak?" tanya Axel, suaranya dingin dan lugas, memotong tawa mereka dengan efek seketika. Pertanyaannya bukan murni tentang senjata, melainkan sebuah peringatan untuk kembali fokus.
"Tidak perlu, Tuan!" jawab Vany dan Vanya serempak, sikap mereka langsung kembali siaga dan profesional, menyadari nada serius dari bos mereka.
Tapi Mark, dengan keberanian yang kadang berbatasan dengan kenekatan, masih belum kapok. "Perlu calon pacar Kak Vanya, ?" goda Mark, matanya mengerling genit ke arah Vanya, bibirnya membentuk senyuman menggoda. Ia tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi kesempatan seperti ini terlalu sayang untuk dilewatkan.
Belum sempat Vanya menjawab, tiba-tiba sebuah pulpen melayang cepat, menghantam jidat Mark dengan bunyi 'tok' yang cukup keras. Mark meringis, mengusap jidatnya yang sedikit memerah. Ia tahu siapa pelakunya.
"Rico! Awas ya, gue balas pokoknya!" ancam Mark, tapi nadanya lebih ke protes manja daripada benar-benar marah. Ia tahu itu hanya bagian dari interaksi 'Tom & Jerry' mereka.
Vanya hanya bisa tersenyum malu-malu, menatap kedua pria itu dengan geli bercampur sedikit rasa canggung. Senyumnya begitu tipis, namun cukup manis untuk membuat Mark salah tingkah.
Vany, yang berdiri di samping Vanya, menyikut lengannya pelan. "Kak, kayaknya Mark suka deh sama Kak Vanya," bisiknya, suaranya pelan nyaris tak terdengar, tapi cukup membuat pipi Vanya sedikit bersemu.
Vanya langsung mendelik pada adiknya. "Hust! Diam, nanti Tuan Axel dengar," perintah Vanya, setengah berbisik, setengah mengancam. Ia tahu Axel tak akan mentolerir keributan terlalu lama.
Dan benar saja, suara Axel yang tajam memecah obrolan bisik-bisik mereka, penuh otoritas yang tak terbantahkan. "Rico, Mark, besok kalian harus pindahin lion ke mansion, dan mandiin lion dan tiger," ucap Axel, suaranya tenang namun jelas sekali berisi hukuman. Nada Axel tak berubah, tapi ancaman itu berhasil membuat wajah Rico dan Mark pucat pasi.
Mereka berdua kompak menolak, secepat kilat. "APA?! TIDAK, TUAN!" teriak Rico dan Mark serempak, ekspresi mereka menggambarkan kengerian yang nyata.
Mandi dan memindahkan macan dan singa dewasa milik Axel yang terkenal buas? Itu sama saja dengan misi bunuh diri!
Sementara Rico dan Mark masih berdebat dan memohon dengan wajah putus asa.
Tomy yang sedari tadi menyaksikan hanya bisa menggelengkan kepala. Ia sudah tidak sanggup lagi menahan tawa yang membuncah di dadanya.
Kali ini, Axel benar-benar memberikan hukuman yang setimpal untuk kekacauan yang mereka ciptakan. Suasana tegang persiapan misi pun kembali sedikit mereda, digantikan oleh gelak tawa Tomy dan ekspresi panik Rico dan Mark.
semua anak buah good Banggt menurut ku kaya di film badabest Banggt 👍
lanjut Thor
Weh Weh obat perangsang dah ga laku lah let lagu lama itu