Sila, seorang gadis karier dari dunia modern yang tajam lidah tapi berhati lembut, terbangun suatu pagi bukan di apartemennya, melainkan di sebuah istana mewah penuh hiasan emas dan para pelayan bersujud di depannya—eh, bukan karena hormat, tapi karena mereka kira dia sudah gila!
Ternyata, Sila telah transmigrasi ke tubuh seorang selir rendahan bernama Mei Lian, yang posisinya di istana begitu... tak dianggap, sampai-sampai namanya pun tidak pernah disebut dalam daftar selir resmi. Parahnya lagi, istana tempat ia tinggal terletak di sudut belakang yang lebih mirip gudang istana daripada paviliun selir.
Namun, Sila bukan wanita yang mudah menyerah. Dengan modal logika zaman modern, kepintarannya, serta lidah tajamnya yang bisa menusuk tanpa harus bicara kasar, ia mulai menata ulang hidup Mei Lian dengan gaya “CEO ala selir buangan”.
Dari membuat masker lumpur untuk para selir berjerawat, membuka jasa konsultasi percintaan rahasia untuk para kasim.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 34
Langit pagi begitu cerah, angin semilir menyentuh dedaunan yang mulai menguning. Di pelataran luar istana, suasana lebih hidup dari biasanya. Hari ini, Rui Feng dan Lang Yue mendapat izin khusus dari Kaisar dan Permaisuri untuk menghadiri pameran rakyat kecil di gerbang luar kota kekaisaran tentu dengan pengawalan dan penyamaran rapi.
Dua anak itu mengenakan pakaian sederhana, tampak seperti anak bangsawan dari keluarga pejabat biasa. Tapi gaya bicara Lang Yue tetap menggemaskan seperti biasa.
“Gege, jangan jauh-jauh! Kalau kamu hilang, Ibu bisa marah,” kata Lang Yue sambil memegang erat tangan Rui Feng.
“Aku tidak akan hilang. Aku akan jadi seperti Ayah. Menjaga siapa pun yang bersamaku,” jawab Rui Feng mantap.
---
Di tengah keramaian, suara ribut terdengar. Seorang pedagang tua berteriak sambil menunjuk dua anak dekil yang tengah berjongkok di dekat lapaknya.
“Itu dua anak maling! Mereka curi roti dan lari!”
Kerumunan langsung bersorak, beberapa orang mendekat dengan amarah. Tapi yang membuat Rui Feng terdiam bukan tuduhannya melainkan sikap dua anak itu yang berdiri tegak, tidak takut, tidak juga menangis.
“Kami tidak mencuri!” seru si kakak seorang remaja laki-laki berusia sekitar dua belas tahun, dengan tubuh kurus tapi tegap.
“Benar! Kakakku cuma lihat roti karena lapar!” sahut adiknya, perempuan kecil bermata tajam, berusia kira-kira delapan tahun.
Rui Feng langsung maju.
“Tunggu!” teriaknya.
Semua orang terdiam. Si Tang yang mengawal mereka langsung mendekat, namun Rui Feng memberi isyarat untuk tenang.
“Aku lihat sendiri mereka tidak mengambil apa pun. Pedagang itu hanya salah sangka.”
Lang Yue ikut maju, wajahnya serius seperti ibunya saat memarahi pengurus dapur. “Mencuri itu salah, tapi menuduh orang baik tanpa bukti juga jahat!”
Beberapa orang mulai ragu. Si Tang kemudian menunjukkan lencana kecil bertanda kekaisaran. “Anak-anak ini dari istana. Jika mereka bersaksi, maka tuduhan ini batal.”
Si pedagang panik dan meminta maaf. Namun dua kakak adik itu tetap berdiri tanpa menunduk, menatap semua orang dengan kepala tegak.
---
Saat kembali ke istana, Lang Yue dan Rui Feng tidak berhenti membicarakan dua anak itu.
“Mereka keren banget ya, Gege. Nggak nangis meski dituduh!”
“Benar. Wajah mereka... seperti Ibu saat menghadapi para menteri cerewet,” sahut Rui Feng bangga.
Mei Lin menyambut mereka di taman dalam. Setelah mendengarkan cerita dari anak-anaknya, ia langsung meminta Si Tang menyelidiki asal-usul dua kakak adik itu.
Ternyata mereka anak dari penjaga hutan yang tewas dalam serangan bandit dua tahun lalu. Sejak itu, keduanya menghidupi diri sendiri dengan bekerja serabutan, tanpa kerabat.
---
Sebuah Keputusan Permaisuri
Keesokan harinya, dua anak itu dipanggil ke aula samping tempat Permaisuri biasanya menerima tamu penting. Mereka sudah bersih, berpakaian layak, tapi tetap menunjukkan kebanggaan dalam diri mereka.
“Kau bernama siapa?” tanya Mei Lin lembut.
“Namaku Yao Zhen,” jawab sang kakak.
“Dan aku Yao Mei,” jawab sang adik.
Mei Lin tersenyum dan melirik dua anaknya. “Feng dan Yue ingin kalian tinggal di sini. Tapi bukan sebagai beban... sebagai bagian dari keluarga.”
Yao Zhen sempat menolak. “Kami tidak ingin dikasihani.”
“Kami juga tidak mengasihani,” potong Rui Feng cepat, “Tapi kamu harus menjaga Ibu dan aku saat besar nanti. Jadi kamu harus belajar jadi pengawal dari sekarang!”
Lang Yue juga mencolek Yao Mei. “Dan kamu bisa jadi temanku. Kamu bisa baca dan menulis?”
“Belum...”
“Bagus. Aku juga kadang masih bingung huruf-huruf sulit. Jadi kita belajar bareng!”
Mei Lin tertawa pelan. “Mulai hari ini, Yao Zhen akan menjadi pelindung muda Feng, belajar bersama para pengawal pribadi. Dan Yao Mei... akan menjadi pendamping kecil Lang Yue. Belajar, bermain, dan tumbuh bersama.”
Istana yang dulu penuh perebutan kini menjadi tempat di mana dua anak kecil bisa mengubah hidup dua anak yatim hanya dengan keberanian sederhana.
Dan di antara tawa mereka, Permaisuri Mei Lin menatap langit dengan damai.
“Jika suatu hari mereka tumbuh menjadi pelindung dan pemimpin... maka dunia akan baik-baik saja.”
...----------------...
Suara tabuh pelatihan pagi menggema lembut dari halaman dalam. Cahaya matahari menyapu lembut ubin putih, menari di antara jejak langkah kecil yang penuh semangat.
Rui Feng dan Yao Zhen tengah berlatih pedang ringan bersama dua pengawal utama istana, sementara Lang Yue dan Yao Mei duduk di bawah pohon plum, masing-masing memegang buku bambu dan lembaran lukisan.
Hari-hari baru telah dimulai. Tidak hanya sebagai anak-anak istana, tapi sebagai calon pemimpin dan pelindung masa depan.
--
“Gege, jangan terlalu banyak gaya! Kamu tadi hampir jatuhin pedangnya ke kaki!” seru Lang Yue dari kejauhan.
Rui Feng mendengus. “Itu bagian dari teknik angin berputar!”
Yao Zhen, yang lebih tenang, menunduk sopan pada pengawal yang mengajarnya. “Maafkan kami. Tapi putra mahkota memang suka... menambahkan gaya pribadi.”
Pengawal itu hanya tersenyum kaku. “Kami sudah mulai terbiasa... sedikit.”
Tiba-tiba, Rui Feng terpeleset karena air yang belum sempat mengering di lantai batu.
“Duk!”
Lang Yue langsung tertawa terpingkal-pingkal. “Hahaha! Itu teknik terbang rendah ya, Gege?”
Rui Feng duduk, wajah merah, lalu ikut tertawa. “Baiklah! Hari ini aku belajar: jangan sombong sebelum kaki kering!”
---
Pelajaran Lukis dan "Bencana Warna"
Di sisi lain, Yao Mei dengan tekun menggambar bunga teratai.
Lang Yue justru sedang melukis... wajah seekor kucing yang sangat mirip dengan pengawal Si Tang, lengkap dengan cambang tebal dan alis turun.
“Kalau paman Si Tang lihat ini, dia bakal pensiun lebih cepat,” bisik Yao Mei.
Lang Yue mengangguk mantap. “Makanya kita simpan di lemari rahasia di belakang aula tidur Ibu.”
Tak lama kemudian, pelayan dapur lewat membawa nampan buah. Melihat lukisan itu, pelayan itu refleks tertawa.
“Eh? Ini wajah siapa?”
“Psst! Rahasia negara!” ujar Lang Yue sambil menaruh telunjuk di bibirnya.
---
Kehidupan yang Menghangatkan Istana
Beberapa hari berlalu. Hubungan keempat anak itu semakin erat. Mereka belajar bersama, bermain bersama, dan kadang saling memarahi... tapi selalu berakhir dengan pelukan atau lemparan bantal kecil.
Mei Lin yang mengawasi dari jauh, sering kali menahan senyum.
“Kaisar, lihat mereka. Si kecil Yue sudah bisa menulis huruf ‘langit’, tapi menulis ‘air’ seperti huruf ‘bebek’,” lapornya suatu malam sambil menyodorkan kertas tulisan anaknya.
Liang Xu tertawa. “Itu lebih baik daripada aku dulu. Aku menulis ‘kekuatan’ seperti ‘rumput tebal’.”
---
Malam itu, keempat anak itu menyelinap ke dapur utama. Yao Mei memimpin.
“Kita buat camilan untuk Ibu!”
“Tapi jangan racun kayak waktu Lang Yue nyampur garam dan gula ya!” kata Rui Feng.
Lang Yue cemberut. “Itu eksperimen rasa!”
Setelah berbagai kegagalan, akhirnya mereka berhasil membuat semacam bola nasi berisi daging yang dilapisi rumput laut dan disiram saus manis.
Paginya, saat Mei Lin mencicipi, ia langsung menangis—bukan karena rasa, tapi karena hati.
“Siapa yang buat ini?”
“Kami!” serempak empat suara kecil menjawab bangga.
Hari-hari yang berlalu terasa seperti musim semi yang tak habis. Istana yang dahulu penuh intrik kini ramai oleh tawa anak-anak dan langkah kaki kecil yang penuh semangat.
Rui Feng tumbuh sebagai pewaris yang tidak hanya kuat, tapi juga bijak dan rendah hati.
Lang Yue tumbuh sebagai putri yang jenaka, penuh rasa ingin tahu, dan sangat melindungi orang-orang kecil.
Yao Zhen dan Yao Mei—anak-anak yatim yang kini tumbuh di bawah naungan kekaisaran—menjadi bayangan dan kekuatan yang menjaga sang pewaris dan adiknya.
Dan Mei Lin tahu...
Dunia sedang berubah.
Bukan karena perang, tapi karena hati kecil yang mulai membawa terang.
Bersambung
sellu jga keshtn tetp 💪💪💪💪💪💪🫶🫶🫶