“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”
Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.
Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.
Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.
Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
EMPAT BULAN KEMUDIAN – RUMAH SAKIT INGGRIS
Ruangan pemeriksaan dipenuhi dengan cahaya siang yang hangat.
Risa duduk di samping, menggenggam tangan Aditya yang berbaring di ranjang periksa.
Seorang dokter spesialis ortopedi berdiri di depan mereka dengan senyum tenang.
"Pak Aditya, berdasarkan hasil rontgen dan proses pemulihan sejauh ini... kita bisa melepas gipsnya hari ini." ucap dokter
Risa menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Aditya menelan ludah, lalu mengangguk pelan.
"Terima kasih, Dok."
Dokter dengan hati-hati memotong dan melepas gips dari kaki Aditya.
Kaki yang selama berbulan-bulan terbungkus itu kini bebas. Tampak bekas luka dan otot yang sedikit menyusut, namun tidak ada tanda komplikasi serius.
"Untuk sementara, gunakan tongkat ini. Kita akan lanjutkan dengan fisioterapi ringan. Tapi ini awal yang baik, Pak Aditya."
"Mas… kamu bisa berdiri lagi."
Aditya pelan-pelan bangkit dari ranjang. Dengan sedikit gemetar dan bantuan kruk, ia mencoba berdiri. Lututnya bergetar, tapi ia berhasil menapak.
"Aku berdiri lagi, Ris… karena kamu." Aditya berdiri di hadapannya.
Risa tersenyum, air matanya jatuh perlahan. Ia tidak berkata apa-apa, hanya mendekap suaminya dengan hati yang penuh syukur.
Beberapa Minggu Kemudian – Pusat Fisioterapi
Ruangan fisioterapi diisi suara mesin ringan dan semangat para pasien.
Aditya, mengenakan pakaian olahraga dan menggunakan kruk, sedang mengikuti instruksi dari fisioterapis.
Risa duduk di bangku di dekat kaca besar, menyemangati setiap langkah kecil suaminya.
"Bagus, Pak Aditya. Coba tanpa kruk sekarang, hanya dua langkah."
Aditya menarik napas dalam-dalam, lalu mencoba. Satu langkah.
Kemudian satu lagi. Ia hampir kehilangan keseimbangan, tapi Risa berdiri dan langsung menangkap lengannya.
"Aku nggak akan biarkan kamu jatuh." ucap Risa
"Kalau kamu terus jagain aku, mungkin aku bisa lari."
SETELAH FISIOTERAPI – DI TAMAN RUMAH SAKIT
Sambil duduk di bangku taman, udara musim semi Inggris menyentuh lembut wajah mereka. Bunga bermekaran. Langit cerah.
"Ris… aku tahu semua ini belum mudah buat kamu. Tapi mumpung kita masih di Inggris, dan kamu belum terlalu sibuk… bagaimana kalau kita… bulan madu?"
Risa tertawa pelan, kaget dan tersentuh.
"Bulan madu? Dengan kamu pakai tongkat?"
"Bisa dong. Kan bisa naik kereta, atau jalan pelan-pelan. Kita nggak perlu jauh-jauh. Ke Cotswolds, atau mungkin Edinburgh? Yang penting kita berdua." ujar Aditya sambil memeluk tubuh istrinya.
Risa menatap suaminya, lalu mengangguk pelan.
"Aku siap. Tapi kamu yang bawa koper ya."
"Lho, aku jalan aja baru bisa dua langkah!"
"Makanya biar kamu makin semangat pulih!"
Pagi Hari di Apartemen Sementara – Inggris
Risa baru selesai menyiapkan sarapan ketika ponselnya berdering. Terlihat nama “Mama” di layar. Ia langsung mengangkat.
“Halo, Ma…"
“Risa sayang, Mama sudah pesan hotel bintang lima untuk kamu dan Aditya. Lokasinya di Lake District. Itu hadiah dari Mama dan Papa, untuk kalian… kado pernikahan yang tertunda.”
Risa terdiam sejenak, matanya mulai berkaca-kaca.
“Ma… terima kasih. Tapi ini terlalu mewah…” ucap Risa.
“Kalian berdua sudah melalui banyak hal. Sekarang waktunya menikmati hidup sebagai suami istri. Biar Mama dan Papa yang urus semua, kamu tinggal bawa Aditya dan cintamu ke sana.”
“Iya, Ma. Terima kasih… kami akan ke sana.”
Kemudian Risa Menceritakan pada Aditya yang sedang duduk di sofa, memijat betisnya yang masih terasa tegang. Risa duduk di sebelahnya dan menggenggam tangannya.
“Mas… kita bulan madu.”
“Hah? Maksudnya?” tanya Aditya dengan wajah kebingungan.
“Hadiah dari Mama dan Papa. Hotel bintang lima di Lake District. Kamar sudah dipesan. Tinggal berangkat.”
Aditya terdiam. Air mata menahan di sudut matanya.
“Aku… benar-benar bersyukur kamu nggak pernah ninggalin aku.”
“Dan aku bersyukur kamu masih ada buat aku.” ucap Risa sambil mencium pipi suaminya.
Koper-koper kecil mulai dipersiapkan. Tiket kereta dipesan. Dalam hati mereka, ada perasaan hangat — bahwa di balik badai, selalu ada pelangi.
Sementara itu di tempat lain dimana, Seorang pria berjas abu-abu duduk di depan meja panjang.
Tatapannya dingin menatap laporan transfer dana kompensasi yang telah diberikan kepada keluarga korban kecelakaan.
Di sebelahnya, seorang pengacara senior memaparkan rincian dana yang disalurkan.
“Semua keluarga telah menerima kompensasi. Tidak ada lagi gugatan terbuka. Secara hukum… kita bersih.” ucap pengacara.
Pria itu — CEO maskapai — menutup map dengan keras.
“Kita mungkin bersih secara hukum, tapi reputasi kita hancur karena satu wanita. Risa…” ucap Leonardo
Ia menyebut nama itu dengan nada penuh kebencian.
“Dia telah mempermalukan perusahaan ini. Membuat simpati publik jatuh ke pihak Aditya. Padahal kita bisa mengubur semuanya.”
“Tuan… kalau saya boleh sarankan, kita…”
“Tidak. Aku akan membalas perbuatannya. Risa harus tahu siapa yang sedang dilawan.”
“Tapi dia bukan hanya pengacara… dia juga penulis yang berpengaruh sekarang. Rakyat bersimpati.”
“Bahkan gunung yang paling tinggi pun bisa runtuh jika digali dari dasarnya. Cari kelemahan Risa. Masa lalunya. Kesalahannya. Atau bahkan orang-orang di sekitarnya…” Leonardo menatap tajam ke arah pengacaranya.
“Baik, Tuan. Kami akan mulai penyelidikan diam-diam.”
MARKAS MASKAPAI — MALAM HARI
Lampu remang menyinari ruang kerja CEO maskapai. Di hadapannya, layar laptop menampilkan hasil penyelidikan catatan dari masa lalu Risa yang seharusnya telah terkubur.
Terlampir adalah laporan investigasi ilegal yang dilakukan oleh detektif bayaran—tentang insiden tragis saat Risa masih duduk di bangku SMA.
“Jadi ini rahasiamu, Risa... Luka lama yang kau sembunyikan bahkan dari suamimu.”
Ia memutar kursinya, lalu berdiri dan berjalan ke jendela, memandang kota yang gemerlap.
“Waktu membalasmu sudah dekat. Kamu mempermalukan perusahaan ini. Sekarang, giliranmu yang merasakan kehancuran.”
“Tuan, ini informasi sangat sensitif. Jika ini bocor, Anda bisa dituntut atas pelanggaran privasi.”
“Bocorkan tanpa jejak. Buat seolah-olah itu dari orang dalam sekolah atau dari alumni. Pastikan media mendapatkannya... secara ‘kebetulan’. Aku ingin Risa hancur—secara publik, pribadi, dan emosional.”
Disisi lain dimana Risa dan Aditya sedang berbulan madu.
Risa tertawa kecil di balkon, menikmati udara malam. Aditya, dengan kruknya, menghampiri.
“Kapan terakhir kita begini?”
“Belum pernah. Tapi sekarang, kita punya waktu.”
Tiba-tiba ponsel Risa bergetar. Puluhan notifikasi masuk. Judul-judul media mulai muncul:
“Rahasia Kelam Sang Penulis dan Pengacara Terungkap”
“Risa, Istri Pilot Aditya, Menyimpan Luka Trauma Masa Lalu”
Risa terdiam, wajahnya memucat. Aditya mengambil ponselnya dan membaca berita itu.
“Ris... apa ini?” tanya Aditya yang bingung membaca berita itu.
“Ini... masa laluku... yang tidak pernah aku ceritakan pada siapa pun…” Risa menatap wajah suaminya dan penuh ketakutan.
Ia sudah menutup semua masa lalunya dan sekarang masa lalunya kembali.
tata bahasanya bagus, enak dibaca
moga happy ending