Karena kejadian di malam itu, Malika Zahra terpaksa harus menikah dengan pria yang tidak dicintainya.
"Argh! kenapa aku harus menikah dengan bocah bau kencur!" gerutu seorang pria.
"Argh! kenapa aku harus menikah dengan pak tua!" Lika membalas gerutuan pria itu. "Sudah tua, duda, bau tanah, hidup lagi!"
"Malik! mulutmu itu!"
"Namaku Lika, bukan Malik!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aylop, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Demi Boni
"Mana Evan?" tanya Bunda saat Lika masuk seorang diri.
"Om Evan sudah pulang, bun." jawab Lika.
"Kamu bertengkar dengannya?" tanya ayah langsung menebak jika keduanya belum akur.
Lika menggeleng cepat tanda mereka tidak bertengkar.
"Kami baik-baik saja."
"Lika, kamu harus melayani kebutuhan suamimu. Masa kamu tinggal sendiri dia," ucap Bunda. Katanya besok Evan akan dinas luar, seharusnya Lika mempersiapkan kebutuhannya.
"Om Evan mandiri, bun. Ia biasa melakukan semua sendiri." alasan Lika mengucapkan dengan sangat yakin.
"Lika ke kamar dulu, sudah ngantuk." wanita itu kabur untuk menghindari pembahasan itu.
Sampai kamar, Lika langsung membaringkan diri di tempat tidur empuknya.
"Kak Lika, mas Evan mana?" tanya Caca. Tadi yang didengar akan menginap.
"Sudah pulang dia. Mau dinas luar kota lagi, Ca." jawab Lika.
"Kak Lika, bagaimana menikah dengan pria tampan?" tanya Caca. Menurutnya Evan itu pria tampan juga dewasa. Keren dan sosok yang bertanggung jawab.
Lika menunjukkan wajah jijiknya. Pak tua itu dibilang tampan.
"Tampan? Wajah begitu dibilang tampan? Jeleknya bagaimana lagi?" Lika tidak habis pikir pak tua itu dibilang tampan. Dilihat darimana?
"Tampan loh itu kak, mas Evan punya adik nggak? Kenalkan padaku, kak!" pinta Caca sambil mengedip-ngedipkan matanya.
Om Evan saja tampan, pasti adiknya juga tampan.
Lika menjewer telinga adiknya. "Belajar yang benar! Tidak ada pacar-pacaran!"
Caca pun mengcemberutkan wajahnya.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Evan bangun tidur dan merentangkan tangan sebentar lalu bangkit dan menuju dapur.
Pria berwajah bantal tersebut membuat secangkir teh hangat.
'Dia belum bangun?' batin Evan melirik ke kamar Lika.
Sesaat Evan pun baru ingat jika Lika tidak di rumah. Si Malik menginap di rumah orang tuanya sampai hari resepsi tiba.
Wajah Evan tersenyum bahagia, akhirnya bebas dari bocah labil dan bau kencur itu.
Ia bisa menikmati hidup dengan tenang dan damai. Tanpa konflik dan peperangan.
Beberapa saat kemudian, Evan sudah bersiap. Ia akan berangkat ke kantor. Hari ini ia sudah mulai masuk kerja kembali setelah cutinya beberapa hari ini.
Di jalan, Evan mengendarai mobil dengan kecepatan sedang membelah jalanan pagi yang begitu cerah.
Ya pagi ini begitu cerah bagi Evan, meski sebenarnya cuaca sedang mendung.
Evan kini telah sampai di ruangannya. Ia kembali sibuk dan fokus dengan setumpuk pekerjaan. Meski perusahaan ini milik papanya, tapi ia sama dengan karyawan lainnya. Harus bekerja dan menyelesaikan tanggung jawabnya.
Berhenti sesaat, Evan berdiri di depan jendela menatap pemandangan di luar gedung. Hujan turun begitu deras dan membasahi bumi.
Duar,
Duar,
Duar, suara petir juga ikut mengiringi.
Mendadak Evan mengingat ketakutan si Malik saat itu. Saat suara petir bocah kematian itu langsung memeluknya. Memeluknya dengan begitu erat.
'Lagi apa ya si Malik?' pikirnya.
Suara petir bersahut-sahutan, mungkin saja si Malik saat ini sedang menangis dan memeluk keluarganya.
Evan tersenyum tipis saat mengingat wajah si Malik yang ketakutan. Wajah ketakutan yang membuat orang jadi kasihan dan merasa lucu juga.
Tapi tiba-tiba wajah Evan mendadak datar. Ia merutuki diri yang malah memikirkan si Malik.
Evan kembali duduk di kursi kebesarannya dan akan kembali menyelesaikan tanggung jawab lalu pulang ke rumah.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Bunda," ucap Lika pelan. Ia memeluk bundanya sambil berbaring.
Hujan turun dengan deras dan suara petir juga sahut-sahutan. Lika sangat takut sekali.
"Sebentar lagi reda." Bunda menenangkan. Dari kecil Lika memang paling takut dengan suara petir.
Lika mengangguk dan memejamkan mata. Ia akan tidur saja, jadi saat bangun hujan sudah berhenti dan tidak ada petir lagi.
Tak lama kemudian, Lika bangun sambil merentangkan tangan. Ia melihat sudah pukul 3 saja.
Dilihatnya langit sudah cerah, hujan telah berhenti.
Ponsel bergetar dan Lika melihat penelepon. Wajah Lika begitu bahagia dan langsung menjawab panggilan tersebut.
"Halo, sayang."
Setelah menunggu sekian purnama, akhirnya Boni menelepon juga.
"Lika, maaf. Beberapa hari ini aku sangat sibuk sekali. Kamu tahu kan aku harus bekerja untuk masa depan kita." ucap Boni dari seberang sana. Suaranya begitu lelah sekali.
"Iya, aku mengerti Bon." ucap Lika dengan nada bergetar. Mendadak merasa bersalah. Boni berjuang untuk masa depan mereka, sedang dirinya malah sudah menikah dengan pria lain.
Lika merasa bersalah, ia akan membuat Boni terluka.
"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Boni ingin tahu.
"I-itu-," Lika mendadak bingung dan takut untuk mengatakan tentang kejujuran. Bahwa ia telah menikah, sangat takut bagaimana nanti tanggapan Boni.
"Aku merindukanmu." Lika memilih mengatakan hal lain. Belum berani untuk berterus terang.
"Kamu sabar ya, Lika. Aku sedang berujuang demi kamu." ucap Boni lagi.
Hati Lika begitu hancur, ia akan menyakiti pria sebaik Boni.
"Oh iya, Lika. Aku bisa minta tolong sama kamu." ucap Boni pelan.
"Minta tolong apa?" tanya Lika ingin tahu.
"Aku sedang mengalami kesulitan. Aku tidak sengaja menabrak mobil orang karena begitu kelelahan pulang kerja dan harus membayar ganti rugi." jelas Boni dengan nada tertekan.
"Astaga, kamu tidak apa-apa? Apa ada yang terluka?" tanya Lika dengan air mata berlinang. Ia takut terjadi sesuatu dengan Boni.
"Aku tidak apa-apa, cuma mobilnya jadi penyok. Aku kurang hati-hati." ucap Boni lagi.
Lika bernapas lega. Boni tidak terluka.
"Aku diminta ganti rugi sebanyak 100 juta, Ka." ucap Boni dengan lemah. Intinya inilah makanya dia menelepon Lika.
"100 juta?" Lika kaget mendengar nominal ganti ruginya.
"Mobil mewah, ka. Makanya mahal."
Lika tidak bisa berucap lagi, mendadak bingung jadinya.
"Kamu punya tabungan? Aku pinjam dulu. Nanti aku cicil tiap bulan." ucap Boni.
"Aku tidak punya uang sebanyak itu." Lika ingin menolong. "Bagaimana jika pakai uang tabungan bersama kita saja dulu." saran Lika. Mereka punya tabungan bersama.
"Tidak bisa! Itu untuk masa depan kita!" Boni menolak.
"Tapi, Bon-"
"Aku tidak mau mengecewakanmu, Lika. Aku akan mencari uang untuk ganti rugi itu, aku diberi waktu sampai seminggu." jelas Boni lagi.
"Sudah kamu tenang saja. Aku yakin bisa mengatasi masalah ini!"
Lika mengusap air matanya, ia ingin membantu calon suaminya itu. Tapi ia tidak punya uang sebanyak itu.
"Aku akan membantumu. Aku akan usahakan membantu setengahnya." ucap Lika. Ia ingat Evan. Pak tua itu kaya, pasti punya uang.
"Aku tidak mau menyusahkanmu!"
"Aku tidak merasa begitu."
"Lika, terima kasih. Kamu memang wanita baik, masih berada di sisiku saat aku terpuruk seperti ini!"
"Boni, kita akan selalu bersama dalam senang ataupun susah."
"Lika, aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu, Boni."
Tak beberapa lama kemudian, panggilan itu pun berakhir.
Lika kini menatap nama kontak di layar ponselnya. Pak Tua,
Dengan menarik napas panjang terlebih dahulu baru Lika menelepon.
"Hmm," jawab suara bariton dari seberang sana.
"Om Evan," ucap Lika. Ia harus melakukan semua ini demi Boni.
"Apa?" tanya Evan dengan nada malas.
"Aku mau minjam uang 100 juta,"
"Apa?"
.
.
.
gmn hayo Lika, jadi gak minjem uang ke Evan untuk transfer Boni? 😁
Van, tolong selidiki tuh Boni, kalau ada bukti yg akurat kan Lika biar sadar tuh Boni hanya memanfaatkan dan membodohi nya doang
makanya jangan perang dunia trs, romantis dikit kek sebagai pasutri 😁