Inaya tidak pernah menyangka pernikahan yang ia paksakan dengan melanggar pantangan para tetua, berakhir dengan kabar kematian suaminya yang tidak ditemukan jasadnya. Selama dua tahun ia menunggu, berharap suaminya masih hidup di suatu tempat dan akan kembali mencarinya.
Akan tetapi, ia harus kecewa dan harus mengajukan gugatan suami ghaib untuk mengakhiri status pernikahannya.
Fatah yang sudah lama menyukai Inaya akhirnya mengungkapkan perasaannya dan mengatakan akan menunggu sampai masa iddahnya selesai.
Mereka akhirnya menikah atas restu dari Ibu Inaya dan mantan mertuanya.
Akan tetapi, saat mereka sedang berbahagia dengan kabar kehamilan Inaya, kabar kepulangan Weko terdengar. Akankah Inaya kembali kepada Weko dan bercerai dengan Fatah atau menjalani pernikahan dengan bayang-bayang suami pertamanya?
.
.
.
Haloo semuanya, jumpa lagi dengan author. Semoga semua pembaca suka..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ke Rumah Inaya
Hari demi hari berlalu, hari ini adalah libur Inaya. Sesuai dengan janji Weko, hari ini mereka akan berkunjung ke rumah Sintya yang ada di kota sebelah.
Bapak dan Ibu Sintya menitipkan beberapa barang untuk anak mereka, begitu juga dengan kedua orang tua Weko yang menitipkan uang untuk Sintya. Setelah berpamitan, keduanya berangkat dengan berboncengan motor.
Sekitar satu jam kemudian, mereka memasuki kota tempat Sintya tinggal. Sebelum menuju rumah Sintya, keduanya lebih dulu singgah di sebuah toko perlengkapan bayi untuk membeli hadiah. Hal ini mereka lakukan karena Weko tidak mau terlalu banyak bawaan saat mereka berkendara.
“Baju ini bagus, Dek!” kata Weko yang melihat deretan pakaian bayi berwarna-warni.
“Bagus, Mas.” Inaya mengambil dua pakaian bayi Perempuan berwarna pink dan ungu.
“Ambil keduanya. Sama apa lagi?”
“Gendongan, Mas.” Inaya memilih gendongan m-shape dengan warna feminim, kemudian pergi ke kasir untuk membayar.
Saat keluar, Weko menghentikan Inaya sebelum naik ke motor.
“Kenapa tidak pakai ATM yang aku berikan? Kata Pak Ustadz, uangmu itu uangmu sendiri sedangkan uangku itu adalah uangmu juga.”
“Iya, Mas. Aku akan menggunakannya nanti. Tapi kali ini biarlah aku membayarnya dengan uangku. Kita saling melengkapi.” Weko tidak lagi mendebat.
Ia menganggukkan kepalanya dan mulai menyalakan motor. Saat motor mereka sampai di pelataran rumah Sintya, di sana ada Teguh yang sedang duduk di teras.
“Kalian datang!” seru Teguh yang segera membukakan pagar rumah.
“Iya, Mas.”
“Ayo masuk!” ajak Teguh.
“Langsung ke kamar saja, mbakmu ada di dalam.” Kata Teguh kepada Inaya.
Inaya mengangguk dan masuk ke dalam kamar yang ditunjukkan Teguh. Sintya menjawab salam Inaya tanpa melihat ke arahnya karena sedang menyusui bayinya.
“Kamu kesini saja aku sudah senang, Dek!” kata Sintya menerima hadiah dari Inaya.
“Ini titipan dari Ibu, Mbak. Dan di motor juga ada titipan dari Bapak Ibu Mbak Sintya.”
“Iya. Nanti biar Mas Teguh yang ambil.”
“Kamu sudah ada tanda-tanda belum, Dek?”
“Belum, Mbak.” Jawab Inaya tersenyum.
Pertanyaan yang sudah ia dengar dari beberapa hari yang lalu, membuatnya tahu maksud dari Sintya.
“Kamu tidak KB kan, Dek?” Inaya menggeleng.
“Baguslah! Anak itu tidak perlu di tunda.” Inaya mengangguk.
Ia sedang fokus dengan pipi gembul anak Sintya yang sedang terlelap. Ia yang terkenal jutek di desanya, sangat disukai anak-anak dan dia juga menyukai anak-anak karena baginya anak-anak adalah hiburan tersendiri.
Cukup lama keduanya di rumah Sintya. Mereka juga makan siang di sana karena Teguh sudah memesankan makan siang untuk mereka. Sekitar jam 2, Inaya dan Weko berpamitan karena jika sore sedikit jalanan akan dipenuhi buruh pabrik yang mana akan menyebabkan macet.
Sintya melepas kepergian keduanya dan mengatakan agar hati-hati di jalan. Begitu sampai rumah, Inaya segera mandi karena dirinya merasa gerah. Ia yang terbiasa tinggal di pinggiran hutan masih tidak terbiasa dengan panas di pesisir. Sehari, Inaya bisa mandi sampai 4 kali karena merasakan gerah.
“Apa perlu pasang AC?” tanya Weko saat Inaya keluar dari kamar mandi.
“Tidak, Mas. Nanti lama-lama juga terbiasa.”
Weko mengangguk dan mengajak Inaya untuk beristirahat karena saat di rumah Sintya, istrinya sering menguap. Salahnya yang membuat Inaya terjaga semalaman.
Beberapa minggu kemudian, usia pernikahan keduanya masuk usia satu bulan. Inaya mengajak Weko untuk berkunjung ke rumah sang ibu saat dirinya libur. Tentu Weko tidak keberatan.
Mida yang tahu Inaya akan pulang ke rumah, membungkuskan terasi buatannya dan cumi kering untuk diberikan kepada besannya. Sedikit-sedikit, sikap Mida kepada Inaya tidak lagi acuh seperti saat pertama kali.
Inaya menerima bungkusan itu dengan senyuman. Setelah berpamitan, keduanya berangkat ke rumah Inaya yang jaraknya sekitar 30 menit dengan menggunakan motor.
“Kenapa tidak kasih kabar kalau pulang?”
“Kenapa, Bu? Apa aku tidak boleh pulang?” tanya Inaya sambil mencium punggung tangan Ranti, diikuti Weko.
“Bukan begitu. Hari ini ibu mau pergi ke rumah Wati. Anaknya mau menikah besok.”
“Ibu pergi saja tidak apa-apa, kami pulang nanti malam. Iya kan, Mas?” Weko menganggukkan kepala sambil tersenyum.
“Ya sudah. Kamarmu tidak ada yang menempati, kamu bersihkan dulu sebelum istirahat.”
“Iya, Bu. Apa aku perlu menyumbang?”
“Tidak perlu. Anaknya Wati bukan temanmu. Cukup Ibu saja yang kembalikan sumbangannya kemarin.” Setelah mengatakannya, Ranti pergi keluar.
“Tunggu di sini, Mas. Aku bersihkan kamar dulu.”
Inaya masuk ke kamar dan membersihkan kamarnya yang masih sama seperti saat terakhir kali ia tinggalkan. Setelah menyapu dan membersihkan debu, Inaya mengganti seprai dan menyalakan kipas.
“Istirahat di kamar, Mas! Aku buatkan kopi sebentar.” Kata Inaya yang membawa seprai ke belakang.
Bukannya masuk kamar, Weko justru mengikuti Inaya yang merendam seprai dan membuat kopi. Weko memperhatikan istrinya yang ke sana-kemari membersihkan rumah. Mulai dari mencuci piring, mencuci pakaian sampai menyapu seluruh rumah dan halaman.
“Sudah semua?” tanya Weko.
“Sudah, Mas.”
“Minum dulu.”
“Terima kasih, Mas.” Inaya menerima segelas air dari suaminya dan meneguknya.
Keduanya masuk ke kamar dan beristirahat. Saat terdengar suara adzan, Inaya bangun dan membangunkan suaminya. Mereka keluar dari kamar dan terkejut dengan kedatangan Yanti yang membanting pintu.
“Kenapa dia?” tanya Inaya kepada Dani yang mengikuti di belakang.
“Biasa. Mokong1!” jawab Dani dengan wajah kesal.
“Kenapa? Apa kamu bertanya masalah dia diantar kemari?” Dani terdiam.
Tebakan Inaya tepat sasaran karena Dani penasaran dengan masalah yang ditimbulkan sang adik, sampai-sampai di kembalikan kemari. Ia sudah menahannya sejak lama, tetapi Yanti yang tidak bisa diajak kompromi membuatnya kehilangan kesabaran.
“Adikmu menyentuh barang haram.” Dani menatap nyalang ke arah Inaya.
“Kenapa? Kamu tidak percaya?”
Melihat Dani yang hanya diam, tebakan Inaya lagi-lagi benar. Ia sudah curiga sejak kedatangan Yanti. Tanda-tanda seperti mudah emosi, sering melamun, mata yang tidak fokus, menjadi awal kecurigaan Inaya.
Seorang ayah tidak mungkin meninggalkan anaknya begitu saja dan mengatakan tidak lagi bisa mendidik jika kesalahan yang dilakukan Yanti hanya masalah kecil. Maka Inaya menyimpulkan Yanti memegang barang haram itu, sehingga Rodi menyerah.
“Satu yang pasti, Dan. Dia ikut Ibu dan aku yang mengurus sekolahnya. Jika sampai dia membuatku atau ibu malu, aku tidak akan memberikannya kesempatan kedua. Ikut aku, ikut aturanku! Kalau keberatan, bisa pergi dari rumah ini. Aku tidak akan mentolelir kalau dia mengulangi kebiasaannya di sana!” tegas Inaya.
Dani yang mendengarnya hanya bisa menunduk. Setidaknya ia sudah bisa berpikir jika bukan karena Inaya, mungkin adiknya masih luntang-lantung tidak bisa sekolah dan tanpa perlindungan neneknya, sang adik tidak memiliki tempat bernaung.
Ia yang sudah merasakan tinggal di panti asuhan, tidak ingin adiknya juga merasakan hal yang sama. Makanya ia mencoba menasihati Yanti agar menghormati Bulek dan neneknya. Tetapi Yanti tidak mau mendengarkannya.
“Apa ibu tidak ada kabar?” tanya Dani lemah.
“Tidak. Dari awal adikmu datang, ibumu tidak bisa dihubungi. Aku juga tidak akan menghubunginya.”
Dani kembali menunduk. Ibu dan ayahnya bukanlah orang tua yang bertanggung jawab. Ia bisa menerima jika dirinya diabaikan karena ia laki-laki yang bisa berdiri sendiri. Tetapi unyuk Yanti, apakah mereka tega membiarkannya seperti sekarang? Mengapa mereka memiliki anak jika anak-anaknya hanya bisa merepotkan nenek dan buleknya.
.
.
.
.
.
Mokong1: bandel atau ngeyel atau keras kepala.