Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 17: Perkembangan
Hari ini adalah hari kedua dimana aku bekerja dengan anak-anak magang titipan Felix. Patut diakui, ternyata Tahsya dan Meilani memiliki semangat yang tinggi dalam menjalani program magang fakultas mereka. Hal ini bisa dilihat dari kedatangan mereka yang jauh lebih awal daripada sebelumnya. Padahal, aku sebagai pemilik kantor ini saja baru selesai siap-siap.
Karena masih tersisa tiga puluh menit sebelum kantor dibuka, aku memutuskan untuk mendalami keahlian yang dimiliki oleh Tahsya dan juga Meilani. Tujuannya adalah agar aku bisa menempatkan kedua mahasiswi ini di posisi yang tepat, sehingga mereka tidak kelabakan lagi seperti kemarin.
Caraku untuk mendalami karakter kedua mahasiswi ini sebenarnya sangat sederhana. Aku hanya perlu menyuruh mereka untuk duduk di sofa, lalu mengajukan beberapa pertanyaan yang harus dijawab. Setelah itu, berdasarkan informasi yang sudah didapatkan, aku akan menempatkan mereka pada posisi yang sekiranya sesuai dengan keunggulan masing-masing.
“Baiklah, sekarang tolong jawab pertanyaanku dengan sejujur-jujurnya.” Ucapku kepada Tahsya dan Meilani, sembari menatap mereka secara bergantian. “Pertama, bisa tolong jelaskan keunggulan dari diri kalian masing-masing?” Tanpa ragu, Tahsya langsung mengangkat tangannya dengan cepat dan juga lugas.
“Oke, silahkan Tahsya.” Responku singkat untuk mempersilahkannya berbicara.
“Baik, terima kasih, Pak Nael.” Balasnya sembari menurunkan tangan. “Saya nggak tahu ini bisa disebut sebagai keunggulan atau tidak, tapi intinya saya suka berbicara!” Ujarnya dengan senyuman sumringah yang penuh aura positif.
“Suka berbicara, ya?” Gumamku singkat untuk menanggapi penjelasannya itu.
“Iya! Aku suka ngobrol sama orang lain!” Oke, ini berarti Tahsya adalah orang yang suka bersosial.
“Begitu, ya. Bagus sekali!” Aku memuji keunggulan yang dimilikinya itu dengan nada riang yang mungkin terdengar sedikit dipaksakan. “Oke, selanjutnya, bisa kau jelaskan keunggulan yang kau punya, Meilani?” Tanyaku pada Meilani sembari menatap ke arahnya.
“U-Uh, b-baiklah. J-Jadi aku—”
“Biar aku aja yang ngejelasin, Pak Nael!” Tahsya langsung menyela di saat Meilani mencoba menjelaskan dengan ucapan yang terbata-bata.
“Baiklah, silahkan kalau begitu.” Ujarku mempersilahkan Tahsya untuk menjelaskan keunggulan rekannya.
“Oke, jadi temanku yang pemalu ini pinternya bukan main, Pak Nael! Dia bahkan punya julukan terhormat sebagai ‘sang jenius akademis hukum’ karena punya IPK tertinggi selama 6 semester berturut-turut!” Jelas Tahsya dengan semangat dan kebanggaan yang menggebu-gebu.
“H-Hei, kamu itu melebih-lebihkan, tahu…” Ucap Meilani dengan suara yang lirih.
Tahsya kemudian merangkul Meilani dengan erat, seolah menunjukkan betapa dekatnya mereka sebagai seorang teman. “Yah, tapi sayangnya, sahabatku ini pemalu banget. Jadinya, dia nggak terlalu bisa diandalkan setiap kali presentasi di depan kelas.” Yah, dari awal emang udah kelihatan, sih, kalau Meilani itu pemalu banget.
Karena Tahsya udah memberitahu kelemahan yang dimiliki oleh Meilani, sekarang aku tinggal menanyakan apa kelemahan yang ia miliki.
“Lalu, apa kelemahan yang kau miliki, Tahsya?” Tanyaku sembari menatap ke arahnya.
“Ah, sebenarnya ini agak memalukan, sih. Cuma, biar aku kasih tahu secara terus terang.” Jawabnya sembari melepas rangkulannya dari Meilani. “Kelemahanku itu adalah aku ini bodoh!” Ujarnya dengan senyuman yang lebar.
“Bodoh? Maksudmu?” Tanyaku lagi untuk memastikan maksudnya.
“Maksudnya, ya, bener-bener bodoh, Pak Nael. IPK-ku aja cuma 2,15 gara-gara nggak ngerti sama apa yang diajarin selama enam semester ini, hehehe.” Oalah, jadi dia literally bodoh, toh. Pantesan kemarin dia nggak bisa bedain antara dua draft perjanjian yang aku kasih.
“Baiklah, kalau begitu, sepertinya aku sudah memutuskan dimana kalian akan ditempatkan selama 4 bulan kedepan.” Ucapku sembari berdiri perlahan-lahan dengan mata yang tertuju ke arah mereka berdua.
“Tahsya, kau akan ditempatkan di front office untuk melayani client. Semetara itu, Meilani akan ditempatkan sebagai juru ketik yang akan membantu dalam penyusunan dokumen milik client.”
...***...
Sesuai dugaan, kinerja mereka meningkat secara drastis setelah diberikan posisi yang tepat sesuai kelebihan masing-masing. Tahsya—yang bertugas dalam memberikan pelayanan di front office—mampu membuat para pelanggan jadi tidak bosan menunggu karena banyolannya yang menghibur. Sementara itu, dengan adanya Meilani sebagai seorang juru ketik, segala urusan dalam hal penyusunan dokumen dapat diselesaikan dengan waktu yang jauh lebih cepat.
Sepanjang karirku sebagai seorang notaris, ini adalah pertama kalinya aku merasakan momen dimana para pelanggan terlihat begitu bahagia saat berkunjung ke sini. Semuanya berkat kerja keras Tahsya dan juga Meilani yang telah memberikan pelayan terbaik selama seharian penuh.
Atas kinerja mereka yang benar-benar melebihi ekspektasi, aku memutuskan untuk mentraktir mereka makan di Foodcourt Andawana Eats yang berada di pusat kota. Lokasi dari tempat makan ini berada di rooftop Mall Celestial Plaza, sehingga kita bisa makan sambil menikmati udara sore yang segar. Sedikit fakta menarik, Mall Celestial Plaza ini adalah mall terbesar di Andawana, sekaligus menjadi yang terbesar keempat di Indonesia.
Setelah sampai di lokasi, kami memutuskan untuk duduk di dekat balkon agar bisa melihat pemandangan pusat kota yang penuh dengan kesibukan. Selama menunggu makanan datang, aku bisa merasakan kebahagiaan yang terpancar dari wajah bocah-bocah ini secara terus menerus. Kalau begitu, bisa disimpulkan bahwa ini adalah pertama kalinya mereka datang ke tempat ini.
“Anjir, pemandangannya keren banget, Pak Nael! Ini adalah pertama kalinya kami datang ke sini!” Wah, langsung dikonfirmasi, tuh, sama si Tahsya.
“Nikmatilah sesuka hati kalian. Ini adalah imbalan karena udah ngasih pelayanan terbaik selama seharian penuh.” Ucapku pada mereka sembari menikmati hembusan angin sore yang begitu sejuk.
“K-Kalau saja Michelle ada di sini, dia pasti bakal merasa senang banget…” Ucap Meilani dengan suara yang pelan seperti biasanya.
“Bodoh! Si Michelle mah udah terbiasa datang ke tempat-tempat kayak gini! Dia kan duitnya banyak banget.” Bantah Tahsya terhadap pernyataan Meilani.
Percakapan mereka berdua membuatku jadi teringat dengan mahasiswi yang satu itu. Sudah dua hari dia nggak datang ke kantorku untuk melaksanakan kegiatan magang bersama teman-temannya. Kalau terus seperti ini, aku pastikan bahwa anak yang bernama Michelle itu tidak akan memperoleh nilai yang cukup untuk lanjut ke semester berikutnya. Mungkin hal ini terdengar kejam, tapi ketahuilah bahwa aku juga nggak punya pilihan lain.
“Ngomong-ngomong, kemana sebenarnya si Michelle itu sampai dia nggak pernah datang buat magang sama kalian?” Tanyaku kepada Tashya dan Meilani untuk mengulik informasi mengenai rekan mereka yang satu itu.
Aku sadar bahwa kemarin Tahsya sudah mengatakan kalau mereka berdua nggak tahu dimana Michelle berada. Tapi, tidak ada salahnya, kan, buat nanyain hal itu sekali lagi demi mendapatkan informasi?
Tahsya kemudian memandangku dengan tatapan mata yang serius, sementara Meilani langsung menunduk seolah tidak ingin membeberkan sesuatu mengenai rekannya itu.
“Sebenarnya…” Tahsya mulai membuka mulut, namun suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya.
“Sebenarnya kami nggak tahu dia ada dimana sekarang, soalnya Michelle itu orangnya susah banget buat dihubungi.” Jelas Tahsya dengan nada—yang entah kenapa—terkesan getir. “Tapi, kami punya teori bahwa Michelle saat ini lagi dimanfaatin sama pacarnya!”
Aku bisa merasakan pancaran emosi kuat dari kalimat terakhir yang diucapkan oleh Tahsya. Walaupun nggak ngerti apa yang dimaksud olehnya, tapi aku sadar bahwa ada sesuatu yang nggak beres di sini.
“Bisa kau jelaskan detailnya?” Tanyaku pada Tahsya dengan nada yang serius.
“Waktu itu, kami nggak sengaja ngeliat Michelle yang lagi telponan sama pacarnya, sambil nangis sendirian di parkiran kampus. Sepanjang mereka telponan, kami mendengar Michelle terus aja minta maaf dan mohon-mohon biar si pacarnya itu nggak mutusin dia.” Jelas Tahsya dengan tangan yang mengepal hingga gemetaran.
“S-Saya juga pernah papasan sama p-pacarnya Michelle, Pak Nael. W-Waktu itu… Saya merasa bahwa aura pacarnya Michelle itu ngeri banget.” Ujar Meilani menambahkan dengan ekspresi wajah yang tidak enak.
“Lalu, siapa nama pacarnya Michelle?” Tanyaku dengan nada yang masih serius kepada mereka.
“Namanya Avan Marcelino. Dia siswa kelas 3 yang terkenal sebagai anak berandalan kuat di SMA Cakrawaksana.” Wah, ngeri banget, ya. Baru umur segitu aja udah bisa memanipulasi wanita sampai bikin dia nangis di tempat umum. Anak-anak zaman sekarang emang udah pada gila, sih.
Karena tensi obrolan kami terasa semakin tinggi, aku kemudian memutuskan untuk mengalihkan perhatian mereka agar situasinya kembali seperti semula. “Oh, iya. Ngomong-ngomong, kalian nggak ada yang mau foto-foto, nih, mumpung lagi ada di sini?” Tanyaku kepada mereka berdua dengan nada yang jauh lebih ringan.
“Eh, kami boleh foto-foto di sini, Pak Nael?” Tanya Tahsya dengan nada yang terdengar bersemangat.
“Boleh, dong! Siapa juga yang bakal ngelarang?”
“Yey, asik!” Tahsya kemudian meraih tangan Meilani, lalu menariknya menuju sisi lain dari rooftop ini. “Kami foto-foto di sebelah sana, ya, Pak Nael!” Ucapnya dengan riang gembira.
“Baiklah, nanti kuhubungi kalian kalau makanannya udah sampai.”