Harry sama sekali tak menyangka, bahwa pacarnya yang selama ini sangat ia sayangi, ternyata justru menjalin hubungan dengan ayah kandungnya sendiri di belakangnya! Dan parahnya lagi, pacarnya itu adalah simpanan ayahnya sekaligus selingkuhan ibunya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Penyadap
Malam semakin larut. Hujan masih turun rintik-rintik, mengiringi keheningan rumah keluarga Hartanta. Di salah satu kamar terbesar di rumah itu, suara air terdengar deras dari dalam kamar mandi. Calvin sedang mandi, seperti biasa, setelah pulang dari ‘perjalanan bisnis’-nya. Tapi di luar kamar mandi, di dalam ruang tidur yang remang, sesosok pria muda berdiri di dekat meja kerja.
Itu adalah Harry.
Dengan langkah cepat namun hati-hati, ia membuka laci meja tempat biasanya Calvin meletakkan barang-barang pribadinya. Benar saja—di sana tergeletak ponsel milik sang ayah. Harry mengambilnya dengan cekatan, membuka laptop kecil yang ia bawa tersembunyi di balik hoodie-nya. Kabel data sudah tersambung, software penyadap telah siap. Hanya butuh beberapa menit untuk menyalin dan menyinkronkan data yang ada di dalam ponsel itu ke sistem miliknya.
Jari-jari Harry bergerak cepat. Ia menonaktifkan semua notifikasi yang bisa memicu kecurigaan, dan mengatur sinkronisasi otomatis setiap kali ponsel tersambung dengan jaringan internet. "Satu kesalahan saja, habis kalian berdua," bisik Harry, setengah berbisik, setengah menahan emosi.
Namun baru saja proses hampir selesai, suara langkah kaki terdengar dari arah luar kamar. Harry menoleh cepat—pintu kamar terbuka, dan Ziva berdiri di sana dengan wajah terkejut.
"Harry? Kamu ngapain di kamar Papa?" tanyanya pelan namun penuh curiga.
Harry buru-buru meletakkan ponsel itu ke atas meja, menutup laptopnya, lalu mendekat pada ibunya.
"Ma, tolong jangan beritahu Papa! Aku harus menyelidiki sesuatu," katanya dengan suara lirih, namun tegas.
Ziva tampak ragu. "Harry... kamu—kamu lagi cari tahu tentang apa?"
Harry menarik napas dalam. Wajahnya terlihat lelah, namun juga dipenuhi tekad. "Ma, aku tahu ini terdengar gila. Tapi aku curiga Papa… punya hubungan gelap. Sama seseorang yang sangat penting buatku. Aku nggak bisa cerita sekarang, tapi aku janji, ini bukan tanpa alasan."
Ziva menatap putranya beberapa detik. Ia melihat kejujuran di wajah Harry, tapi juga luka yang dalam. Luka yang belum ia mengerti sepenuhnya.
Akhirnya, ia mengangguk. "Oke. Mama nggak akan bilang apa-apa. Tapi hati-hati, ya, Nak. Jangan sampai Papa tahu."
Harry tersenyum tipis, bersyukur atas pengertian ibunya. "Terima kasih, Ma."
Ziva lalu masuk lebih dalam, mengambil handuk dan pakaian ganti yang tergantung di lemari, lalu meletakkannya di dekat pintu kamar mandi. "Ini untuk Papa. Biar nggak ribet nyari-nyari nanti."
Harry mengangguk, lalu buru-buru mengambil laptopnya dan keluar dari kamar, meninggalkan ponsel sang ayah di tempat semula—dengan sistem penyadap yang sudah aktif. Kini, setiap panggilan, pesan, dan bahkan lokasi yang diakses Calvin bisa ia pantau.
Saat ia melangkah ke kamarnya, Harry membuka laptop itu kembali dan mulai menyusun data. Beberapa pesan langsung terbaca, sebagian dihapus namun bisa dipulihkan.
Dan salah satu yang paling mencolok—adalah pesan dari kontak bernama “R”.
"Sayang, dua hari kemarin terlalu indah. Aku nggak sabar nunggu liburan kita nanti. Jangan lupa bujuk dia segera, ya."
Harry mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras.
"Raline…"
Malam itu, bukan hanya dendam yang tumbuh dalam diri Harry, tapi juga rasa iba pada ibunya—Ziva, wanita yang selama ini mencintai pria yang bahkan tak segan menikam dari belakang. Dan mulai saat itu, Harry tahu: ini bukan lagi soal cinta. Ini soal harga diri, dan keadilan yang harus ia tebus.
÷÷÷
Pukul 11 malam.
Kamar Harry tampak gelap, hanya diterangi cahaya biru dari layar laptop yang berada di atas meja kerjanya. Di tangannya, ponsel bergetar pelan, mengeluarkan notifikasi dari aplikasi penyadap yang telah ia pasang sebelumnya. Notifikasi itu menunjukkan satu hal yang sangat dinanti—sebuah panggilan masuk ke ponsel Calvin, dari kontak bernama "R".
Tanpa menunggu lebih lama, Harry membuka aplikasi penyadap itu dan langsung mengaktifkan fitur rekaman suara. Hatinya berdetak kencang. Suara wanita terdengar dari sana. Lembut. Manja. Sangat tidak asing.
"Daddy... akhirnya kamu angkat juga,"!ucap suara itu menggoda.
Harry langsung menegang. Napasnya tercekat di tenggorokan. Tidak perlu penelusuran lebih dalam—ia tahu betul suara siapa itu.
Raline.
"Maaf, sayang. Aku barusan keluar dari kamar mandi. Kamu udah di apartemen, kan?" balas Calvin, terdengar santai dan akrab.
"Iya, Daddy... aku udah di kamar. Tapi rasanya... di sini kosong tanpa Daddy," jawab Raline, disusul dengan tawa kecil yang membuat perut Harry terasa seperti ditusuk dari dalam.
Suasana di kamar Harry langsung berubah dingin. Dadanya sesak. Jari-jarinya menggenggam ponsel kuat-kuat, seolah benda itu bisa meledak karena emosi yang mulai tak tertahankan.
Percakapan terus berlanjut. Mereka berbicara seolah pasangan kekasih yang sedang dimabuk cinta. Raline mengatakan bahwa ia sangat merindukan waktu dua hari mereka di hotel, dan Calvin menjanjikan liburan yang lebih mewah lagi di luar negeri. Harry terus mendengarkan, tidak peduli betapa sakitnya tiap kata yang masuk ke telinganya.
Namun yang membuat Harry semakin hancur adalah kalimat Raline berikutnya.
"Oh ya, Daddy... soal Harry, aku udah bilang ke dia kalau aku harus ke luar kota karena saudara sakit. Tapi... sepertinya aku bakal batalin rencana kita ke Bali. Aku lebih milih ikut Daddy ke luar negeri," ucapnya santai.
"Apa?!"
Harry berdiri dari kursinya. Kursi beroda itu meluncur ke belakang dan hampir terjatuh. Ponsel di tangannya gemetar, rahangnya mengeras. Ia menatap layar seolah bisa menembus suara itu, melihat wajah Raline yang sedang dengan mudahnya menghancurkan perasaannya.
Bali. Itu adalah rencana mereka. Perayaan ulang tahun hubungan mereka yang sudah ia siapkan dengan sepenuh hati. Hotel mewah, makan malam romantis, bahkan cincin kecil yang ia beli sebagai kejutan. Tapi semua itu kini tak berarti apa-apa.
Karena wanita yang ia cintai... lebih memilih Daddy-nya.
"Dasar wanita murahan..." gumamnya, suaranya serak.
Namun di balik kemarahan itu, ada kepingan hatinya yang runtuh perlahan. Ia bukan hanya merasa dikhianati sebagai kekasih, tapi juga sebagai anak. Calvin—ayah yang seharusnya menjadi panutan, pelindung, malah menjadi orang yang paling menyakitinya.
Harry memejamkan mata. Ia merasa perih di dadanya, tapi juga gelombang dendam yang mulai membara. Kali ini, bukan lagi soal hubungan yang rusak. Bukan lagi sekedar kehilangan cinta. Ini adalah harga diri.
Dan ia takkan tinggal diam begitu saja.
Ia akan menunggu. Menunggu waktu yang tepat untuk membuat Calvin dan Raline merasakan luka yang sama—bahkan lebih dalam daripada yang mereka berikan padanya.
"Kalian belum tahu siapa yang kalian lawan..." bisik Harry penuh tekad.
Malam itu, bukan hanya air mata yang jatuh, tapi juga lahirnya keputusan besar dalam hidup Harry. Ia takkan menjadi korban. Ia akan menjadi hakim atas pengkhianatan ini.