NovelToon NovelToon
Faded Lust

Faded Lust

Status: sedang berlangsung
Genre:Slice of Life / Penyesalan Suami / Selingkuh / Cintapertama / Tamat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Mga_haothe8

Lunara Angelita selalu percaya bahwa pernikahannya dengan Halden Nathaniel—pelukis jenius yang menjadi kebanggaan kota kecil mereka—adalah rumah paling aman yang pernah dimilikinya. Lima tahun bersama, lima tahun bahagia… atau setidaknya begitu yang ia yakini.

Hingga pada malam hujan yang sunyi, saat listrik padam, Luna tanpa sengaja menemukan sebuah kanvas tersembunyi di gudang. Dan di balik kain putihnya terpampang wajah perempuan yang seharusnya telah lama hilang dari hidup mereka—Karina, mantan kekasih Halden. Dilukis dengan detail yang hanya diberikan oleh seorang pria pada seseorang yang masih memenuhi hatinya.

Lukisan itu baru. Sangat baru.

Saat Luna menuntut kebenaran, Halden tidak berbohong—tetapi jawabannya jauh lebih menyakitkan dari pengkhianatan.

Melukis, katanya, bukan tentang siapa yang menemani hari-harinya.
Melainkan tentang siapa yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya.

Seketika dunia Luna runtuh.
Apakah selama ini ia hanya menjadi istri di ata

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Luka lama kembali

Aku berdiri lama di depan jendela, menatap hujan yang menampar kaca. Halden masih duduk di ranjang, tidak mendekatiku, tidak memelukku… seperti takut sentuhannya akan membuat segalanya runtuh lebih cepat.

“Luna…” suaranya bergetar. “Itu hanya lukisan. Tidak ada apa-apa lagi antara aku dan Karina.”

Aku tertawa lirih. Tawa yang pahit.

“Kalau tidak ada apa-apa,” kataku pelan, “kenapa kau bisa melihat dunianya… tapi tidak pernah melihatku?”

Halden menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Dia tidak menangis, tapi aku bisa merasakan getaran dari tubuhnya.

“Aku mencoba,” katanya. “Aku benar-benar mencoba melukismu, Luna. Tapi setiap kali kuangkat kuas… wajahmu tidak muncul.”

Aku menelan ludah. Rasanya seperti menelan pecahan kaca.

“Lalu siapa aku bagimu?” tanyaku.

Ia mengangkat wajah, matanya merah.

“Orang yang membuatku ingin hidup,” jawabnya. “Tapi Karina… adalah orang yang membuatku ingin melukis.”

Dan itulah kalimat yang akhirnya mematahkan sesuatu di dalam dadaku.

Aku mengangguk pelan, lalu berdiri.

Halden refleks bangkit ingin menggenggamku, tapi aku mundur.

“Luna, jangan—”

“Untuk pertama kalinya dalam hidupku,” ucapku sambil menahan air mata, “aku ingin merasakan apa itu menjadi diriku sendiri… bukan hanya menjadi seseorang yang harus kau cintai.”

Hujan di luar semakin deras.

Sedangkan hujan di dalam diriku, baru saja mulai jatuh.

Aku memutuskan untuk keluar sebentar mencari udara

~------------------------------------------~

Hujan malam itu tidak berhenti sampai dini hari. Ketika akhirnya mereda, Luna—sudah kembali ke apartemen dengan tubuh dingin, rambut basah, namun hati sedikit lebih lapang. Luna masuk pelan, berharap Halden sudah tertidur agar aku tidak perlu menjelaskan apa pun.

Tapi ia tidak tidur.

Ia duduk di meja makan, menatap sebuah cangkir kopi yang sudah dingin seperti menunggu sesuatu yang tak akan kembali hangat. Matanya merah—bukan karena menangis, tapi karena tidak tidur.

“Kau kembali,” ucapnya, suaranya pelan seperti seseorang yang tidak yakin apakah ia berhak bersyukur.

“Aku bilang aku butuh ruang,” jawabku. “Bukan pergi selamanya.”

Ia mengangguk, seperti menelan kalimat lain yang tidak berani diucapkan.

Aku melewatinya begitu saja dan menuju kamar mandi. Aku tidak ingin membuka terlalu banyak percakapan malam itu. Aku terlalu lelah untuk membedah perasaan kami lagi—aku hanya ingin tidur, meski tidur itu mungkin tidak benar-benar nyenyak.

Tapi tepat ketika aku hendak menutup pintu kamar mandi, bel apartemen berbunyi.

Halden menoleh cepat, alisnya mengerut.

“Siapa… jam segini?”

Aku hanya mengangkat bahu. Tidak ada siapa pun yang biasanya datang berkunjung pada dini hari.

Halden ragu-ragu melangkah menuju pintu. Aku melihat punggungnya, tubuhnya yang tegang, cara tangannya berhenti di atas gagang pintu sebelum akhirnya memutarnya.

Ketukan hujan terakhir di jendela terdengar, dan pintu terbuka.

Dan di sana berdiri seseorang yang tidak pernah ingin kulihat lagi.

Karina.

Berdiri di bawah lampu lorong, rambut hitamnya basah, wajahnya dingin namun indah seperti lukisan yang terlalu lama disimpan di gudang. Gaun panjangnya menempel di tubuhnya karena hujan, membuatnya tampak rapuh namun juga begitu nyata.

Halden membeku. Napasnya tertahan.

“Halden,” ucap Karina, suaranya gemetar namun jelas. “Aku… aku tidak punya tempat lain untuk pergi.”

Dunia di sekitarku terasa berhenti.

Halden membuka mulut, menutupnya lagi, lalu membuka kembali. “Karina? Apa yang—bagaimana… kenapa kau di sini?”

Karina menggigit bibirnya. “Aku… aku meninggalkan suamiku.”

Kata itu jatuh seperti batu besar ke lantai.

Aku bahkan tidak tahu Karina sudah menikah. Halden jelas tahu, dari tatapan shock yang akhirnya melintas di wajahnya.

“Ada apa?” tanya Halden, suaranya lebih lembut dari yang ingin kudengar.

Karina menunduk. “Aku tidak bisa menjelaskan semuanya sekarang. Aku hanya… aku tahu ini salah. Tapi ketika aku tidak tahu harus ke mana, pikiranku langsung menuju ke sini.”

Dan tubuhku langsung gemetar.

Pikirannya kembali ke sini. Ke Halden.

Aku menggenggam kusen pintu kamar mandi, berusaha tetap berdiri.

Halden memalingkan kepala dan akhirnya melihatku.

“Luna,” katanya. “Ini… aku tidak tahu apa yang terjadi.”

“Tidak perlu dijelaskan,” jawab Luna lirih.

Karina menatapku untuk pertama kalinya malam itu. Mata itu—mata yang pernah dilukis Halden ribuan kali di benaknya—menatapku dengan campuran rasa bersalah dan keputusasaan.

“Luna,” katanya pelan. “Aku tidak bermaksud… mengganggu. Aku hanya—”

“Kau hanya butuh tempat berteduh,” potongku.

Karina menunduk.

Dan sesuatu dalam diriku mulai runtuh lagi. Bukan karena Halden mencintai atau tidak mencintai siapa, tetapi karena kenyataan bahwa perempuan ini… masih menjadi pusat gravitasi Halden meski bertahun-tahun berlalu.

Halden menutup pintu perlahan lalu berkata,

“Kita harus bicara… semua.”

Kami duduk di ruang tamu—aku di ujung sofa, Halden di tengah, dan Karina di kursi seberang, kakinya saling merapat seperti seseorang yang takut dunia akan membencinya jika ia duduk terlalu nyaman.

“Aku meninggalkan pernikahanku,” ulang Karina, suaranya lebih stabil. “Itu… sudah lama retak. Aku tidak menyadarinya karena aku terus menutupi semua masalah dengan pekerjaanku, dengan lukisan-lukisanku, dengan… dengan kenanganku.”

Ia menatap Halden lama, sangat lama, sebelum menambahkan, “Denganmu.”

Halden mengusap wajahnya. “Karina… aku sudah menikah. Aku sudah bersama Luna.”

“Aku tahu.” Suaranya patah. “Tapi aku tidak datang untuk merebutmu. Aku hanya… kelelahan. Dan aku tidak punya saudara atau teman dekat yang bisa kutuju. Kau satu-satunya orang yang… tempatku bisa bernapas.”

Aku merasakan perih menusuk dadaku. Mungkin kecemburuan, mungkin marah, atau mungkin sesuatu yang lebih rumit dan lebih sunyi.

Halden melihatku, seolah menunggu reaksiku.

Luna menarik napas. “Ia bisa tinggal semalam,” ucapku akhirnya. “Setelah itu kita putuskan lagi.”

Karina mengangguk cepat, bersyukur. Halden tampak lega, tapi juga semakin gelisah. Ia terjebak—dan ia tahu itu.

Malam semakin larut. Karina mandi dan mengenakan pakaian lama yang pernah ia tinggalkan di sini—aku tidak tahu itu masih ada. Mungkin Halden yang menyimpannya. Mungkin ia lupa membuangnya.

Atau mungkin tidak lupa—mungkin tidak mau.

Aku tidak ingin memikirkannya.

Halden tidak masuk kamar malam itu. Ia duduk sendirian di ruang tamu, menatap lantai. Seperti seseorang yang baru saja kehilangan arah di persimpangan paling penting dalam hidupnya.

Luna berdiri di ambang pintu, memperhatikannya.

“Halden,” panggilku.

Ia mendongak. Matanya lelah. “Aku takut, Luna.”

“Apa yang kau takuti?”

“Aku takut memilih akan membuatku kehilangan semuanya.”

Luna menelan ludah. “Dan tidak memilih justru membuat kita semua hancur perlahan.”

Ia menunduk lagi.

“Karina kembali bukan salahmu,” ujarku. “Tapi apa pun yang kau rasakan… itu tanggung jawabmu.”

Ia mengepalkan tangan. “Aku mencintaimu, Luna. Kau istriku. Kau rumahku.”

“Tapi Karina,” lanjut Luna, “adalah masa lalumu yang belum selesai. Dan selama itu masih hidup di dalam dirimu… kita tidak akan pernah utuh.”

Ia meremas rambutnya, frustasi. “Bagaimana aku bisa memilih, kalau setiap pilihan membuat seseorang terluka?”

Aku mendekat, berdiri di depan sofa.

“Karena kau tidak bisa terus hidup di dua dunia sekaligus,” jawabku. “Cepat atau lambat, salah satunya akan runtuh.”

Halden menatapku lama, sangat lama.

“Aku tidak ingin kehilangan kau,” katanya, suaranya hampir pecah.

“Kalau begitu,” ujarku pelan, “kau harus berani kehilangan sesuatu yang lain.”

Aku tidak menyebutkan apa—atau siapa. Ia tahu. Dan itulah yang membuatnya terdiam.

Karina berada di kamar tamu, dan keheningan malam itu seolah menegaskan betapa rapuhnya semuanya.

Rumah tangga kami.

Cinta lama yang kembali.

Dan Halden—terjebak di tengah, antara dunia yang memberinya warna… dan dunia yang memberinya alasan untuk hidup.

1
Telurgulung
lanjut atau end disini aja?
Yunie
akhirnya bisa bahagia... lanjut thor
Yunie
sedihnya jadi Luna
Yunie
alurnya menarik
Yunie
makin menarik
Siti M Akil
lanjut Thor
ayu cantik
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!