Apa jadinya jika seorang gadis remaja berusia 16 tahun, dikenal sebagai anak yang bar-bar dan pemberontak terpaksa di kirim ke pesantren oleh orang tuanya?
Perjalanan gadis itu bukanlah proses yang mudah, tapi apakah pesantren akan mengubahnya selamanya?
Atau, akankah ada banyak hal lain yang ikut mengubahnya? Atau ia tetap memilih kembali ke kehidupan lamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 22 - Tawanan Pesantren
~💠💠💠~
"O! Ternyata kalian."
Zoya dan Sarah seketika menoleh dengan wajah mereka yang berubah tegang. Miska berdiri di ambang pintu, menatap mereka tajam dengan tangan terlipat di dada.
Sarah yang sudah mendapat peringatan, kali ini justru diam. Namun, Zoya malah tersenyum sinis, seakan tidak gentar sedikit pun.
"Kenapa, Miska? Semua itu benar, kan? Kamu ha-mil," ujarnya.
Kata-kata Zoya begitu santai, namun penuh racun. Tatapannya merendahkan, dengan sengaja menatap perut Miska seakan mencari bukti.
Kini Miska mengepalkan tangannya karena kesabarannya sudah habis. "Mulutmu nggak bisa dijaga ya, Zoya?," desisnya sambil melangkah maju.
"Lah, aku cuma menyampaikan apa yang orang-orang bilang. Lagian, siapa suruh keluyuran malam-malam di pesantren, ketahuan sama santri laki-laki pula? Jelas aja semua orang curiga—" dengus Zoya dengan senyumnya yang menyebalkan.
Bugh!
Tiba-tiba saja Zoya terhuyung ke belakang saat Miska mendorongnya dengan keras.
"Apa-apaan kamu?!," seru Zoya marah.
Miska pun mendekat lagi dengan sorot mata yang berkilat penuh kemarahan. "Kalau elo masih mau hidup tenang di pesantren ini, gue saranin tutup mulut lo yang kotor itu," ancam Miska.
Zoya mengertakkan giginya, lalu menyerang Miska lebih dulu. Tangannya melayang, lalu menampar pipi Miska!
Namun, Miska sama sekali tidak mundur. Sebaliknya, ia langsung menarik baju Zoya dan mendorongnya ke dinding!
Bugh!
"Argh!," Zoya merintih kesakitan, tapi tetap berusaha melawan. Sementara, Sarah yang sedari tadi hanya menonton, akhirnya ikut menyerang!
Dengan cepat, Sarah menarik kerudung Miska dari belakang sehingga membuat tubuhnya sedikit oleng. Zoya pun langsung membalas dengan mencakar tangan Miska yang menahan tubuhnya.
Akhirnya, mereka bertiga pun terlibat perkelahian sengit.
Miska menarik tangan Sarah dan memelintirnya, hingga membuat gadis itu berteriak kesakitan. Namun, Zoya mengambil kesempatan untuk menendang kaki Miska hingga ia tersungkur.
Brak!
"Argh!." Miska meringis, tapi dengan cepat ia bangkit lagi dengan sorot mata yang penuh api.
"Sok jago, ya?! Gue abisin kalian berdua!."
Miska menyerang Zoya lebih dulu, dengan menarik hijabnya hingga hampir lepas. "Argh!." Zoya pun menjerit panik, lalu mencakar lengan Miska dengan brutal.
Kemudian, Sarah mencoba menarik Miska, tapi Miska justru mendorongnya hingga jatuh tersungkur!
"Aw!!."
Keributan itu pun semakin memanas.
Namun tiba-tiba...
"HENTIKAN!."
Suara keras menggema di lorong sekolah.
Mereka bertiga pun langsung membeku sambil memandang sumber suara dengan napas terengah-engah.
Di ujung lorong, berdiri Ustadzah Siti dan beberapa santri yang menatap mereka dengan kaget dan marah.
Mereka tertangkap basah.
Dan kali ini, konsekuensinya akan jauh lebih besar.
**
Napas ketiga gadis itu terengah-engah, kerudung mereka berantakan, dan wajah mereka memerah karena amarah.
Lalu, beberapa santri lain mulai berkumpul, berbisik-bisik, seraya memperhatikan ketiga gadis itu dengan tatapan eheranan.
"Ada apa ini?."
"Ada apa ini?," bisik-bisik para santri.
"Ada apa ini?," tanya ustadzah Siti.
Tanpa menunda lama, Miska langsung menjawab pertanyaan ustadzah Siti, "Mereka sengaja menebarkan rumor tentang aku yang hamil!," seru Miska seraya menahan marah.
Ustadzah Siti pun mendekat dan berdiri di depan mereka, tangannya terlipat di dada dengan wajahnya yang jelas menunjukkan ketidaksenangan.
"Zoya, Sarah! Apa yang kalian lakukan?!," seru ustadzah Siti dengan suara yang tinggi. "Kalian tahu sendiri kalau fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan!"
Merasa panik, Zoya yang masih terduduk di lantai pun langsung memasang wajah polosnya dan berusaha menyelamatkan diri. "Ustadzah, kami tidak memfitnah siapa pun! Kami hanya mengatakan yang sebenarnya!."
"Dasar omong kosong!," bentak Miska sambil mengertakkan giginya dan menatap tajam ke arah Zoya dan Sarah.
Sarah pun akhirnya ikut bicara dan berusaha memperkuat kebohongan Zoya. "I-iya, Ustadzah! Kami kan hanya menyampaikan apa yang sudah jadi perbincangan di pesantren. Semua orang juga sudah melihat sendiri!," ujarnya.
Ustadzah Siti pun menghela napas panjang, dan menahan diri agar tidak langsung terpancing emosi. "Melihat apa, Sarah? Fitnah yang kalian buat sendiri?."
Merasa terpojok, Zoya pun kembali bersuara, dan kali ini lebih berani. "Tapi itu bukan fitnah, Ustadzah! Coba lihat perutnya!," katanya sambil menunjuk ke arah Miska dengan ekspresi merendahkan.
Santri lain pun mulai berbisik-bisik lagi. Beberapa dari mereka bahkan berusaha melihat perut Miska. "Benarkah itu?."
Saat ini, Miska benar-benar terbakar amarahnya. Ia lalu melangkah maju dengan tatapan dingin. "Dengar, ya, Zoya. Gue udah capek dituduh macem-macem. Kalau lo berani banget bilang gue hamil, buktikan!," serunya.
Zoya pun langsung terdiam dengan keringat yang mulai mengalir di pelipisnya.
"Benar, Zoya. Kalau kamu berani menuduh, kamu harus punya bukti yang jelas. Kalau tidak, itu namanya fitnah!," seru ustadzah Ustadzah Siti lagu sambil menatapnya tajam.
Zoya pun menelan ludah dan merasa semakin terpojok. "A-aku..."
"Atau jangan-jangan," lanjut Miska, "lo takut kebenaran tentang lo sendiri bakal kebongkar?."
Seketika mata Zoya membulat karena panik. Sedangkan Sarah juga tampak tegang.
"Apa maksudmu, Miska?," tanya ustadzah Siti ketika menangkap gelagat aneh itu.
Miska pun menyeringai kecil lalu menjawab, "Tanya saja sama mereka, Ustadzah."
Zoya pun langsung menyikut Sarah, untuk memberi kode agar mereka tetap bungkam.
"Zoya, Sarah. Kalau kalian tidak ingin dihukum lebih berat, lebih baik kalian jujur sekarang!."
Sarah yang ketakutan pun mulai menggigit bibirnya dan tampak bimbang. Namun, Zoya tetap mencoba bersikeras.
"Tidak ada yang perlu diakui, Ustadzah," katanya, keukeuh.
Tapi, sebelum Zoya bisa berbicara lebih banyak, tiba-tiba sebuah suara lain menyela dari belakang.
"Aku bisa jadi saksi."
Seketika, semua mata pun langsung tertuju ke arah sumber suara. Suara siapakah itu??
BERSAMBUNG...