Jangan lupa tinggalkan Jejak,
Tidak disarankan untuk pembaca dibawah umur.
Mengetahui fakta jika wanita yang ditunggunya selama enam belas tahun, telah memiliki anak dari keponakannya, membuat Dimas patah hati, meskipun rasa cintanya begitu besar, tapi dia memilih untuk menyerah, demi kebahagiaan bersama.
Demi menghibur hatinya yang tengah galau, dia berlibur di villa milik keluarganya.
Di tempat berbeda, seorang wanita sedang sibuk menyiapkan acara liburan gratis yang di dapatkan dari tempatnya bekerja.
Sesuatu hal terjadi pada keduanya, sehingga membuat laki-laki itu selalu mengejarnya, dan sang wanita selalu terbuai olehnya, walau seharusnya hal itu tidak boleh terjadi di karenakan wanita itu telah memiliki kekasih..
Apakah Dimas akan mengalami patah hati kedua kali, atau justru berhasil memiliki wanita baru yang dia temui?
P.S. Lanjutan dari cerita sebelumnya berjudul
❤️Pembalasan Atas Pengkhianatan Mu❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berusaha Mengakhiri
Jangan lupa tinggalkan jejak.
Lagi rame status wa temen-temen, sekeluarga pada sakit mata, hati-hati ya!
Flu juga mulai menyerang, dan gampang banget menular, jadi jaga kesehatan ya...
Happy reading.
Rumi sadar sedari tadi ponselnya bergetar, dia tau Dimas menghubunginya, tapi tak mungkin dia mengangkatnya saat bersama Ari.
Sepeninggal Ari, Rumi membuka pintu pagar tempat kosnya, dan seseorang memanggilnya. Rumi hafal suara itu, seorang lelaki yang memanggil namanya lengkap.
Rumi memejamkan matanya, dia pikir tak akan bertemu lelaki itu, saat tadi menerima pesan, tetapi kenapa justru datang saat hatinya tengah berbunga-bunga, karena ajakan menikah dari tunangannya. Merusak suasana saja.
"Bukannya kamu bilang kita tak bisa bertemu? Kenapa kamu malah kesini?" tanya Rumi melipat tangannya.
"Seingat ku, aku hanya mengatakan, tak bisa menjemput, tapi bukan berarti aku tak jadi menemui kamu," Dimas melangkah mendekat, "Sepertinya suasana hati kamu lagi bagus, apa ada kabar baik?" tanyanya.
Rumi melihat ke sekeliling, penampilan Dimas terlalu mencolok, dia tak ingin menjadi bahan omongan, "Silahkan kamu tunggu aku di minimarket, aku mau mandi dan berganti baju,"
"Kenapa? Apa kamu takut ketahuan?" Dimas memicingkan matanya.
Rumi melambaikan tangannya, "Bukan itu, aku kebelet pipis, lagian aku udah gerah banget, pengen mandi, jadi kalau kamu mau nunggu, silahkan, kalau tidak, aku nggak masalah, aku mau tidur."
"Baiklah, tapi jika kamu tidak datang, aku akan kembali kesini."
Rumi menghela nafas, sembari menatap kepergian lelaki berpakaian formal itu, dia meyakinkan dirinya, jika malam ini, dia harus memutuskan segala hubungan dengan lelaki yang sempat memberinya kenikmatan duniawi. Karena hari pernikahannya akan tiba kurang dari sebulan lagi.
***
Usai mandi, Rumi hanya mengenakan daster midi, berlengan pendek, dengan panjang dibawah lutut, dia juga melapisinya dengan Hoodie, udara malam ini lumayan berangin.
Dia berjalan kaki menuju mini market, dan hanya membawa ponsel, dan sedikit uang, jika nantinya, dia ingin membeli camilan.
Mobil sedan hitam mewah terparkir didepan minimarket, dia mengernyit, seingatnya mobil Dimas model SUV. Rumi menelpon lelaki itu, guna memastikan keberadaannya, dan memang benar, jika mobil itu milik Dimas.
"Kamu mau?" tawar Dimas, ketika Rumi baru saja duduk di samping kemudi.
"Aku udah makan tadi," sahut Rumi, perutnya masih terasa penuh, jika bersama Ari, maka tunangannya itu memintanya untuk makan yang banyak, supaya lebih berisi. Padahal kurang berisi apa coba Rumi, atas bawah lumayan berisi, alias semok.
"Aku bahkan belum sempat makan, terakhir makan tadi pagi, tadinya aku mau ajak kamu makan siang, setelah membeli mobil, tapi kamu mengulur waktu, hingga jam makan siang habis, dan setibanya di kantor, aku kedatangan tamu agung, yang membuatku tak bernafsu makan." Entah mengapa, Dimas ingin menceritakan harinya.
"Habiskan makanan kamu, setelah itu bicara."
Dimas mengangguk, "Aku belikan kamu es krim, ambil di tas itu," tunjuknya pada kantong belanja berwarna merah.
Rumi mengambil es krim berbentuk cone, tak sengaja dia menemukan beberapa kotak berisi pengaman, dia mendelik, "Kamu beli ini?"
Dimas menghentikan kunyahan nya, "Buat jaga-jaga, aku kan udah janji bakal pakai pengaman setiap bermain dengan kamu, jadi aku membelinya, kamu tau bukan, aku nggak cukup sekali?"
Wajah Rumi memerah, astaga lelaki yang sedang makan malam dengan nasi mini market, sangat blak-blakan. Malas menanggapi, Rumi memilih memakan es krim, dan memasukan kembali kotak-kotak berisi pengaman.
Hanya keheningan, tak ada lagi yang bersuara, hingga Dimas menghabiskan makanannya.
"Oh ya, malam ini kamu menginap di apartemen aku ya?" pinta Dimas bersiap melakukan mobilnya.
"Tunggu Dimas," Rumi menahan lengan lelaki dibalik kemudi itu, "Kita bicara disini saja,"
Dimas mengernyit, "Kalau kamu bingung soal baju ganti, kamu nggak usah khawatir, aku udah beliin kok, belum banyak sih, semoga saja sesuai selera kamu."
Rumi melambaikan tangannya, "Bukan itu, ada hal penting yang akan aku bicarakan, tapi aku minta, kita bicara disini saja,"
Dimas menghembuskan nafasnya kasar, "Oke, jadi hal penting apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya.
Rumi menunduk, dan memainkan resleting Hoodie yang dikenakannya, dia tak berani menatap wajah tampan Dimas, jangan sampai dia goyah. "Dalam waktu dekat aku akan menikah,"
"Kalau itu kamu pernah menceritakannya sama aku, lalu apa masalahnya? Kan sekarang kamu belum menikah, jadi kita masih bisa berhubungan kan?"
Rumi menatap bagian depan minimarket, "Aku akan menikah kurang lebih sebulan lagi, jadi aku minta kamu jangan temui aku lagi, sudah cukup aku mengkhianati calon suamiku, aku merasa bersalah padanya," ungkapnya, "Jadi aku minta kamu berhenti hubungi, dan temui aku, aku harap kamu mengerti."
Dimas seolah tertampar dengan kenyataan, jika wanita yang membuatnya kembali meraih kenikmatan dunia, bukanlah miliknya, hanya hitungan hari Rumi akan bersanding dengan lelaki lain. Tapi ego nya jelas tak terima, bagaimana bisa Dimas mengalah lagi?
Dia sempat ada niatan untuk meminang wanita itu, tapi dia sadar jika cinta tak bisa dipaksakan, Dimas tak ingin rumah tangganya kelak seperti rumah tangga keponakannya.
Meski rasanya berat, karena sudah terlanjur nyaman, tapi dia harus berusaha mengikhlaskan, demi kebahagiaan wanita itu.
"Bolehkah aku minta satu hal, sebelum kita benar-benar mengakhiri hubungan ini?" tanya Dimas, dengan tatapan penuh harap.
"Apa ini soal mobil? Kamu tenang aja, aku tak akan mengambilnya." sahut Rumi.
"Mobil? kenapa memang mobilnya? Apa kamu tak suka?"
Rumi menggeleng, "Bukan, itu punya kamu, kan kamu yang beli,"
"Astaga Bunga Harumi, aku membelikannya, karena itu hadiah dari aku, anggap saja sebagai kado ulang tahun kamu,"
"Ulang tahun ku masih lama,"
"Kalau kamu menolak, lebih baik kamu buang saja,"
Rumi melongo, kenapa semudah itu? Apa Dimas lupa berapa harga mobilnya? Sekaya apa lelaki itu?
"Jadi apa permintaan kamu?" tanyanya.
"Habiskan sisa waktu Minggu ini bersama ku, dari hari ini, hingga akhir pekan besok, dan setelah itu, aku janji tak akan ganggu kamu lagi."
Rumi menggeleng, "Mau ngapain?" tanyanya keberatan.
"Aku hanya ingin bersama kamu, kita berbincang hingga lelah, atau kalau kamu mau, kita bisa melakukannya, tapi jika kamu keberatan, aku tak akan memaksa kamu,"
"Aku menolak, pokoknya, malam ini, terakhir kita bertemu seperti ini, aku nggak mau mengkhianati calon suamiku,"
Dimas mencengkram erat kemudinya, dia berusaha mati-matian menahan amarahnya, "Kan nggak pake hati, anggap saja kita berteman."
"Teman tidak sampai berhubungan intim,"
"Astaga Bunga Harumi, aku hanya meminta waktu kamu sedikit, apa susahnya?"
"Sekali lagi aku bilang, aku tidak mau lagi, mengkhianati calon suamiku." Rumi masih kekeh dengan pendiriannya.
Dimas benar-benar marah sekarang, penolakan berkali-kali yang diterimanya, membuatnya mulai habis kesabaran.
lanjuttttt👍👍👍👍