Menikah karena perjodohan, dihamili tanpa sengaja, lalu diceraikan. Enam tahun kemudian Renata tak sengaja bertemu dengan mantan suami dalam situasi yang tak terduga.
Bertemu kembali dengan Renata dalam penampilan yang berbeda, membuat Mirza jatuh dalam pesonanya. Yang kemudian menumbuhkan hasrat Mirza untuk mendapatkan Renata kembali. Lantas apakah yang akan dilakukan oleh Renata? Apalagi ketika Mirza tahu telah ada seorang anak yang lahir dari hasil ketidaksengajaan dirinya di malam disaat ia mabuk berat. Timbullah keinginan Mirza untuk merebut anak itu dari tangan Renata. Apakah Renata akan membiarkan hal itu terjadi? Ataukah Renata akan membuka hati untuk pria lain demi menghindari mantan suaminya itu?
“Kamu sudah menceraikan aku. Diantara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Jadi tolong jangan ganggu aku.”
- Renata Amalia -
“Kamu pernah jadi milikku. Sekarang pun kamu harus jadi milikku lagi. Akan aku pastikan kamu dan anak kita akan berkumpul kembali.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Anak Adopsi
PMI 33. Anak Adopsi
Pagi-pagi sekali Mirza sudah meninggalkan kamar. Seperti kemarin, ia juga meninggalkan Vanessa yang masih terlelap di tempat tidur. Hati yang penasaran membawanya kembali menyambangi rumah Bu Ningsih pagi ini. Bayangan Dito terus saja mengganggunya. Anak kecil itu sudah mencuri perhatiannya sejak pertama kali melihatnya.
“Hai ...” sapanya pada Dito sembari membungkuk demi melihat anak itu. Ia sudah melebarkan senyumnya. Namun Dito malah memandanginya datar.
Melihat wajah Dito membuat perasaan Mirza bergetar. Ia seperti melihat dirinya yang dilahirkan kembali. Padahal besok ia sudah harus pulang ke kotanya, namun hatinya seakan tak rela meninggalkan kota ini semenjak ia bertemu kembali dengan Renata dan anak kecil itu. Yang katanya hanya seorang anak yang dekat dengan Renata saja. Tapi mengapa hatinya tak percaya?
Renata sudah waspada. Walaupun ia panik, tapi ia berusaha bersikap tenang agar tidak memancing kecurigaan Mirza.
Bu Ningsih yang berdiri di teras rumah pun sudah dalam keadaan waspada. Mendadak perasaannya menjadi tak enak. Laki-laki yang berdiri di depan itu adalah laki-laki yang semalam datang dan bertanya tentang Dito. Walaupun Renata tidak mengatakannya secara langsung, tapi hatinya mengatakan jika laki-laki itu kemungkinan adalah ayah kandung Dito.
“Untuk apa kamu datang ke sini?” tanya Renata sinis, memasang wajah tak suka dengan kedatangan Mirza.
“Besok aku pulang. Apa tidak boleh aku berpamitan dengan kamu?” jawab Mirza memberi alasan. Padahal kedatangannya hanya untuk memastikan apakah benar Dito bukan anaknya Renata. Dan jika terbukti Dito anaknya Renata, berarti anak itu juga adalah darah dagingnya.
“Di resor, kan, bisa? Lagian siapa yang ngasih tau kamu alamat rumah ini? Apa pegawai resor ada yang ngasih tau? Kamu harus tanggung jawab kalau sampai ada pegawai yang dipecat gara-gara ulah kamu.” Renata sangat menjaga sekali privasinya. Dan Tony juga sudah memperingatkan semua pegawai resor agar tidak sembarangan memberi informasi tentang dirinya. Ia melakukan itu untuk alasan yang sudah terjadi seperti sekarang ini.
“Aku cari tau sendiri. Di jaman yang secanggih sekarang ini, tidak sulit menemukan alamat, Ren.”
“Iya, memang tidak sulit. Apalagi kalau dengan cara menguntit.”
“Sikap kamu berubah, Ren. Kemarin kamu sopan sekali denganku. Kok, sekarang malah marah-marah?” Mirza mencoba bercanda agar ia masih bisa mengobrol lama dengan Renata. Wanita yang ia rindukan beberapa hari ini.
“Siapa yang tidak marah kalau kamu datang tanpa memberitahu dulu, bukannya bikin janji malah datang tiba-tiba. Apalagi di jam seperti ini. Sangat mengganggu aktifitas. Kamu kan tau, aku harus berangkat kerja sekarang. Dan aku juga harus nganterin anak angkat aku ke sekolah.”
“Anak angkat?” Mirza meninggikan kedua alisnya tak yakin dengan ucapan Renata. Benarkah anak itu hanya anak angkat Renata? Tapi mengapa ia bisa melihat kemiripan Renata dengan anak itu? Wajah anak itu seperti perpaduan wajahnya dengan wajah Renata.
“Iya. Dia anak anak angkat aku. Dia sudah ditinggal mati kedua orangtuanya sejak dia masih bayi. Dan kebetulan, Bu Ningsih adalah neneknya.” Renata menoleh pada Bu Ningsih.
Bu Ningsih yang paham tanpa harus diberitahu itu mengangguk membenarkan. “Iya. Kan sudah saya beritahu tadi malam,” ujarnya.
“Oh, begitu ya. Tapi kamu hebat, Ren. Jarang, loh, ada wanita singgel yang mau mengadopsi anak. Apalagi di jaman seperti sekarang ini. Kecuali ... kecuali memang anak itu__”
“Aku suka anak kecil. Memangnya kenapa? Tidak boleh? Apa selama ini ada larangan kalau janda tidak boleh mengadopsi anak? Aku kira, asalkan orang itu mampu membiayai, kenapa tidak? Lagian, kamu lihat sendiri, kan? Aku mampu, kok. Buktinya sekarang dia sudah besar,” sela Renata mematahkan pendapat Mirza.
Mirza tertawa kecil. Sungguh, Renata yang sekarang berbeda sekali dengan Renata yang dulu ia kenal. Renata yang dulu tidak pernah mau berdebat dengannya. Renata yang dulu cenderung lebih mengalah.
“Bunda, buruan. Nanti aku terlambat, Bunda.” Dito berseru. Renata menoleh sejenak.
“Iya, sayang. Tunggu sebentar, ya?” kata Renata. Kemudian menoleh kembali pada Mirza. Renata lalu mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan arloji pada Mirza dengan maksud mengusir pria itu secara halus.
“Maaf, Za. Aku harus berangkat kerja,” kata Renata.
“Tapi Ren, apa Tony mau menerima anak itu jika kalian menikah nanti?” tanya Mirza mencoba mengulur waktu.
“Tentu saja iya, kenapa kenapa tidak?” Tiba-tiba saja terdengar suara Tony menyahuti pertanyaan Mirza.
Sontak Mirza dan Renata pun menoleh pada Tony yang sudah berdiri di seberang dengan wajah tersenyum ramah.
“Hai, Za. Kok, tumben ke sini?” sapa Tony menghampiri.
“Ee ... aku hanya kebetulan lewat saja. Mau jalan-jalan, sekalian mampir menyapa saja.” Mirza salah tingkah, seperti pencuri yang tertangkap basah.
“Vanessa ke mana?”
“Biasa, lagi tidur. Dia memang susah bangun pagi.”
“Oooh ...” Tony mengangguk pelan.
Mendengar sura Tony, Dito pun turun dari mobil ibunya.
“Ayah ...” Dito langsung menghampiri Tony dan memeluk pria itu.
“Hai, Dit. Sudah sarapan?” tanya Tony mengurai pelukan.
“Sudah, Ayah. Sekarang udah mau berangkat ke sekolah. Tapi, Om itu malah mengganggu Bunda. Kalau aku telat gimana? Nanti aku dimarahi guru,” rengek Dito melirik kesal ke arah Mirza.
“Makanya Ayah sengaja datang ke sini buat jemput Dito dan Bunda. Biar Dito tidak terlambat ke sekolah.”
“Horeee ... Ayah memang yang terbaik. Aku sayang Ayah.”
Melihat kedekatan Tony dengan Dito menimbulkan perasaan iri di hati Mirza. Namun hati itu pun bertanya-tanya, bagaimana bisa Tony menerima anak adopsi Renata sedangkan Tony adalah pria bujang yang nyaris sempurna. Yang tentu saja masih bisa mendapatkan wanita yang lebih baik dari Renata.
Tony kemudian menghampiri Renata. “Ren, hari ini berangkat pakai mobil aku saja,” katanya.
“Tapi, Pak__”
“Perasaan aku tidak enak,” sela Tony setengah berbisik.
Renata tersenyum. “Ya sudah.”
“Bu Ning, saya jemput Renata. Kami berangkat dulu, ya, Bu!” seru Tony pada Bu Ningsih yang masih berdiri di teras rumah.
“Iya. Hati-hati di jalan, ya?” Bu Ningsih melempar senyum. Kemudian melenggang masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu rumah.
“Za, aku berangkat dulu. Nanti kita ketemu di resor,” kata Tony pada Mirza. Kemudian menggandeng tangan Dito. Dan satu tangannya lagi menggandeng Renata. Mengajak mereka naik ke mobilnya yang terparkir di luar pagar. Sejurus kemudian mobil itu melaju meninggalkan rumah itu.
Sedangkan Mirza hanya bisa memandangi kepergian mereka dengan hati meringis pilu. Sekilas, Tony, Renata, dan anak kecil itu terlihat seperti sebuah keluarga kecil yang harmonis. Sebuah gambaran keluarga yang ia idam-idamkan. Yang sayangnya sampai saat ini masih menjadi impian yang belum terwujud.
****
“Nov, tolong kamu cari tau kenapa sutradara tiba-tiba mengganti peran aku di drama terbaru.” Pagi itu Vanessa menghubungi Nova, asistennya. Ia yang terbangun dan tidak menemukan Mirza di dalam kamar itu pun, akhirnya memilih berenang seorang diri. Sembari duduk pada kursi santai dengan mengenakan bikini, ia menghubungi Nova untuk mencaritahu mengapa perannya diganti. Drama terbaru itu dalam rencana awalnya akan ia bintangi bersama Reymond Sinaga. Lawan main sekaligus teman ranjangnya.
“Bukan cuma kamu, Van. Dengar-dengar Reymond juga diganti. Alasannya kenapa, aku tidak tau.”
“Makanya cari tau, dong.”
“Sudah. Tapi tidak ada yang mau ngasih tau. Aku juga sudah membujuk sutradara. Dia cuma bilang, rating dramanya pasti bakalan anjlok kalau kalian berdua yang main. Dia juga bilang, pemain yang ada skandal akan membuat drama gagal.”
“Skandal? Skandal apaan?” Vanessa mengernyit resah.
“Kurang tau. Sutradara bilangnya, sih, gitu. Skandal kamu sama Rey mungkin.”
Vanessa tersentak saat sebuah tangan kekar tiba-tiba menyentuh pundaknya. Ia menoleh. Mirza sudah berdiri di belakangnya.
To be continued...