Dikhianati adik sendiri tentu akan terasa sakit, apa lagi ini soal cinta.
karena kesibukan Anya yang bekerja, dirinya selalu membuat sang kekasih berdekatan dengan sang adik, tidak tahu ini salah cinta atau salah Anya yang tak bisa menjaga kekasih nya.
sampai menjelang hari pernikahan dia baru tahu jika sang kekasih menghamili sang adik.
Bisakan Anya keluar dari bayang-bayang pengkhianatan cinta dan menemukan cinta baru dari lelaki lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dewiwitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sakit hati yang sesungguhnya
Pagi ini Anya sudah bersiap kerumah orangtuanya karena disana sedang ada acara empat bulanan kehamilan Andira, Semua terasa begutu cepat Anya sudah tak merasakan sakit hati atau kecewa kepada Andira maupun Akbar namun jika harus sedekat dulu Anya mungkin tak akan bisa. Selamanya akan ada jarak antara dirinya dan juga Andira sang adik.
Acara akan di mulai pukul tujuh malam, Anya akan membantu orangtuanya untuk menyiapkan semua rangkaian acara hari ini.
"Mama."
Anya menghampiri sang mama yang sedang sibuk mengecek bahan di dapur, karena sebagian makanan akan di buat langsung oleh sang mama dan orang katering yang sudah di sewa mama untuk membantu di rumah.
"Anya, mama kangen."
Venia memeluk sang putri sulungnya, meski baru seminggu lalu mereka berjumla tetapi seorang ibu akan tetap rindu dengan sang anak saat berada di tempat yang berbeda.
"Anya juga kangen mama, papa dimana maa?"
"Papa tadi lagi cek dekorasi di depan, memang enggak ketemu?"
"Enggak, maa."
Venia mengajak Anya untuk duduk di kursi yang ada di ruang makan.
"Gimana keadaan Raka?"
"Udah, membaik maa. cuma enggak boleh terlalu lelah saja sama pekerjaan."
"Kamu selalu ingetin Raka untuk jangan terlalu keras dalam bekerja dan jangan suka lewatin waktu makan."
"Iya, maa. Anya kekamar dulu maa."
Anya pamit kepada sang mama untuk masuk kekamarnya, Anya sangat rindu dengan kamar kesayangannya sudah sekitar tiga bulan Anya tidak pernah tidur di kamarnya.
"Mama pasti yang udah beresin kamar aku, tetap bersih dan wangi."
Keadan kamar Anya masih sama, tanpa ada yang berubah sama sekali hanya seprai dan selimut yang sudah berganti.
"Mama, selalu bersihin kamar kamu. Mama berharap suatu hari nanti kamu akan kembali menempati kamar ini. Tetapi mama tidak memaksa, senyamannya kamu Nya."
Ternyata Venia mengikuti Anya, wanita yang masih terlihat cantik meski usianya sudah menginjak lima puluh tahun itu memeluk Anya dari samping mengingat bagaimana dahulu dirinya selalu membangunkan Anya pagi hari di kamar ini. Satu momen kecil yang Venia rindukan.
"Mama, jangan sedih. Maafkan Anya."
"Mama tidak sedih, mama hanya rindu momen di kamar ini."
Venia kemudian keluar dari kamar Anya, membiarkan Anya bernostalgia dengan kamar kesayangannya.
Anya berjalan menuju balkon kamarnya, disana dahulu menjadi tempat bagi dirinya dan Andira untuk berbagi cerita balkon kamar Anya berdampingan denga balkon kamar Andira hanya ada pembatas pagar kecil.
Saat Anya keluar ke balkon tak di sangka di balkon kamar Andira terdapat Akbar yang sedang termenung. Sampai tatapan mata keduanya bertemu.
"Anya..."
Aku tersenyum.
"Iya, Selamat atas empat bulan kehamilan Andira mas."
"Terimakasih."
Anya tak berniat untuk mengobrol lama dengan Akbar, tetapi Akbar membuka obrolan yang membuat Anya harus tetap tinggal di balkon sedikit lebih lama.
"Kamu apa kabar?"
"Aku baik, gimana Andira sehat-sehatkan?"
"Andira sehat begitu juga dengan Anaknya."
Anya mengernyitkan keningnya, sedikit bingung dengan sebutan anaknya. Ada apa dengan Akbar kenapa dia seperti tidak bahagia, bukankah sebelumnya dia sangat bahagia dengan kehamilan Andira.
"Syukur jika Andira baik-baik saja."
"Kamu tidak menanyakan kabar ku?"
"Ohh, mas Akbar baik kan?"
Akbar menggeleng.
"Aku sedang dalam keadaan tidak baik Nya, apakah ini karma dari mu?"
"Apa maksut mu, mas?"
Akbar terdiam lalu tersenyum kearah Anya, kemudian dia pergi meninggalkan Anya dengan sejuta pertanyaan.
Tak mau ambil pusing Anya akhirnya masuk kembali kekamarnya, Anya tak mau terlalu ingin tahu dengan urusan mas Akbar lagi meski memang banyak pertanyaan yang ingin dia katakan tetapi dia ingin menghargai Andira.
Tak lama pintu kamar Anya di ketuk dan masuklah Andira dengan kotak hitam di tangannya.
"Mba Anya apa kabar?"
Terlebih dahulu Andira menanyakan kabar Anya sebelum dia meletakkan kotak hitam ditangannya di atas kasur Anya.
"Aku baik."
Anya melihat perut Andira yang semakin membuncit, tak menyangka bahwa Anya akan menjadi seorang tante dari anak mantan kekasihnya.
"Mba ini nanti di pakai."
Ternyata kotak itu berisi gaun berwara biru laut, mungkin itu dress code acara malam ini.
"Iya, nanti aku pakai."
Tak ada yang di bicarakan lagi, Andira ingin pergi meninggalkan kamar Anya tapi dia urungkan karena ada sesuatu hal yang mengganjal dihatinya.
"Mba, boleh aku bicar sebentar."
"Iya, silahkan."
Andira berjalan mendekati Anya kemudian duduk di samping Anya yang duduk di kasur.
"Mba Anya, jahat."
Anya terkejut dengan ucapan Andira, entah apa yang di maksut nya tapi Andira tiba-tiba menangis.
"Apa maksut mu?"
"Kenapa mba enggak pergi jauh saja dari kami, aku muak kepada mereka yang selalu membandingkan Aku dan mba Anya. Setiap malam aku harus mendengar mas Akbar mengigau menyebut nama mba Anya dan semua keluarga mas Akbar membenci aku mba. Kenapa mba enggak pergi jauh dari hidup aku dan mas Akbar."
Anya tak menyangka bahwa Andira bisa mengucapkan kata-kata seperti itu, Anya tidak tahu bahwa Andira selama mendapat perlakuan buruk dari Akbar dan keluarga Akbar.
"Mba tahu, aku sudah berusaha menjadi lebih baik dari versi diri ku. Tapi semua ingin mas Akbar menikah sama mba Anya, aku sangat benci sama mba Anya. Kenapa aku harus menjadi adik dari mba Anya, apakah aku lahir untuk di banding-bandingkan."
Andira menangis sesenggukan, Andira tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan di tolak terang-terangan dalam kularga suaminya.
"Mba, aku tahu aku salah tapi apa tidak bisakah aku diberi kesempatan. Aku benci hidup bagaikan sampah mba."
Andira berdiri dari duduknya, berjalan meninggalkan Anya yang belum sempat menguarkan kata-kata.
"Aku harap mba bisa pergi dari hidup kami, disini yang tersakiti bukan hanya mba Anya tapi aku, mas Akbar, mama dan papa."
Anya terdiam dirinya merenungi semua perkataan Andira, apakah selama ini dirinya benar-benar jahat. Apakah dirinya hanya mementingkah perasaan nya tanpa melihat sekelilingnya, apakah ini semua benar kesalahan dari dirinya.
.
.
.
.
.
Pukul tujuh malam, Anya keluar dari kamarnya dengan baju yang di berikan oleh Andira, Anya melihat pemandangan di lantai bawah dari lantai atas semua terlihat bahagia. Mama tersenyum kepada setiap tamu undangan, papa menyapa semua kolega bisnis yang di undang.
Lalu pandangan Anya terhenti pada seorang lelaki dengan kemeja batik hitam yang tersenyum kearahnya.
"Mas Raka."
Lelaki itu ternyata sudah tiba di rumahnya, lalu kemudian rombongan Zizah dan Jeno pun tiba.
Raka menaiki tangga berjalan menuju Anya yang sedang diam berdiri dengan sorot mata yang memandang kearah Raka.
"Hay, cantik."
"Hay, ganteng."
Raka mengusap puncak kepala Anya, rindu Raka sangat merindukan perempuan yang seminggu ini sudah merawatnya saat sakit.
"Mas, udah minum obat?"
"Sudah."
Raka dapat melihat sesuatu yang berbeda pada Anya, keceriaan Anya nampak hilang bahkan wajahnya sedikit murung.
"Are you ok, Nya?"
Anya menatap Raka denga mata yang berkaca-kaca, Raka tak suka denga keadaan Anya yang sedih seperti ini.
"Mau peluk?"
Tanpa basa basi Anya langsung memeluk Raka, wanita itu menangis dalam pelukan Raka. Rasa bersalah Anya membuncan dan membuat perasaan nya kacau.
"Mama, sakit mas."
Anya tak sengaja melihat Venia meminum banyak obat, dan menurut Anya itu tak wajar sanpai akhirnya Venia mengaku bahwa dirinya mengidap kangker hati setadium akhir.
"Mama sakit kangker mas, setadium akhir. Aku selama ini bodoh cuma mikirin perasaan aku mas, aku sampai tidak tahu kalau mama sakit. Aku anak yang tidak tahu balas budi, mas."
"Sudah berapa kali mas katakan, ini bukan salah kamu. Semua sudah menjadi suratan takdir dari Tuhan. Jangan salahkan diri mu."
Anya menangis semakin menjadi saat tangan Raka mengusap punggungnya.
"Aku tidak mau kehilangan mama, mas. Aku tidak siap jika mama harus pergi selamanya."
"Jangan bicara begitu, tante Venia pasti sembuh. Nanti mas carikan dokter terbaik di negara ini, jangan pernah kamu salahkan keadaan mama sebagai salah kamu."
Anya benar-benar kacau, dirinya adalah orang terakhir yang mengetahui jika mamanya mengidap kangker hati setadium akhir.
Raka mengusap puncak kepala Anya, sampai keadaan Anya menjadi lebih baik lagi.
Setelah keadaan Anya lebih baik, Anya akhirnya turun kelantai bawah untuk bergabung dengan yang lain. Anya mendekati mamanya kemudian memeluk mamanya erat.
"Jangan sedih sayang, mama enggak apa-apa."
Anya benar-benar tak sanggup jika harus kehilangan sang mama, wanita yang selalu ada untuk dirinya.
"Mama maafin Anya, Anya gagal.jadi anak sampai mama sakit saja Anya tidak tahu."
"Kamu tidak pernah gagal menjadi anak mama, satu yang harus kamu tahu Nya. Mama bangga punya anak seperti kamu."
Air mata Anya seketika mengalir dari pelupuk mata membasahi pipinya, sungguh ini adalah sakit hati yang sebenarnya.
biar aman dari adik durjana Thor