Stuck With You

“Kamu gampang sekali menangis,” tutur Resta. Dia tahu Aya sedang menyembunyikan tangisnya.

Kamu nggak tau, Pak. Hidupku yang cukup banyak menderita ini. Kamu nggak tau rasanya melewatkan makan pagi dan siang demi berhemat. Kamu juga nggak tau rasanya di kejar-kejar penagih utang dengan ancaman akan menjadikan aku sandra mereka kalau aku nggak bayar. Kamu nggak akan pernah tau….

Aya merintih dalam hatinya, semakin sedih karena dia dianggap cengeng. Sejauh ini, Aya sudah bertahan lebih baik dalam menghadapi kerasnya dunia. Tidak punya ibu, dan saudara. hanya ada seorang ayah yang tidak bisa dia harapkan karena sedang mendekam dalam penjara.

“Lanjutkan makanmu, sebentar lagi mereka sampai.” Resta mengingatkan.

Aya hanya mengangguk, makanan lezat di hadapannya tidak lagi membuatnya berselera seperti beberapa menit yang lalu. Apalagi, Resta menggantungkan jawaban dengan kata-kata ‘pikir-pikir dulu’. Aya tidak tahu nasibnya bagaimana, apa besok dia masih bekerja?

***

Meeting berjalan dengan lancar, dan tidak berlangsung lama, karena mereka hanya melakukan penandatanganan kontrak kerja sama. Setelahnya, mereka kembali ke kantor dalam keadaan hening selama di perjalanan. Aya larut dalam pikiran dan lamunan tentang nasibnya.

Tiba di kantor, Aya tidak langsung masuk ke ruangan, dia singgah ke toilet yang ada di lantai itu dan membiarkan Resta masuk duluan ke ruangannya.

Di sana, dia berdiam diri, menatap dirinya di pantulan cermin. “Penyamaranmu gagal. Ceroboh banget sih, bisa ninggalin hape di meja.” Aya mengetuk pelan kepalanya sendiri, menyesali kebodohannya. “Kalau memang masih rejeki, nggak akan ke mana.”

Setelah merasa lebih tenang, Aya keluar dari sana dan berjalan santai menuju ruangan yang posisinya tidak jauh dari toilet.

Tangannya menarik handle pintu, baru saja membuak pintu, Aya sudah disuguhkan oleh pemandangan yang tidak baik untuk kesehatan mata dan hati. Nadine sedang duduk di atas pangkuan Resta sambil mengalungkan kedua lengannya, mengecup bibir lelaki itu dengan panas.

“Maaf.” Aya kembali menutup pintu. Tanpa sadar karena terkejut, dia membantingnya dengan keras.

“Biasanya lihat adegan begituan di film, di drama korea, sekarang nyata di depan mata.” Tidak mau menganggu kemesraan mereka, Aya memilih menjauh dari pintu ruangan. Namun sayang sekali, Aya bingung harus ke mana dan akhirnya dia menuju pintu lift dan menekan tombol untuk turun.

“Eh, Mas Endri-“

“Ya, mau ke mana?”

“Mau ke… nggak tau, aku bingung.”

“Maksud kamu? ini masih jam kerja, kan?” Endri melirik arloji di lengan kirinya, masih jam dua siang.

“Iya Mas, tapi aku nggak mungkin masuk ke dalam ruangan. Kami baru aja pulang dari restoran, meeting dengan klien.” Aya bingung bagaimana harus menjelaskannya.

“Jadi, kenapa kamu nggak masuk ke ruangan?” Endri melihat wajah kaku dan panik pada sepupunya, dia memegang pundak Aya untuk menenangkan. Paham jika wajahnya seperti itu, pasti ada hal yang membuatnya tidak nyaman.

“Ada Nadine dan mereka sedang-“

“Aya!” panggil Resta padanya. Saat menyadari Aya hendak masuk ke ruangan, dia langsung menghentikan Nadine dan mengejar sekretarisnya itu.

“Iya Pak.” Aya menoleh, ketika itu juga Endri menjauhkan tangannya dari pundak Aya.

“Kalian?” Resta menaikkan satu alisnya, masih terekam jelas dalam ingatannya barusan bagaimana cara Endri menatap Aya, di tambah dengan cengkeraman di pundak gadis itu. Jika Aya mengaku hanya kenalan biasa, apa sejauh itu harus saling menyentuh?

“Sorry, gue cuma mau main. Tapi kayaknya lo lagi indehoy ya, ntar aja deh.” Endri kembali menekan tombol lift berniat turun.

“Nadine memang ada di ruangan, tapi kalau lo mau masuk silakan-“

“Males, nggak bebas ngobrol,” sahut Endri cepat. Lalu pintu lift tertutup dan kini hanya menyisakan mereka berdua.

Mas, kok aku ditinggal sih? Aya menggerutu dalam hati.

“Kamu mau ke mana?”

Aya menatap Resta dengan tatapan aneh, antara enggan, malas dan sungkan. Lalu, mata Aya tertuju pada salah satu bagian wajah Resta, membuatnya tertawa kecil. “Pak, hmm… itu.” Aya menunjuk pipinya sendiri, bermaksud memberitahu sesuatu pada lelaki itu.

“Hah? maksudnya?” Resta berkerut kening. “Kamu mau saya cium kamu?!” kali ini, volume suaranya sengaja dia kecilkan.

Aya menggeleng hendak menjawab, namun dia tunda karena mendengar teriakan seseorang.

“Sayaaaang…!! ngapain sih lama banget?!” Nadine berteriak dari pintu ruangan, menatap Resta dan Aya secara bergantian.

Bahkan belum terjawab maksud dari Aya menunjuk ke pipinya barusan. Resta berdecak malas, bagaimana cara mengusir Nadine? Padahal janjinya akan bertemu nanti sore, tapi belum waktunya, wanita itu sudah berada di ruang kerjanya.

Lelaki itu tersenyum masam, mendekat pada kekasihnya. “Kamu mau nungguin aku di sini? aku masih lama.” Resta mengusirnya secara tidak langsung.

“Iya, kenapa memangnya? nggak boleh?”

“Boleh. Tapi biarkan aku bekerja dengan tenang, ya?” Resta mengingatkan, dengan nada memohon, tanda dia benar-benar tidak ingin diganggu.