NovelToon NovelToon
Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO Amnesia / Bertani / Romansa pedesaan
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: indah yuni rahayu

Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.

Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.

Namun Wijaya bukan lelaki biasa.

Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.

Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Antara Detik dan Doa

Sirine bukan bagian dari kehidupan Desa Tanjung Sari. Yang biasa terdengar hanyalah derik jangkrik, deru mesin penggiling padi, atau teriakan anak-anak yang bermain di sungai. Maka ketika suara mobil pick–up meraung kencang memecah jalanan desa, orang-orang otomatis menoleh.

Di bak belakang, tubuh Wijaya terbaring lemah. Wajahnya pucat, pelipisnya menghitam, napasnya tidak teratur. Lia memeluknya, menahan tubuh itu agar tidak terguncang terlalu keras. Jemarinya yang dingin mengusap pelan kening Wijaya, seakan sentuhan bisa menghalau maut.

“Sedikit lagi, Mas… sedikit lagi,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.

Bu Surti duduk di sisi bak, menahan tangis. Mulutnya berkomat-kamit membaca doa yang bahkan suaranya tak lagi beraturan. Beberapa warga mengikuti dari belakang dengan sepeda motor, seolah rombongan duka yang tidak berani mengucap kemungkinan terburuk.

Puskesmas kecamatan tidak besar. Cat dindingnya memudar, kursi tunggunya berderit, dan aromanya khas antiseptik murah yang bercampur bau kayu lapuk. Tapi pagi itu terasa seperti pintu antara dua dunia: hidup dan tidak.

Begitu pick–up berhenti, dua perawat berlari keluar.

“Sini! Masuk ruang tindakan!” seru salah satu dari mereka.

Wijaya segera diangkat ke tandu. Lia hampir terjatuh ketika menuruni bak, namun seseorang menahan bahunya. Ia tidak sempat berterima kasih, seluruh dunianya hanya tertuju pada satu tubuh di atas tandu itu.

Di dalam ruang tindakan, lampu neon berpendar dingin. Perawat memotong sedikit rambut Wijaya di bagian pelipis untuk membersihkan luka.

Dokter jaga lelaki paruh baya bermata sayu memeriksa pupil mata, memegang nadinya, lalu menghela napas berat.

“Benturannya cukup keras,” katanya pelan.

Lia berdiri mematung. Kata-kata itu seperti palu memukul dadanya.

“Dok… dia akan sadar, kan?” suaranya pecah.

Dokter tidak langsung menjawab. Ia menuliskan sesuatu di lembar observasi, lalu menoleh. “Sekarang dia tidak sadar karena tubuhnya mengalami respons trauma. Ada kemungkinan terjadi pendarahan di dalam kepala. Di sini kami tidak punya alat lengkap untuk memastikan.”

Kalimat itu menggantung. Sunyi mendadak terasa sangat tebal.

“Artinya…?” tanya Bu Surti hampir berbisik.

Dokter menghela napas. “Artinya harus dirujuk ke rumah sakit kota. Sesegera mungkin.”

Lia merasakan kakinya melemah. Seandainya kursi ada di belakangnya, ia pasti sudah jatuh. Tapi ia tetap berdiri karena kalau jatuh sekarang, siapa lagi yang akan berdiri untuk Wijaya?

“Kalau terlambat, apa yang akan terjadi?” suaranya gemetar.

“Risikonya besar,” jawab dokter jujur. “Lumpuh. Kehilangan ingatan. Atau… lebih buruk.”

Kata terakhir itu tidak diucapkan, tapi Lia mendengarnya jelas. Tenggorokannya seperti dicekik sesuatu yang tak kasatmata. Ia menatap wajah Wijaya yang diam.

Wajah lelaki yang beberapa jam lalu masih tegak berdiri membela sawah. Lelaki yang menemaninya menanam cabai di pematang. Lelaki yang mengajarinya tertawa hanya dengan hal kecil. Dan sekarang, lelaki itu terbaring seperti daun kering.

Perawat memasang infus. Jarum menembus kulit, cairan bening menetes perlahan seperti waktu yang habis setetes demi setetes.

“Kami akan siapkan surat rujukan,” kata dokter.

Bu Surti memegangi ujung kerudungnya yang basah air mata. “Dok… biaya…”

Pertanyaan itu tidak selesai.

Dokter menatap mereka dengan iba. “Kalau pakai BPJS aktif, akan sangat membantu. Kalau tidak… butuh uang cukup besar.”

Kata besar itu terdengar seperti jurang. Lia menunduk. Ia tahu betul isi dompet mereka bahkan sebelum kejadian ini, mereka sudah sering berhemat. Uang tabungan mereka tipis, sebagian terpakai untuk pupuk dan bayar sewa lahan.

Namun yang menakutkan bukan hanya uang.

Di sudut ruang, jam dinding berdetak keras.

Tik.

Tok.

Setiap detik terasa seperti menggerogoti peluang Wijaya.

Perawat keluar masuk. Bau obat makin menyengat. Hingga akhirnya ruang itu kembali sepi, menyisakan suara infus yang menetes pelan.

Lia menggenggam tangan Wijaya. “Mas…” suaranya lirih, nyaris tanpa suara. “Aku di sini. Jangan pergi…”

Tak ada jawaban. Hanya dada Wijaya yang naik-turun tak beraturan.

Di kursi sudut ruangan, Pak Wiryo, datang terlambat dengan nafas ngos-ngosan. Ia berdiri lama tanpa bicara. Ada sesuatu di sorot matanya: marah pada keadaan, marah pada ketidakberdayaannya sendiri.

“Bagaimana?” tanyanya patah.

“Harus ke kota,” jawab Bu Surti pelan. “Operasi, kemungkinan.”

Pak Wiryo menundukkan kepala. “Uang sebanyak itu… dari mana?”

Tidak ada yang menjawab.

Lia menutup wajahnya sebentar. Bukan karena lelah. Tapi karena ia tahu keputusan apa yang menunggu di ujung jalan.

Keputusan yang mungkin akan merenggut kebahagiaannya sendiri.

Di luar ruang puskesmas, suara warga masih terdengar samar—bisik-bisik, doa, juga rasa bersalah yang tidak terucap karena konflik pagi tadi. Di antara mereka, seseorang berdiri lebih lama. Natan.

Ia datang terlambat. Ia melihat tandu didorong masuk, tapi tidak melihat wajah yang terbaring di atasnya. Namun firasatnya semakin menguat. Ia mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Sesuatu yang lama terkunci di dadanya bergerak resah.

Sementara di ruang tindakan, Wijaya mengerang pelan. Kelopak matanya berkedut seolah sedang melawan gelap. Lia langsung mendekat.

“Mas? Mas dengar aku?”

Tidak ada jawaban jelas, hanya napas yang berat.

Dokter masuk kembali. “Kita tidak bisa menunggu lama. Keluarga harus bersiap.”

Kalimat itu seperti bunyi palu terakhir.

Lia mengusap wajahnya. Air mata jatuh satu-satu, tanpa isak, seperti hujan yang malu-malu.

Ia menatap Wijaya.

“Jika ini harga dari mencintaimu…” batinnya berkata, “aku akan bayar. Meski bayarannya kehilanganku sendiri.”

Karena ia tahu satu hal yang dokter belum sempat mengatakannya keras-keras—jika operasi dilakukan pada kepala yang sudah lama menyimpan ingatan samar, maka ingatan baru bisa hilang.

Ingatan tentang desa. Tentang rumah kecil mereka. Tentang tawa di tengah hujan. Tentang dirinya.

Tentang Lia.

Namun ia juga tahu: cinta bukan hanya tentang menggenggam. Kadang cinta adalah tentang melepaskan agar orang itu hidup.

Ia menunduk, mengecup punggung tangan Wijaya perlahan. “Aku akan memilih yang membuatmu tetap bernafas,” bisiknya.

Dan di luar sana, angin desa berhembus pelan, seolah ikut mendengar.

.

Jono berdiri paling pinggir, setengah bersembunyi di balik tiang teras puskesmas.

Tangannya mengepal, kukunya menekan telapak sampai memutih. Ia melihat Lia yang duduk di kursi panjang, memegangi tangan Wijaya yang tak sadarkan diri. Mata perempuan itu sembab, sesekali bibirnya bergerak, seperti melafalkan doa yang hanya ia dan Tuhan yang tahu.

Ada desir aneh di dada Jono. Cemburu sudah lama ia kenal, tapi yang ini terasa lain lebih panas, sekaligus dingin.

“Kalau saja bukan dia…,” gumamnya pelan, namun kalimat itu tak pernah sanggup ia selesaikan. Karena di saat yang sama, rasa bersalah menusuk lebih dalam.

Ia teringat semua bisikannya ke warga, omongan-omongan kecil yang sengaja ia tebarkan tentang Wijaya. Bahwa orang kota itu pasti punya maksud terselubung. Bahwa Lia sebaiknya tidak terlalu percaya. Kata-katanya mungkin ikut menjadi arus yang menyeret keadaan sampai sejauh ini.

Kini, melihat tubuh Wijaya terbaring lemah di ranjang puskesmas, dadanya terasa sesak.

“Kenapa juga harus separah ini…” napasnya tertahan.

Ketika Lia menunduk semakin dalam, bahunya bergetar menahan tangis, Jono spontan melangkah maju lalu berhenti.

Ia tak punya hak apa-apa. Bahkan sekadar mengucap “maaf” rasanya terlalu kecil dibanding benang kusut yang sudah terlanjur ia buat.

Ia menunduk. Untuk pertama kalinya, Jono takut pada doanya sendiri: takut kalau diam-diam ia pernah berharap lelaki itu pergi dari desa… dan kini Tuhan seperti benar-benar mendengarnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!