"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"
Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.
Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.
Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21
Maya memejamkan mata, merasakan napas hangat Arya menerpa wajahnya. Pengakuan Arya, "Saya tidak bisa berhenti memikirkan Anda, "bergaung di telinganya, memicu gelombang panas di seluruh tubuhnya.
Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar.
Tok tok!
Maya dan Arya sama-sama tersentak. Arya segera menjauh, mengambil map yang terjatuh di lantai. Wajahnya kembali tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. Maya segera menunduk, jantungnya berdebar kencang.
"Masuk!" seru Arya, suaranya tegas.
Seorang pria muda berjas rapi, asisten Arya, masuk ke ruangan. "Maaf, Tuan Arya. Rapatnya akan segera dimulai. Direksi sudah menunggu."
"Baik. Saya segera ke sana," kata Arya. Ia melirik Maya sekilas, sebuah senyum tipis, penuh arti, melintas di bibirnya.
Arya mengambil jasnya dari sofa, lalu bergegas keluar dari ruang kerja, diikuti oleh asistennya. Maya hanya bisa menghela napas panjang, bersandar pada meja. Seluruh tubuhnya terasa lemas.
Ia tahu ia harus segera pergi dari sini. Ia harus
menjaga jarak. Tapi entah mengapa, setiap kali ia ingin menjauh, Arya selalu berhasil menariknya kembali. Dan ia, entah kenapa, membiarkannya.
***
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Maya terus melayang pada Arya. Pengakuan pria itu, "Saya tidak bisa berhenti memikirkan Anda." Sebuah kalimat yang begitu jujur, begitu berani, dan begitu berbahaya.
Malam itu, di rumah, Maya mencoba bersikap biasa saja. Ia memasak, membersihkan rumah, dan mencoba memulai obrolan ringan dengan Tama. Namun, Tama terlalu sibuk dengan ponselnya. Ia hanya sesekali menjawab seadanya, tanpa menatap Maya.
"Mas, bagaimana kalau besok kita jalan-jalan? Atau makan di luar?" Maya mencoba, sebuah upaya terakhir untuk mendapatkan perhatian Tama.
Tama hanya melirik sekilas, tanpa mengangkat kepala dari ponselnya. "Nanti saja, Yank. Aku lagi sibuk. Lagi banyak pesanan motor yang harus disiapkan."
Hati Maya mencelos. Penolakan itu terasa seperti tamparan. Sebuah kehampaan yang familiar menyelimuti dirinya. Inilah yang ia rasakan selama ini.
Ketidakpedulian, ketidakhadiran emosional. Dan di saat seperti inilah, bayangan Arya muncul di benaknya. Arya yang menatapnya dalam, yang memujinya, yang mengatakan tidak bisa berhenti memikirkannya. Arya yang menawarkan sensasi baru yang Tama tak bisa berikan.
***
Keesokan harinya, saat sore menjelang, Maya masih sibuk berkutat membersihkan ruang kerja Arya. Itu adalah ruangan terakhir yang harus dibersihkan sebelum ia pulang.
Saat sedang membersihkan rak bagian bawah, tiba-tiba Arya masuk tanpa berkata apa-apa. Maya menoleh sekilas, kemudian melanjutkan pekerjaannya secepat mungkin. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tidak ingin terperangkap bersama Arya di ruangan ini lagi.
Namun, semua tidak seperti apa yang diharapkan. Tiba-tiba, Arya duduk bersila di lantai, tepat di samping Maya. Sebuah posisi yang sangat santai, namun juga sangat intim.
"Mbak Maya," kata Arya, suaranya pelan. "Saya ingin bertanya sesuatu."
Jantung Maya berdebar kencang. "Apa, Tuan?"
"Apakah Anda bahagia?" tanya Arya, matanya menatap lurus ke dalam mata Maya.
Pertanyaan itu menghantam Maya seperti petir. Sebuah pertanyaan yang begitu dalam, begitu pribadi, dan begitu menusuk. Maya terdiam. Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya. Apakah Anda bahagia? Selama ini, ia selalu mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia bahagia.
Tapi, apakah benar begitu?
Arya mengamati ekspresi Maya. Senyum tipis, melankolis, muncul di bibirnya. "Saya tahu itu pertanyaan yang sulit dijawab. Terkadang, kita tidak menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang dalam hidup kita. Sesuatu yang seharusnya ada."
Maya menunduk. Arya seolah bisa membaca pikirannya. Ia bisa melihat kekosongan yang ia rasakan dalam pernikahannya.
"Saya... saya tidak tahu harus menjawab apa, Tuan," bisik Maya, suaranya serak.
"Tidak apa-apa," Arya tersenyum. "Saya hanya ingin Anda tahu, Mbak Maya... bahwa Anda berhak untuk bahagia. Anda berhak mendapatkan apa yang Anda inginkan."
Kata-kata Arya seperti bisikan iblis, namun juga seperti janji manis. Sebuah pintu terbuka di benak Maya. Pintu menuju kebebasan, menuju kebahagiaan yang selama ini ia damba. Kebahagiaan yang mungkin bisa ia temukan bersama Arya.
"Saya tahu Anda punya kewajiban. Saya tahu Anda punya ikatan," Arya melanjutkan, suaranya semakin lembut, semakin persuasif. "Tapi kadang, kita perlu egois sedikit untuk diri sendiri. Untuk kebahagiaan kita sendiri."
Maya menatap Arya. Pria itu menatapnya dengan tatapan penuh simpati, pengertian, dan sebuah undangan yang tak terbantahkan. Undangan untuk melangkah lebih jauh. Undangan untuk berani mencari kebahagiaannya sendiri.
Keheningan menyelimuti mereka. Hanya suara napas Maya yang berpacu kencang, dan detak jantungnya yang menggila. Sebuah suasana sensu4l yang berbahaya, namun begitu memikat.
Tiba-tiba, ponsel Arya berdering. Ia menghela napas, seolah terganggu. Ia meraih ponselnya, melihat nama di layar. "Maaf, Mbak Maya. Saya harus mengangkat ini."
Arya bangkit dari duduknya, berjalan sedikit menjauh untuk mengangkat telepon. Maya hanya bisa menatap punggungnya. Ia merasa semakin terperangkap dalam suasana sensu41 di rumah Arya ini. Setiap kata, setiap sentuhan, setiap tatapan, adalah bagian dari jebakan yang dibuat Arya. Dan ia, entah kenapa, tidak ingin lari. Justru ia ingin tahu, sejauh mana jebakan ini akan membawanya.
Sejauh mana ia akan berani melangkah, demi sebuah kebahagiaan yang ia damba.
Maya duduk bersimpuh di lantai ruang kerja Arya, tangannya memegang lap, namun pandangannya kosong.
Arya sedang berbicara di telepon, suaranya terdengar serius membahas bisnis. Namun, pikiran Maya tidak tertuju pada percakapan itu. Yang ia ingat hanya pertanyaan Arya dan pengakuan jujurnya. Kata-kata itu berputar-putar di benaknya, membakar hatinya.
Arya mengakhiri panggilan teleponnya. Ia menoleh ke
arah Maya, senyum tipis terukir di bibirnya. Sebuah senyum yang penuh arti, seolah ia tahu apa yang sedang Maya pikirkan.
"Maaf, Mbak Maya. Urusan pekerjaan," kata Arya, suaranya tenang. Ia kembali duduk di kursinya, namun kini pandangannya sepenuhnya tertuju pada Maya.
Maya menunduk, pura-pura sibuk dengan lapnya. Ia tidak berani menatap Arya.
"Anda sudah selesai membersihkan laci?" tanya Arya.
"Sudah, Tuan," jawab Maya, suaranya nyaris berbisik.
"Bagus," Arya mengangguk. "Bagaimana kalau kita istirahat sebentar? Anda pasti lelah."
"Tidak usah, Tuan. Saya sebentar lagi juga pulang," tolak Maya, ia segera berdiri.
"Jangan terburu-buru," Arya tersenyum. "Bagaimana kalau kita minum teh di teras? Udara di luar bagus sekali sore ini."
Jantung Maya berdesir. Arya kembali mencari alasan untuk berinteraksi lebih lama. Ia tahu ini berbahaya, tapi dorongan rasa penasaran dan gair4h yang membara terlalu kuat.
"Baik, Tuan," kata Maya, ia menyerah.
Arya bangkit dari kursinya. Ia melangkah ke arah Maya, berdiri di sampingnya. "Saya akan siapkan tehnya. Anda tunggu di teras saja."
Maya mengangguk. Ia berjalan keluar dari ruang kerja Arya, menuju teras belakang. Udara sore yang sejuk menyambutnya. Ia duduk di salah satu kursi rotan, memejamkan mata sesaat. Pikirannya melayang pada Tama. Apa yang sedang suaminya lakukan sekarang? Pasti sibuk dengan bengkelnya, atau asyik dengan ponselnya.
Tak lama kemudian, Arya datang membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat dan sepiring biskuit. Ia meletakkannya di meja kecil di antara mereka.
"Silakan, Mbak Maya," kata Arya, duduk di kursi di hadapannya.
Maya mengambil cangkir tehnya, menyesapnya pelan.
Aroma melati yang menenangkan memenuhi indra penciumannya.
"Bagaimana perasaan Anda sekarang?" tanya Arya, matanya menatap Maya dalam.
Maya tersipu. Arya langsung mengungkitnya. Ia tidak mencoba berpura-pura. "Saya... saya bingung, Tuan."
Arya tersenyum tipis. "Saya tahu. Saya minta maaf.
Saya tidak bermaksud membuat Anda tidak nyaman." Ia menyesap tehnya. "Tapi saya tidak bisa menahannya lagi, Mbak Maya. Saya sudah terlalu lama menyimpan perasaan ini."
Pengakuan itu membuat jantung Maya berdebar kencang. Arya tidak main-main.
"Saya... saya sudah bersuami, Tuan," Maya
mengingatkan, suaranya nyaris berbisik. Sebuah upaya terakhir untuk membangun kembali batasan.
"Saya tahu itu," Arya mengangguk. "Tapi pernikahan tidak selalu menjamin kebahagiaan, kan?" Matanya menatap Maya dengan simpati, seolah ia bisa melihat semua kehampaan yang Maya rasakan. "Saya bisa melihat Anda tidak bahagia, Mbak Maya."
Kata-kata Arya menusuk tepat ke ulu hati Maya. Itu adalah kebenaran yang pahit, kebenaran yang selama ini ia coba sembunyikan bahkan dari dirinya sendiri.
"Saya... saya tidak tahu harus bilang apa, Tuan," kata Maya, matanya berkaca-kaca.
Arya mengulurkan tangannya, meraih tangan Maya yang tergeletak di meja. Sentuhan itu lembut, menghibur, namun juga penuh makna. "Anda tidak perlu mengatakan apa-apa. Saya hanya ingin Anda tahu, Anda berhak mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Anda berhak merasa diinginkan, dihargai, dan dicintai."
Jantung Maya berdesir. Kata-kata itu. Kata-kata yang selama ini ia rindukan, yang tak pernah ia dengar dari Tama. Rasa bersalahnya sedikit mereda, tertutup oleh gelombang emosi baru yang meluap-luap.
"Saya... saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, Tuan," bisik Maya, air mata menetes di pipinya.
Arya mengusap punggung tangan Maya perlahan dengan ibu jarinya. "Anda tidak perlu melakukan apa-apa. Biarkan saja. Biarkan perasaan ini mengalir. Terkadang, kebahagiaan datang dari tempat yang tidak terduga."
Ia menatap Maya dalam, sebuah senyum tipis terukir di bibirnya. Sebuah senyum yang begitu memikat, begitu menggoda. Maya merasa dirinya tertarik lebih dalam ke dalam pusaran ini. Arya menawarkan sebuah pelarian, sebuah kebahagiaan yang selama ini ia damba.
"Bagaimana Anda bisa tahu saya tidak bahagia, Tuan?"
Maya bertanya, penasaran.
Arya tersenyum pahit. "Saya bisa melihatnya di mata Anda, Mbak Maya. Ada kesedihan yang dalam di sana. Kehampaan. Saya juga pernah merasakannya. Bertahun-tahun setelah istri saya meninggal, saya merasa kosong.
Sampai saya bertemu Anda."
Pengakuan itu menghantam Maya. Arya juga merasakan hal yang sama. Ia merasa terhubung dengan Arya pada level yang lebih dalam. Sebuah koneksi emosional yang jauh melampaui hubungan majikan dan pekerja.
"Tapi... saya sudah bersuami," Maya mengingatkan lagi, sebuah upaya terakhir untuk menolak takdir.
"Dan saya duda," Arya membalas, suaranya tenang.
"Kita berdua sama-sama mencari sesuatu yang hilang.
Mungkin kita bisa menemukannya bersama."
Maya menatap Arya, terpaku. Pria ini begitu lugas, begitu jujur tentang perasaannya. Dan ia, entah kenapa, merasa terhanyut.
"Saya tahu ini sulit," kata Arya, ia melepaskan tangan Maya, namun matanya tetap menatapnya intens. "Tidak perlu dijawab sekarang. Pikirkan saja. Saya tidak akan memaksa Anda."
Maya hanya bisa mengangguk. Pikirannya benar-benar kacau. Ia merasa dirinya seperti berada di persimpangan jalan, dan kedua jalan itu sama-sama berbahaya, namun salah satunya terasa begitu memikat.
"Mbak Maya," Arya memanggil lagi.
Maya menoleh.
"Saya akan ada rapat penting besok pagi. Mungkin agak pulang malam," kata Arya. "Tapi... saya ingin meminta Anda menemani saya makan malam besok."
Jantung Maya berdesir hebat. Makan malam bersama Arya? Berdua saja? Itu jelas bukan bagian dari pekerjaannya. Itu adalah sebuah undangan pribadi.
"Tuan... saya tidak bisa," tolak Maya, suaranya
tercekat.
"Ini bukan sebagai atasan dan bawahan," Arya berkata, nadanya serius. "Ini sebagai... teman. Saya hanya butuh teman bicara. Dan saya percaya Anda."
Kepercayaan itu. Sebuah kata yang begitu kuat, begitu
menarik. Maya merasa bimbang.
"Saya... saya akan coba, Tuan," kata Maya, akhirnya. Ia tidak bisa menolak. Ia ingin tahu, apa yang akan terjadi jika ia menerima undangan ini.
Arya tersenyum puas. "Bagus. Saya akan hubungi Anda besok siang untuk detailnya." Ia berdiri. "Saya harus bersiap untuk rapat lagi."
"Baik, Tuan," kata Maya.
Arya melangkah pergi, meninggalkan Maya sendirian
di teras. Matahari sudah mulai terbenam, mewarnai langit dengan jingga dan ungu. Namun, hati Maya terasa panas. Ia tahu, ia baru saja membuat keputusan yang bisa mengubah segalanya. Sebuah keputusan yang akan membawanya lebih dalam ke dalam jebakan sensu41 Arya.
Dan ia, entah mengapa, tidak menyesalinya. Ia hanya ingin tahu, ke mana semua ini akan membawanya.
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya