Hai hai ... hadir nih spin offl dari "mendadak papa" kali ini aku jadiin Kevin sebagai tokoh utama. Selamat membaca
Gara-gara nggak mau dijodohin sama cowok sok ganteng bernama Sion, Aruntala nekat narik tangan seorang pelayan café dan ngumumin ke seluruh dunia—
“Ini pacar gue! Kami udah mau tunangan!”
Masalahnya... cowok itu cuma menatap datar.
Diam.
Nggak nyaut sepatah kata pun.
Dan Aruntala baru sadar, pria itu tuna wicara. 😭
Malu? Jelas.
Tapi sialnya, malah keterusan.
Aruntala balik lagi ke café itu, memohon ke si barista pendiam buat pura-pura jadi pacarnya biar Mama tirinya nggak bisa menjodohkannya lagi.
Cowok itu akhirnya setuju — karena nggak tahan sama ocehan Aruntala yang nggak ada titik koma.
Yang Aruntala nggak tahu, pria random itu bukan sekadar barista biasa...
Dia adalah Kevin Prasetyo, pemilik café sekaligus pemegang saham besar di perusahaan ayahnya sendiri!
Berawal dari kebohongan kecil, hubungan mereka pelan-pelan tumbuh jadi sesuatu yang lebih nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ditengah keheningan
Di layar ponsel itu, tertulis sebuah kalimat yang meruntuhkan seluruh benteng pertahanan Aruntala: Karena ini bukan lagi pura-pura.
Dua kata terakhir itu bergaung di kepalanya, lebih nyaring dari musik di ballroom, lebih memekakkan dari bisik-bisik para tamu.
Bukan lagi pura-pura. Itu bukan sekadar pembelaan. Itu adalah sebuah pengakuan. Sebuah pernyataan yang mengubah aturan main, membakar habis naskah sandiwara mereka, dan meninggalkan keduanya berdiri di atas panggung yang kosong, tanpa dialog, tanpa arahan. Hanya ada tatapan mata Kevin yang dalam dan jantung Aru yang berdebar begitu kencang hingga ia takut pria itu bisa mendengarnya.
Ia tidak tahu harus berkata apa. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Aruntala si Ratu Kebisingan kehabisan kata-kata. Ia hanya bisa menatap Kevin, merasakan sisa hangat bibirnya di pipi, dan mencoba memahami arti dari gempa bumi kecil yang baru saja mengguncang dunianya.
***
Seminggu berikutnya terasa seperti hidup di dalam sebuah film bisu yang indah. Kalimat di ponsel malam itu tidak pernah mereka bahas lagi. Seolah-olah, kata-kata itu terlalu sakral untuk diucapkan, terlalu rapuh untuk dianalisis. Sebagai gantinya, Aru mendapati dirinya terseret lebih dalam ke orbit Kevin yang senyap. Ia menghabiskan hampir setiap sore di “Suara Hati”, bukan lagi sebagai klien atau pacar pura-pura yang butuh alibi, melainkan sebagai… pengamat.
Ia duduk di sudut favoritnya, pura-pura mengerjakan tugas kuliah, tetapi matanya lebih sering tertuju pada sosok tinggi di balik bar. Ia memperhatikan cara Kevin berkomunikasi dengan stafnya, sebuah kedipan mata untuk Rina yang berarti stok susu almon menipis, sebuah gestur tangan halus pada Bima yang berarti suhu mesin espreso perlu diperiksa.
Semuanya mengalir begitu padu, sebuah koreografi tanpa suara yang efisien dan penuh pengertian. Dunia Kevin tidak kosong, Aru menyadari. Dunia Kevin hanya berbicara dengan bahasa yang berbeda, bahasa yang kini mulai ia pahami.
Kadang-kadang, Kevin akan menangkap basah Aru yang sedang menatapnya. Pria itu hanya akan mengangkat alis sedikit, lalu beberapa menit kemudian, secangkir latte dengan art berbentuk hati yang sedikit miring akan mendarat di mejanya, diantar oleh Rina yang tersenyum penuh arti.
Ini aneh. Nyaman yang aneh. Aru tidak lagi merasa perlu mengisi setiap jeda dengan ocehan. Ia bisa duduk berjam-jam di sana, ditemani suara mesin kopi dan keheningan Kevin, dan merasa lebih utuh daripada saat ia berada di tengah pesta yang paling ramai sekalipun.
Kedamaian itu, tentu saja, memiliki tanggal kedaluwarsa.
Sore itu, Evelyn, kakak Kevin, datang ke kafe. Aru sudah beberapa kali bertemu dengannya dan menyukai wanita itu. Evelyn memiliki aura tenang yang sama seperti adiknya, tetapi dengan senyum yang lebih mudah tersungging. Namun, hari ini berbeda. Ekspresi Evelyn tampak serius saat ia menghampiri bar dan langsung menarik Kevin ke sudut yang lebih privat.
Aruntala memperhatikan dari kejauhan. Tidak ada sapaan hangat. Evelyn langsung mengeluarkan tabletnya, menunjukkan sesuatu pada Kevin. Kevin melihatnya, lalu mengetik balasan dengan cepat di ponselnya. Mereka berdua terlibat dalam percakapan tanpa suara yang intens. Jari-jari mereka menari di atas layar, sesekali diselingi oleh gestur tangan yang tajam dari Evelyn dan gelengan kepala tegas dari Kevin.
Aruntala tidak bisa mendengar apa-apa, tetapi ia bisa merasakan ketegangannya. Ini bukan obrolan ringan tentang keluarga. Ini serius. Ini adalah urusan di mana Aru merasa seperti orang luar yang mengintip dari balik jendela.
Dan saat itulah ia merasakannya. Sebuah sengatan aneh di ulu hatinya. Perasaan tidak nyaman yang asing, yang membuatnya ingin berdiri, menghampiri mereka, dan bertanya, “Ada apa? Kenapa kalian kelihatan serius banget?”
Ia cemburu.
Kesadaran itu menghantamnya seperti segelas es kopi yang disiramkan ke wajah. Ia bukan cemburu pada Evelyn sebagai seorang wanita. Ia cemburu pada pemahaman mereka. Pada koneksi sunyi yang mereka miliki, yang begitu dalam dan eksklusif. Ia ingin menjadi orang yang bisa membaca arti di balik gelengan kepala Kevin. Ia ingin menjadi orang yang tahu apa yang membuat kening pria itu berkerut tanpa perlu bertanya.
Ia telah jatuh cinta.
Bukan pada pesona CEO kaya raya yang ia lihat di ruang rapat. Bukan pada pria tampan yang membelanya di depan Bianca. Tapi pada keheningan seorang barista tuna wicara yang memberinya ruang untuk bernapas. Ia jatuh cinta pada cara Kevin mendengarkan kebisingannya tanpa menghakimi, dan menjawabnya dengan ketenangan yang menular.
Tiba-tiba, udara di kafe terasa menyesakkan. Aruntala buru-buru membereskan barang-barangnya, memberi lambaian singkat pada Kevin yang terlalu fokus untuk menyadarinya dan bergegas keluar. Ia butuh udara. Ia butuh suara lain untuk mengkonfirmasi kegilaan ini.
Ia menekan nomor Danu di ponselnya begitu masuk ke dalam mobil.
“Halo?” Suara Danu terdengar di seberang.
“Tumben nelpon, biasanya juga nge-spam stiker nggak jelas. Kenapa, La?”
“Nu…” Aru memulai, suaranya bergetar.
“Gue… kayaknya gue jatuh cinta sama Kevin.”
Hening sejenak di ujung sana. Hanya terdengar suara napas Danu.
“Oke. Definisi ‘jatuh cinta’ versi lo itu yang kayak gimana? Yang kayak lo cinta sama sepatu diskon 70 persen atau yang lebih serius?”
“Serius, bego!” sembur Aru, frustrasi.
“Gue beneran… gue… gue cemburu lihat dia ngobrol sama kakaknya. Gue pengen jadi satu-satunya orang yang ngerti diemnya dia. Gue pengen… aduh, gue nggak tahu, Nu! Rasanya aneh. Gue nyaman banget sama dia. Gue nggak perlu jadi berisik lagi kalau ada dia.”
Danu menghela napas panjang. Suaranya berubah lebih serius.
“Ala, dengerin gue. Lo sadar, kan, hubungan kalian itu awalnya apa? Itu kontrak, perjanjian bisnis. Dasarnya bohong.”
“Sekarang udah beda!” potong Aruntala cepat.
“Bedanya di mana? Apa dia udah cerita semuanya ke lo? Lo tahu apa trauma dia? Lo tahu kenapa dia milih diem? Lo kenal dia beneran, nggak? Atau lo cuma kenal sama versi sunyi yang dia tunjukkin ke lo?” rentetan pertanyaan Danu menusuk telak.
Aru terdiam. Semua pertanyaan itu benar. Ia tidak tahu apa-apa.
“Gue nggak peduli,” desis Aru, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.
“Harusnya lo peduli!” balas Danu, nadanya meninggi.
“Gue cuma nggak mau lo sakit hati. Lo bangun istana di atas pasir, La. Kelihatannya indah, tapi sekali kena ombak, hancur semua. Dan… sorry to say this, tapi dia… dia, kan, punya kekurangan. Komunikasi itu kunci, La. Gimana lo mau bangun hubungan serius sama orang yang bahkan nggak bisa bilang nama lo?”
Cukup sudah. Kata-kata terakhir Danu menyulut api yang sejak tadi tertahan di dada Arutala.
“Lo nggak ngerti!” teriaknya, suaranya pecah.
“Justru itu! Justru karena dia nggak bisa ngomong, semua yang dia lakuin jadi lebih berarti! Dia nggak pernah janjiin apa-apa pake mulutnya, tapi dia selalu ada! Dia nggak pernah bilang gue cantik, tapi dia belain gue di depan semua orang! Kekurangan dia itu yang bikin gue utuh, Nu! Keheningan dia itu satu-satunya suara yang bisa bikin kebisingan di kepala gue berhenti!”
“La, gue cuma—”
“Udah, ah!” Aru mematikan teleponnya dengan kasar, melempar ponselnya ke kursi penumpang.
Amarah dan air mata kini bercampur aduk. Ia marah pada Danu yang tidak mengerti. Ia marah pada dirinya sendiri yang begitu rapuh. Dan ia marah pada situasi rumit yang menjebaknya.
Tapi di balik semua amarah itu, ada satu hal yang terasa begitu jernih. Perasaannya.
Ia tidak peduli lagi dengan kepura-puraan. Ia tidak peduli dengan kontrak. Ia tidak peduli dengan apa kata dunia. Ia hanya peduli pada pria yang mengajarinya bahwa ketenangan bisa ditemukan di tengah badai.
Dengan gerakan cepat, ia meraih kembali ponselnya. Jari-jemarinya yang gemetar membuka ruang obrolan dengan Kevin. Ia tidak berpikir. Ia hanya merasakan. Jantungnya berdebar kencang seiring jempolnya menari di atas layar, mengetikkan sebuah kebenaran yang tak bisa lagi ia bendung.
Sebuah deklarasi. Sebuah penyerahan diri.
Aku mencintaimu, Kev. Pura-pura atau tidak, aku cinta kamu.
Tombol kirim ia tekan sebelum akal sehatnya sempat mengambil alih. Pesan itu terkirim. Centang dua. Biru.
***
Di rumah keluarga Rahadja, Kevin sedang duduk di karpet ruang keluarga, menemani Cala yang tengah asyik menggambar. Suasana terasa hangat dan damai. Tiba-tiba, ponsel di sampingnya bergetar pelan. Ia meraihnya dengan santai, mengira itu pesan dari Evelyn yang melanjutkan diskusi mereka.
Namun, nama Aruntala yang muncul di layar.
Ia membuka pesan itu. Matanya memindai deretan kata yang diketik gadis itu. Sekali. Dua kali.
Senyum tipis yang tadi menghiasi wajahnya saat melihat gambar Cala perlahan lenyap. Otot-otot di rahangnya menegang.
“Om, kenapa?” suara polos Cala memecah keheningan, menyadari perubahan drastis pada raut wajah pamannya.
Kevin tidak menjawab. Wajahnya mengeras, tatapannya terpaku pada deretan kata di layar. Tegang. Seolah kalimat singkat itu adalah sebuah hitung mundur menuju ledakan yang tak bisa ia hindari.