Berada di titik jenuh nya dalam pekerjaan Kania memutuskan resign dari pekerjaan dan menetap ke sebuah desa. Di mana di desa tersebut ada rumah peninggalan sang Kakek yang sudah lama Kania tinggalkan. Di desa tersebutlah Kania merasakan kedamaian dan ketenangan hati. Dan di desa itu jugalah, Kania bertemu dengan seorang, Bara.
21
Bara masuk ke dalam rumahnya. Ia meletakkan kunci motornya dan jaket yang masih beraroma kopi dan tanah. Senyum kecil di wajahnya—sisa-sisa kebahagiaan yang ia nikmati di kebun kopi—perlahan memudar saat ia menyadari ia harus menghadapi kenyataan. Ia meraih ponselnya yang sengaja ia matikan selama berhari-hari.
Notifikasi pesan masuk yang beruntun, keras dan mendominasi kesunyian malam.
Bara menghela napas. Ia tahu pesan-pesan itu sebagian besar dari Kania. Ia membuka kotak masuk, scroll cepat melewati rentetan pesan dan panggilan tak terjawab Kania yang menunjukkan betapa kerasnya usaha Kania untuk menghubunginya.
Bara menemukan pesan Kania yang dikirim sore tadi :
Kania
Mas, beberapa hari ini aku sudah berusaha mencari dan mendatangi ke semua tempat yang biasa kamu kunjungi. Tapi semua seolah tertutup rapat. Aku tidak bisa menemuimu, aku mengerti kamu butuh waktu, tapi di sini aku merasa di abaikan, di tinggalkan. Tadi aku melihatmu..melihatmu di pondok itu, sedang tertawa lepas, bahagia bersama Laras. Ternyata, kamu baik-baik saja, sedangkan aku hancur! Aku doakan kamu baik-baik saja, terima kasih untuk waktu indahnya beberapa waktu ini. Jaga dirimu, mas.
Bara membaca pesan itu. Rasa puasnya menghilang total, digantikan oleh ekspresi terkejut yang mendalam, diikuti rasa bersalah yang tiba-tiba menampar.
Bara berbisik dalam penyesalan. “Pulang? Kania…dia serius??”
Bara mengecek jam di ponselnya; waktu menunjukkan sudah sangat larut malam. Ia sudah melewati batas waktu terakhir kali Kania mengirim pesan terakhir. Bara segera mencoba menelepon Kania, tetapi panggilan langsung masuk ke kotak suara. Ia mencoba lagi, hasilnya tetap sama.
Bara mulai berjalan mondar-mandir di ruang tamu, panik. Bara menyadari kesabaran Kania sudah mencapai batas.
“Aku mengira dia akan tetap menunggu. Aku mengira dia akan selalu ada di sana. Aku lupa dia mempunyai batasnya sendiri.”
Bara duduk di sofa, tangannya memegang ponsel. Ia ingin mengejar Kania, tetapi ia sadar, dirinya sudah terlambat. Ia menghilang tanpa penjelasan.
“Aku tidak percaya padanya, hanya aku takut pada diriku sendiri. Dan kini, karena keegoisanku, dia pergi.”
Bara menatap kosong ke dinding. Ia tahu, saat ini, tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Kania memilih meninggalkannya, meninggalkan desa ini.
Beberapa hari sejak kepergian Kania.
Bara duduk di balik meja kasir di Kedai Senja Ranu yang sudah kembali buka. Tidak ada lagi kehadiran Kania di pagi hari, ia tidak bisa melihat wajah Kania yang sedang serius menatap layar laptop-nya, tidak ada lagi wajah kesal, cemberut yang bisa ia lihat di sini. Bara terlihat kacau, rambutnya berantakan seolah tidak pernah di sisir, kantung matanya menghitam, dan pakaiannya lusuh berantakan.
Bara tidak fokus melayani pelanggan. Matanya terus menatap sudut kedai, tempat Kania biasa duduk sambil bekerja atau saat sedang menemaninya. Bara yang mengingat momen saat Kania sedang tertawa, memegang secangkir teh, mengobrol bersama Bara.
Bara tersentak. Ia melihat ke sekeliling. Tempat Kania itu duduk sekarang kosong.
“Aku pikir, aku butuh Laras, yang sudah mengerti diriku. Aku pikir, dia bisa mengalihkan sejenak. Tapi di tempat ini…di setiap sudut desa ini..yang ada hanya Kania.”
Bara membuka laci kasir dan melihat sebuah buku catatan kecil milik Kania yang tertinggal. Buku itu berisi daftar inventaris kedai, dan rutinitas Kania saat menunggu Bara di kedai.
Tidak lama, tampak Laras masuk ke dalam kedai. Laras tampak ceria. Tetapi segera menyadari suasana muram hati Bara.
“Bara, kamu kenapa? Wajahmu terlihat muram…ku dengar, Kania pergi ya?”
Reaksi Bara bertambah dingin mendengar Laras bicara. Bara tidak menatap Laras. “Iya. Dia pulang.”
Laras mencoba menghibur. “Ya sudahlah. Ada aku yang tidak akan meninggalkanmu. Jangan khawatir, kita bisa membangun ulang lagi. Tanpa drama..”
Kata-kata ‘tanpa drama’ itu terasa seperti tamparan bagi Bara. Ia mendongak, matanya menatap Laras, tetapi pikirannya ada pada Kania.
Bara menghela napas, dan berkata dingin. “Kau tidak mengerti, Laras. Seluruh ruangan di kedai ini, senja-senja yang indah di sini..itu dibangun bersamanya. Semua yang kuabaikan selama ini….itu yang paling berharga.”
Bara merasakan penyesalan yang mendalam, ketika bertengkar hebat dengan Kania, ia malah mencari ‘kenyamanan’ pada diri Laras. Tetapi ia justru kehilangan ‘ketulusan’ dan ‘kepercayaan’ yang selalu Kania berikan.
“Aku mengkhianati kepercayaan Kania, dan sebagai hukuman, aku kehilangan orang yang paling memercayaiku. Dan kini, bahkan Laras tidak bisa mengisi kekosongan yang di tinggalkan Kania. Aku pantas menerima hukuman ini.”
Bara dengan pandangan yang menusuk tajam, bangkit, lalu melangkah meninggalkan Laras seorang diri.
Beberapa minggu berlalu.
Kania duduk di teras rumahnya. Suasana yang hangat dan familier baginya, dikelilingi oleh tanaman pot milik Ibunya. Kania terlihat lebih tenang, tetapi masih membawa bekas luka yang mendalam. Kania sedang fokus menyelesaikan pekerjaan freelance nya.
Kania melihat layar pada ponsel yang berdering. Menampilkan nama Bara.
Ada jeda panjang bunyi dering yang tidak terangkat. Ini bukan pertama kalinya Bara menelepon beberapa minggu terakhir, tetapi ini adalah pertama kalinya Kania memutuskan untuk tidak mengabaikannya. Kania menarik napas sebelum menerima panggilan itu.
“Halo”
Sementara di kedai Senja Ranu bara yang duduk sendirian di meja kasir. Suaranya terdengar cemas dan penuh beban.
“Kania..syukurlah kamu menerima panggilan ini.Kania kumohon dengarkan aku sebentar jangan di tutup telepon nya.! Aku mau minta maaf padamu,,,aku tahu itu tidak cukup, tapi aku harus minta maaf.”
Kania mendengarkan dengan tenang, tanpa emosi berlebihan. Ia tidak marah, hanya lelah.
“Aku sudah mengirim pesan terakhirku, kurasa itu sudah cukup.”
“Aku tahu aku salah! Aku…aku di kebun kopi waktu itu, aku bingung…Laras…”
Kania mengingat kejadian itu, memotongnya dengan suara getir. “Kamu tidak perlu menjelaskannya padaku lagi. Aku sudah melihatnya sendiri. Aku melihat betapa bahagianya kamu di kebun kopi itu. Sementara aku—mencoba menemuimu, mencarimu di segala penjuru, untuk menjelaskannya padamu. Tapi…”
Pernyataan Kania memukul Bara dengan telak dan keras, membuatnya terdiam. Wajah Bara tampak menyesal, menyadari bahwa Kania pada sore itu melihatnya bersama Laras.
Kania berdiri, memandang cakrawala. Kania tidak sedih lagi, tidak akan lagi membiarkan rasa ditinggalkan menguasainya.
“Bara, aku masih merindukanmu. Tapi ‘kita’ yang dulu sudah hancur. Kamu menghancurkannya saat kamu memilih tidak percaya, dan saat kamu memilih untuk mengabaikanku.”
“Bara, ternyata aku memang tidak punya tempat di sana. Benar kata Laras, kamu butuh selingan dari rasa bosan yang ada, bahwa aku adalah persinggahan sementara mu. Aku tidak akan pernah kembali ke sana lagi, di mana aku harus terus bertanya-tanya apakah aku pantas? Apakah aku bukan sekedar persinggahanmu saja.”
Kania menarik napas. “Bara, aku harap kamu baik-baik saja. Tapi tolong, jangan hubungi aku lagi. Biarkan aku melanjutkan hidupku di sini. Dan kamu pun melanjutkan hidupmu di sana.”
Kania tidak menunggu jawaban dari Bara. Kania menekan tombol “Akhiri Panggilan”. Ia meletakkan ponselnya, melihat ke tangannya. Kania sedih, ia sudah memilih dan ia tidak akan menyesali keputusan itu.
Bara mendengar nada terputus di ujung telepon. Ia memegang ponselnya erat-erat, menyadari bahwa ia telah benar-benar kehilangan Kania. Penyesalannya kini terasa sangat nyata dan dingin.
****************
Ibu Wati yang beberapa hari ini melihat keadaan anaknya yang tampak sangat kacau, masuk ke dalam kedai. Ibu Wati membawa bekal makan siang, karena dari kemarin Bara terlihat hanya menyentuh sedikit makanan. Ibu melihat Bara sedang menyenderkan kepala ke tangannya, tampak sangat kacau. Mata sang Ibu langsung menunjukkan kekhawatiran dan kesedihan.
Dengan suara lembut Ibu menyapa. “Bara…Ibu bawakan kamu makan siang. Kamu harus makan ya, Nak. Jangan begini terus.”
Bara mengangkat kepalanya. Ia mencoba tersenyum, tetapi gagal. “Terima kasih, Bu. Tapi saya belum lapar.”
Ibu Wati meletakkan kotak bekal itu di meja. Ia duduk di kursi di seberang Bara, menatapnya dengan pandangan seorang Ibu yang tahu ada yang tidak beres dengan keadaan anaknya.
“Ini, tentang Kania, kan?” Bara terdiam, lalu mengangguk pelan. “Ibu sudah tahu. Sudah beberapa hari ini, desa ramai membicarakan. Kania pergi. Meninggalkan desa Ranu Asri. Kembali ke kota.”
Bara menatap lantai. “Iya,Bu. Dia…dia memutuskan untuk pergi, karena saya, Bu,”
Ibu Wati menghela napas. “Kania itu anak yang baik. Dia tulus menyanyangi Ibu, menyayangi kamu, Bara.”
Ibu Wati maju sedikit, suaranya lebih tegas. “Kabar itu cepat tersebar. Warga desa melihat bagaimana kamu menghindarinya, dan melihat bagaimana Kania berusaha keras mencarimu. Mereka tahu kamu sedang bermasalah dengan Kania…”
Bara terlihat menyesal. “Saya tahu, Bu. Saya sangat menyesal. Saya tidak bermaksud menyakitinya sampai Kania harus pergi dari sini.”
“Penyesalan memang selalu datang terlambat, Nak. Kamu kehilangan dia, bukan karena takdir, tapi karena keegoisanmu sendiri.”
Ibu Wati berdiri, menepuk bahu Bara dengan lembut. “Ini pelajaran yang mahal Bara. Belajarlah dari rasa sakit ini. Kamu harus bangkit, Nak. Untuk dirimu sendiri.”
Ibu Wati keluar dari kedai. Bara ditinggalkan sendirian lagi, dan yang lebih menyakitkan hatinya karena telah kehilangan Kania.